Sinopsis Kleun Cheewit Episode 9 - 4

Sinopsis Kleun Cheewit Episode 9 - 4


Piak galau setengah mati gara-gara belum bisa menghubungi Chaiyan sampai sekarang, tapi tetap saja dia keras kepala dan pura-pura cuek. Ayah sampai geli melihatnya.

Ia lalu memberitshu Piak bahwa mereka sudah mendapatkan gantinya Pim dan pihak stasiun TV juga sudah menyetujui pilihan mereka. Jadi sekarang tinggal Chaiyan saja.

"Aku tidak tahu kapan dia akan kembali."

"Kalau dia punya hati, maka dia akan kembali." Kata Piak sok cuek.

"Chaiyan berkecil hati karenamu dan bukan karena pekerjaan. Kalau kau tidak mau meminta maaf pada Jee, bagaimana kalau kau meminta maaf pada Chaiyan? Kau yang salah, jadi apa salahnya meminta maaf padanya?"

Piak jelas tidak mau, harga dirinya terlalu tinggi untuk melakukan itu dan terus saja menuduh Jee lah penyebab Chaiyan tidak pulang-pulang.

"Apa kau melihat dengan mata kepalamu sendiri kalau Chaiyan pergi ke dia atau itu cuma pikiranmu sendiri?"


Piak menyangkal, dia tahu pasti begitu karena Jee itu licik.

Kalau Jee licik, maka Piak juga seharusnya menggunakan kelicikannya sekarang ini. Dia harus minta maaf jika dia salah.

Tapi Piak terus saja keras kepala. Ayah akhirnya memberitahu Piak bahwa Chaiyan sudah menyerahkan surat pengunduran diri dan Ayah sendiri yang akan menanganinya.

"Sekarang ini adalah kesempatan emasmu. Apapun trik licik yang kau miliki, gunakan saja semuanya."

Saat Piak masih diam saja padahal jelas-jelas dia lagi galau, Ayah dengan sengaja menutupi wajahnya dengan koran, pura-pura tidak lihat biar Piak tidak malu. Dan seketika itu pula Piak langsung beranjak pergi mencari Chaiyan.


Setibanya di parkiran, Piak bingung bagaimana harus menyapa Chaiyan. Tapi saat dia baru saja keluar dari mobilnya, dia mendapati Chaiyan muncul di sana sambil menelepon seseorang.

Piak langsung panik menyembunyikan dirinya. Dia tidak sadar kalau Chaiyan melihat mobilnya, tapi dia tak peduli dan langsung pergi.

Penasaran Chaiyan mau ketemuan sama siapa, Piak pun langsung bergegas membuntutinya.

Di tengah jalan, Chaiyan baru menyadari Piak membuntutinya. Maka dengan sengaja dia berbelok ke sebuah tempat sepi.

Tapi saat Piak tiba di sana, mobilnya Chaiyan malah menghilang entah ke mana.

Bingung, dia memundurkan kembali mobilnya, dan hampir saja menabrak Chaiyan yang mendadak menghadangnya dari belakang.


"Hei, Chaiyan! Apa yang kau lakukan?!"

"Kau masih belum belajar dari usahamu menangkapku rupanya?"

"Kau menipuku kemari?"

"Karena kau sangat ingin menangkapku. Makanya aku memancingmu. Sudah berapa kali kau curiga aku selingkuh? Dan berapa kali kau salah paham? Apa kau masih belum bisa berpikir juga, Piak?"

Piak menyangkal. "Aku tidak setiap saat salah paham."

"Tapi semua itu cuma pikiranmu sendiri, Piak! Seperti saat ini. Begitu sadar kalau kau salah, bukannya merasa lega, kau malah sakit hati karena ternyata aku tidak seburuk yang kau pikir."

Kalau seperti ini terus, maka sia-sia saja biarpun dia sangat setia karena Piak tidak akan pernah mempercayainya. Piak tambah salah paham mendengarnya dan menuduh Chaiyan mau menggunakan alasan ini untuk kembali ke Jee.


"Jadi selama beberapa hari ini kau masih juga belum bisa berpikir?"

"Hei, Chaiyan! Apa kau mau terus lari sampai salah satu dari kita mati?"

"Kapanpun kau sudah bisa berpikir, maka datanglah untuk minta maaf padaku."

Chaiyan langsung pergi tanpa mempedulikan Piak lagi. Tapi tentu saja Piak terlalu keras kepala untuk mengakui kesalahannya sendiri, dia tidak akan pernah meminta maaf.

 

Thit menunggui Jee yang masih belum sadarkan diri di rumah sakit. Melihat tangan Jee yang lebam-lebam, Thit ingin menyentuhnya, tapi dia pada akhirnya ragu dan hanya mengusap ringan tangan Jee.


Jade sedang berusaha menelepon saat dia melihat Dao lewat lalu duduk di bebatuan tepi sungai. Mungkin terpesona melihat sosoknya, Jade diam-diam memotretinya.

Dao santai saja bermain air. Tapi akhirnya dia melihat Jade dan langsung kaget, apa Jade memotretnya?

