Dari flashback masa lalu, ternyata Murong Jing He dan Mei Lin memang pernah bertemu dulu. Dari sini jelas bahwa Murong Jing He mengingat Mei Lin, tapi sekarang pura-pura tidak ingat.
Sepuluh tahun yang lalu... Murong Jing He mengalami depresi berat dan cacat kaki sehingga setiap hari dia melampiaskannya dengan minum-minum dan terus menerus menyalahkan dirinya sendiri sepanjang hari.
Ini terjadi pasca kejadian pembakaran Qingzhou. Suatu hari, Mei Lin mendadak muncul untuk membunuhnya, tapi waktu itu dia belum memiliki kemampuan bela diri sehingga bisa dicegah dan ditangkap dengan mudah oleh para pengawalnya Jing He.
Saat inilah pertama kalinya Jing He memanggilnya sebagai Pengemis Kecil (karena penampilannya yang mirip pengemis) dan mengetahui siapa Mei Lin dan apa tujuannya ingin membunuhnya. Saat Mei Lin mengucap sumpah bahwa dia akan mengirimnya ke neraka, Jing He tertawa miris dan menyatakan bahwa sekarang saja dia sudah berada di neraka.
Dia terdengar sinis dan jahat, tapi jelas sekali bahwa dia depresi gara-gara peristiwa pembakaran itu. (Hmm, tapi bukankah dia yang memerintahkan pembakaran itu? Merasa bersalah?).
Pada akhirnya Jing He berbaik hati melepaskannya. Namun Mei Lin malah semakin bertekad untuk membunuhnya dengan menggunakan tusuk kondenya hingga Jing He langsung menembakkan busur silang ke kakinya.
"Ingin mencari mati, tidaklah semudah itu. Bertahan hidup, barulah penyiksaan," ujar Jing He sambil tertawa miris.
Pantang menyerah, Mei Lin masih terus berusaha untuk bangkit, maka Jing He pun langsung menembak kakinya lagi dan kali ini benar-benar berhasil melumpuhkan Mei Lin.
Kaki Jing He menjadi cacat seperti ini gara-gara dipukuli berulang kali oleh orang-orang yang dendam padanya. Makanya sekarang dia menembak kaki Mei Lin supaya Mei Lin juga bisa merasakan rasanya tidak bisa berdiri.
Namun biarpun tidak bisa berdiri, tekad Mei Lin sekuat baja. Sekuat tenaga dia menyeret tubuhnya mendekat ke Xing Zhou. Begitu sudah dekat, dia mengerahkan segenap kekuatannya untuk bangkit dan mendorong Jing He dari kursi rodanya hingga mereka berdua sama-sama terbari di tanah dalam keadaan sama-sama tak berdaya.
Namun Jing He menolak dibantu para anak buahnya, dan Mei Lin terus terang menyatakan bahwa dia bertahan hidup hanya demi membunuh Jing He.
Kembali ke masa kini... begitu Putri Zi Gu mengetahui Mei Lin menginap semalam di kediamannya Jing He, dia sontak menyeret Mei Lin ke hadapan Jing He untuk menuntut pertanggungjawaban JIng He karena dia mengira kalau Jing He melakukan hal tak senonoh pada Mei Lin sebelum resmi menikah.
Jing He santai menyuruh Mei Lin untuk jujur, Mei Lin mengaku bahwa dia sendiri yang bersedia melakukannya, jadi Jing He tidak bersalah. Putri Zi Gu tak percaya, meyakini kalau Mei Lin pasti dipaksa untuk ngomong begini. Dia mau membawa Mei Lin pergi, tapi Jing He tiba-tiba mengarahkan busur silangnya ke Mei Lin.
Sontak saja Putri Zi Gu langsung pasang badan melindungi Mei Lin (baik banget si tuan putri). Untungnya Jing He tidak serius mau menembaknya.
Namun dia dengar bahwa setiap gadis cantik Negara Xiyan jago memanah, jadi dia mengajak Mei Lin untuk lomba memanah melawannya. Kalau Mei Lin menang, maka Mei Lin boleh bebas memilih untuk pergi atau tinggal bersamanya.
