Sesampainya di istana, Jing He meeting berdua dengan ayahandanya yang bertanya-tanya apakah Jing He membencinya karena dia mengasingkan Jing He di Jingzhou Utara selama 10 tahun.
Kaisar berpikir begini gara-gara Jing He malah menyebar uang kertas ke udara saat menyambut rombongan pengantin pernikahan politik yang sepertinya berniat merusak pernikahan politik antar kedua negara.
Jing He menyangkal, mana mungkin dia berani melakukan itu. Kalau dia benar-benar berniat melakukan itu, dia pasti akan melakukan cara-cara rahasia dan bukannya terang-terangan seperti ini. Hanya saja, dia sangat tahu bahwa Raja Xiyan itu sangat licik. Siapa tahu mereka ingin memanfaatkan pernikahan politik dan kembali menyerang.
Dia melakukan itu hanya sebagai peringatan untuk Negara Xiyan, memberitahu Negara Xiyan bahwa pernikahan politik adalah anugerah besar dari Negara Yan untuk mereka. Jika Negara Xiyan berani macam-macam lagi, maka mereka tidak akan menoleransinya.
Kaisar senang mendengarnya memahami prinsip ini, tapi ia harap ke depannya, Jing He tidak akan menindas orang-orang Negara Xiyan lagi, terutama Putri Zi Gu.
Kakaknya Putri Zi Gu sekarang ini tinggal di Negara Yan sebagai jaminan, jadi jangan sampai timbul perselisihan antar kedua negara. Jika tidak, maka pernikahan politik ini akan menjadi tidak bermakna lagi.
Dia juga harus lebih berhati-hati supaya tidak memicu opini masyarakat seperti yang terjadi di jalan tadi.
Dulu, pada tahun ke-14 Zhaoming, Jing He mengajukan diri untuk merebut kembali Qingzhou, dia menderita di Qingzhou sehingga dia bahkan tidak sempat menemui ibundanya untuk yang terakhir kalinya.
Kaisar tahu kalau Jing He masih menyimpan penyesalan dan kebencian. Makanya Kaisar curiga bahwa Jing He kembali ke ibu kota kali ini adalah demi kasus Qingzhou. Jing He tersenyum tipis saat dia menyangkal dan meyakinkan Kaisar bahwa dia tidak berani dan sebaiknya perang Qingzhou tidak usah dibahas lagi selamanya.
Liu Zhong mengatur sebuah kediaman untuk Putri Zi Gu dan para gadis cantik. Putri Zi Gu agak gugup mengira dia bakalan harus cepat-cepat menghadap Kaisar. Namun untungnya tidak karena hari ini adalah hari peringatan kematian mendiang Permaisuri. Jadi Kaisar tidak ada waktu untuk menemui Jing He.
Dia juga memberitahu Putri Zi Gu bahwa Tuan Muda Yue Qin, kakaknya Putri Zi Gu, tinggal tak jauh dari sini. Wah! Putri Zi Gu sontak sumringah saking semangatnya ingin bertemu kakaknya.
Peringatan kematian mendiang Permaisuri dimulai dengan dibunyikannya gong. Namun Jing He malah dilarang masuk untuk mendoakan mendiang ibunya sendiri.
Melihat aula leluhur itu sontak membuat Jing He teringat masa sepuluh tahun yang lalu, saat dia pulang dengan menyeret dirinya di kursi roda ke aula leluhur dengan mengenakan pakaian pengantin merah, alih-alih pakaian berkabung.
Sekuat tenaga dia menyeret tubuhnya ke peti mati ibundanya, tapi kemudian Kaisar tiba-tiba menendangnya dengan kesal hingga menuduhnya sebagai anak durhaka gara-gara dia memakai pakaian pengantin merah di acara pemakaman yang jelas menunjukkan bahwa dia tidak menghormati mendiang, dan langsung mengusirnya.