Jade menyangkal, dia cuma lagi cari sinyal buat nelpon Jane. (Pfft! Padahal posisi hapenya horizontal)

"Tidak ada sinyal di dalam hutan. Aku sudah mematikan ponselku untuk menghemat baterei." Ujar Dao.


Dia mau cepat-cepat pergi menghindari Jade, tapi Jade tiba-tiba menggenggam tangannya dan menariknya kembali sampai Dao kaget dan akhirnya malah membuat cegukannya kumat.

"Sejak kita tiba di sini, kita tidak pernah berduaan."

Dao sontak cegukan lagi mendengar ucapannya itu. Jade malah mengira dia cuma haus.

Dao menyangkal, tapi Jade tak percaya lalu mengambil sebuah dahan pohon dan memberitahu Dao bahwa dalam dahan itu terkandung air segar yang bisa diminum.


Dia langsung memotong bagian tengahnya lalu memberitahu cara meminumnya sambil mendekat ke Dao, sangaaaat dekat sampai akhirnya bibir mereka tak sengaja saling bersentuhan.

Canggung, Jade langsung meminta maaf dan cegukan Dao malah jadi tambah kumat karenanya. Dia0 buru-buru kembali ke tenda dengan alasan mau minum.

Setelah Dao pergi, Jade bingung dengan dirinya sendiri. Tidak mengerti kenapa dia malah excited banget gara-gara kejadian barusan.

Tapi dia tidak berpikir macam-macam dan hanya menduga kalau ini pasti gara-gara dia terlalu sering bertemu Dao belakangan ini.


Begitu sudah cukup jauh, Dao langsung bersembunyi dibalik pohon sambil memegangi d**anya yang berdebar kencang sampai dia harus mengingatkan dirinya sendiri untuk melupakan kejadian barusan, itu cuma kecelakaan.


Thit masih setia menunggui Jee saat dia melihat ponselnya Jee berdering dari Suki. Dia santai saja mengangkat telepon itu dan sontak membuat Suki kaget dan panik soalnya dia sedang bersama Khun Ying.


Jee bermimpi didatangi Nenek Jan yang mengusap kepalanya dengam lembut. Jee bahagia melihatnya dan langsung menggenggam tangannya erat.

"Apa sakit?"

"Lukanya tidak sesakit rasa sakit kurasakan saat Nenek dan Pan meninggalkanku."

"Jika aku tidak meninggalkanmu waktu itu, hari ini aku akan tetap meninggalkanmu."

"Nenek, kenapa dalam hidupku tak pernah ada orang yang mencintaiku? Orang-orang terdekatku membenciku dan tega melihatku mati di hadapan mereka. Aku capek. Aku tidak tahu kenapa aku harus terus hidup untuk orang-orang yang membenciku?"

Nenek Jan meminta Jee untuk tidak bicara seperti itu. Nenek kan pernah mengajari Jee untuk melupakan orang-orang yang memandang Jee jahat atau buruk.

Jee tahu bagaimana dirinya yang sebenarnya, itu sudah cukup. Orang lain tidak perlu melihat kebaikan yang Jee lakukan.

"Jika aku berbuat kebaikan dan tak ada seorangpun yang mencintapiku, lalu kenapa aku melakukannya?"

Mendengar itu, Nenek Jan langsung mengc0up kening Jee dan mengingatkannya bahwa jika ada kebaikan, maka akan ada cinta. "Dan cinta sejati itu datang dari kebaikan yang kau lakukan. Ingat kata-kata Nenek."


Sekali lagi Nenek mengcup lembut keningnya... dan Jee kontan terbangun dari mimpinya itu tapi hanya mendapati Thit yang ketiduran di sisinya. Jee langsung panik mencari-cari Nenek Jan sampai Thit terbangun karenanya.

"Barusan Nenek mendatangiku. Di mana ia sekarang?"

Dia bahkan mau mencabut infusnya biar bisa pergi mencari Nenek Jan. Thit cepat-cepat menahannya dan berusaha menyuruh Jee untuk menunggu izin dokter dulu.

Jee ngotot kalau dia baik-baik saja. Tapi saat dia bangkit, dia langsung pening. Pun begitu, dia terus saja ngotot ingin memberontak dari cengkeraman Thit.

"Aku mau menemui Nenek. Nenek menungguku. Lepasin!"


"Khun! Pan sudah membawa Nenek Jan ke kuil. Tunggu sampai infusmu habis, baru aku akan membawamu."

"Aku mau pergi sekarang."

"Tak ada yang bisa kau lakukan walaupun kau pergi sekarang. Nenek Jan tidak akan bangun."

Jee langsung menangis mendengarnya. Tanpa mereka sadari, Suki datang saat itu dan jelas kaget melihat Jee menangis dengan ditemani Thit yang menggenggam erat tangannya.

Bersambung ke part 5

Post a Comment

3 Comments

Hai, terima kasih atas komentarnya, dan maaf kalau komentarnya tidak langsung muncul ya, karena semua komentar akan dimoderasi demi menghindari spam