Kejadian ini terjadi tak lama setelah peristiwa pembakaran Qingzhou di mana dia dituduh sebagai dalang pembakaran hingga membuat rakyat murka padanya, sehingga mereka menghajarnya dengan membabi buta yang pada akhirnya menyebabkan kakinya lumpuh.
Segalanya terjadi pada saat yang bersamaan, pantas saja saat Jing He diasingkan ke Jingzhou Utara dia jadi depresi berat dan pada akhirnya membuatnya berubah menjadi kejam seperti sekarang.
Mei Lin menyelinap masuk ke kediaman Jing He dan tak sengaja menyaksikan pengawalnya Jing He, Qing Yan, membunuh seseorang dan menginterogasi yang satunya.
Mereka adalah orang-orang yang menyamar jadi rakyat biasa untuk mengompori orang-orang di jalanan tadi. Si orang kedua mengaku bahwa dia sebenarnya adalah pengawal dari Kamp Militer Pinggiran Barat. Atasannya menugaskan mereka untuk memprovokasi rakyat dan membunuh si pembantai selagi situasi kacau.
"Atasanmu-lah yang pembantai! Sudah sepuluh tahun, kalian masih menggunakan cara yang sama untuk menyakiti Raja. Pasukan Weibei punya disiplin militer yang ketat, pedang kami tidak pernah diacungkan pada rakyat. Jadi mereka memprovokasi rakyat yang tidak tahu apa-apa untuk mengepung kamp militer dan bahkan mematahkan kaki Raja. Bukankah seharusnya para rakyat yang tidak mampu menilai orang itu mengakui kesalahan mereka?!" kesal Qing Yan lalu menghabisi si orang kedua.
Setelah itu, Mei Lin masuk ke gudang tempat penyimpanan barang-barang militer pasukan Weibei untuk mencuri lencana pasukan Weibei yang sama seperti yang tak sengaja dia tarik dari orang yang membakar Qingzhou.
Tepat setelah dia mendapatkan lencana itu, dia tak sengaja mendengar Jing He berjalan ke aula doa. Karena dia tidak bisa mendoakan mendiang ibundanya secara terbuka, jadi dia hanya bisa melakukan secara privat, itu pun atas bantuan orang dalam.
Sama seperti dulu, kali ini juga dia datang mendoakan ibundanya dengan mengenakan pakaian pengantin merah. Bukan berarti dia tidak menghormati mendiang, justru dia mengenakan baju pengantin merah ini untuk menghormati mendiang karena dia sebenarnya punya alasan kuat untuk mengenakan baju pengantin merah di acara pemakamannya.
Dulu, Jing He pernah berjanji pada ibundanya bahwa dia akan berhenti perang setelah menaklukkan Qingzhou dan akan pulang dengan memakai baju pengantin. Saat Permaisuri mendengar Jing He akan pulang dengan membawa kemenangan, Permaisuri sengaja memohon hari baik pada Dewa untuk pernikahannya.
Namun siapa sangka, hari baik itu malah berubah menjadi hari peringatan kematian Permaisuri. Inilah alasan Jing He mengenakan pakaian pengantin di acara pemakaman, tapi malah disalahpahami oleh Kaisar dan semua orang.
Namun bahkan sampai sekarang pun, Jing He tidak pernah repot-repot menjelaskan pada Kaisar dan membiarkan semua orang menyalahpahaminya karena dia tahu bahwa Kaisar hanya ingin mempercayai apa yang ingin beliau percaya.
Ibundanya juga sebenarnya sama saja seperti Ayahandanya. Walaupun sangat sedih atas kematian ibundanya, tapi pada saat yang bersamaan, Jing He juga benci dan marah padanya karena sampai mati pun Ibundanya tidak pernah percaya kalau dia bukanlah pembantai.
Gerutuan marah Jing He ini didengar oleh Mei Lin di luar dan jelas saja itu membuatnya jadi kebingungan, tapi tiba-tiba dia tak sengaja menginjak daun kering yang sontak membuat Jing He curiga.
Mei Lin melarikan diri secepat kilat sehingga saat Qing Yan keluar, dia hanya menemukan seekor kucing di luar. Hmm, tapi sepertinya Jing He tak percaya begitu saja kalau yang tadi itu bukan cuma sekedar kucing biasa.
Di Kediaman Zhang, Zhang Yin mendapati orang-orang yang dia suruh untuk memprovokasi masyarakat tadi, sekarang sudah mati semua dan dikirim ke depan gerbang kediamannya oleh Jing He.
Zhang Yin pusing jadinya. Tapi dia yakin kalau dia masih aman, Toh mayat-mayat ini tidak memiliki tanda Kediaman Zhang. Jing He mengirimnya kemari hanya untuk melampiaskan amarah. Yang itu artinya, Jing he juga tidak bisa berbuat apa-apa padanya. Jadi tidak usah dilaporkan dan merepotkan Putra Mahkota.
Mencurigai Mei Lin, Jing He pun masuk ke kamarnya dan mendapatinya di kasur sembari menyelimuti dirinya dengan rapat yang memang nampak mencurigakan.
Namun saat Jing He menyingkap selimutnya, dia mendapati Mei Lin memakai baju tidur dan kasurnya juga hangat, pertanda bahwa kasurnya sudah ditiduri sedari tadi. Errr, tidak juga sebenarnya, karena di bawah selimutnya sebenarnya ada penghangat. Berhubung tidak ada yang mencurigakan, Jing He pun pergi.
Sendirian di kamarnya, Mei Lin termenung kebingungan memikirkan segala hal yang dia dengar tadi, yang kesimpulannya, sepertinya Jing He tidak bersalah. Mei Lin kemudian membandingkan kedua lencana pasukan Weibei.
Memang, bentuknya sama persis, tidak ada beda. Namun saat dia mencoba mengetukkan keduanya ke meja, suara antara yang asli dan yang palsu beda. Lencana yang dia rebut dari si pembakar, terdengar lebih kopong dibandingkan lencana yang dia curi dari Jing He.
Tepat saat itu juga, tiba-tiba ada burung gagak hitam terbang di depan kamarnya, itu adalah tanda panggilan dari Bos Anchang. Mei Lin pun bergegas menemui bosnya. Seperti sebelumnya, si Bos sangat misterius. Ada di hadapan Mei Lin di lantai atas, tapi wajahnya sangat sulit dilihat.
Si Bos marah karena Mei Lin bertindak sembarangan sehingga ia langsung melemparkan bubuk racun lebih banyak ke Mei Lin hingga membuat tubuh Mei Lin gemetar hebat.
Si Bos memperingatkan bahwa perjamuan pernikahan politik besok adalah kesempatan terakhirnya Mei Lin. Racunnya akan segera bereaksi, jika dia tidak segera mendapatkan obat penawarnya, maka dia akan mati kurang dari tiga hari.
Mei Lin mau tidak mau mengiyakan perintahnya dengan lemah lalu pergi dengan tertatih-tatih... tanpa mengetahui bahwa Bos Anchang ternyata adalah Murong Jing He. Hah???!!! Jadi dia melatih Mei Lin jadi pembunuh dan memerintahkan Mei Lin untuk membunuh dirinya?
Sepertinya dia benar-benar sudah putus asa sehingga berencana untuk mati dibunuh oleh Mei Lin di hadapan Kaisar dan semua orang besok, dan rencana ini sudah dia buat sejak 10 tahun yang lalu saat dia mulai melatih Mei Lin.
Dia tahu konsekuensinya, Mei Lin sudah pasti akan ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Karena itulah, jika setelah rencananya besok berhasil, dia berpesan pada Qing Yan untuk mengubur Mei Lin dengan hormat dan sesuai adat Qingzhou.
Bersambung ke episode 3
0 Comments
Hai, terima kasih atas komentarnya, dan maaf kalau komentarnya tidak langsung muncul ya, karena semua komentar akan dimoderasi demi menghindari spam