Jing He kemudian memilih satu prajurit untuk memberi contoh menembak panah. Targetnya adalah sebuah aksesoris giok yang dipegang Jing He di depan dadanya. Kalau si prajurit berhasil mengenainya, dia akan mendapatkan hadiah. Tapi kalau dia gagal, maka dia akan dihukum.
Si prajurit sontak berusaha menolak karena ketakutan. Jelas lah, targetnya terlalu beresiko. Kalau kena, mungkin Jing He juga akan kena dan dia akan dihukum. Tapi kalau meleset, dia juga akan dihukum. Tapi berhubung ini perintah, pada akhirnya, mau tidak mau, dia tetap harus melakukannya.
Panah si prajurit meleset, sepertinya sengaja, mungkin dengan pikiran hukumannya cuma hukuman ringan. Namun Jing He malah dengan santainya memerintahkan supaya si prajurit dihukum mati.
Si prajurit sontak berusaha melarikan diri dan melawan, tapi dengan cepat dicegah oleh pengawalnya Jing He, lalu Jing He dengan kejamnya menembakkan panah ke lehernya. Wow, sungguh kejam dan sadis!
Putri Zi Gu jadi ketakutan sama dia, tapi tetap berusaha sok tegar pasang badan melindungi Mei Lin sampai akhirnya mereka dibiarkan pergi dan kembali ke penginapan. Namun Jing He sebenarnya tidak asal membunuh tanpa alasan, si prajurit itu sebenarnya adalah pembunuh yang dilihat oleh Liu Zhong kemarin.
Putri Zi Gu sekarang jadi percaya dengan rumor bahwa Jing He itu monster yang kejam dan berdarah dingin sampai-sampai dia tega membunuh anak buahnya sendiri. Namun Mei Lin, sama seperti Jing He, dia juga mengenali bahwa si prajurit itu adalah pembunuh yang semalam sempat bertarung dengannya.
Putri Zi Gu benar-benar mengkhawatirkan keselamatan Mei Lin, makanya dia kemudian memberikan tusuk kondenya supaya Mei Lin menggunakan ini sebagai senjata kalau-kalau dia ditindas lagi oleh Jing He.
Pfft! Si Tuan Putri polos banget. Dia bahkan mencoba mengajari Mei Lin tentang titik fatal menusuk jantung orang, tapi dia bahkan tidak tahu di mana persisnya posisi jantung manusia.
Tapi yang pasti, dia janji akan melindungi Mei Lin dengan menggunakan status tuan putrinya. Mei Lin jadi agak geli mendengar kebodohannya, tapi juga tersentuh oleh ketulusannya.
Sementara itu di istana, Putra Mahkota Murong Xuan Lie sudah mendengar tentang gadis yang disukai oleh Jing He. Makanya dia kemudian memerintahkan supaya gadis itu diselidiki dengan alasan karena mengkhawatirkan Jing He. Dia tidak mau adik ketiganya tersebut dimanfaatkan oleh orang Negara Xiyan.
Hmm, Putra Mahkota ini tampak baik hati. Tapi sebenarnya tidak, dia justru sangat palsu, dan dia diam-diam bekerja sama dengan Zhang Yin, Menteri Militer.
Namun begitu mendengar bahwa Zhang Yin mengirim mata-mata untuk ditempatkan di kediaman Jing He, Xuan Lie tak senang karena perbuatannya ini terlalu ceroboh, padahal dia selalu menekankan bahwa segala hal yang berhubungan dengan Jing He harus ditangani dengan sangat hati-hati.
Dari percakapan kedua orang ini, jelas sekali bahwa insiden pembakaran Qingzhou sepuluh tahun yang lalu berhubungan dengan mereka, yang berarti Murong Jing He sudah pasti bukan dalang pembakaran dan dia dikambinghitamkan.
Zhang Yin khawatir jika Jing He menyelidiki ulang kasus itu dan menemukan bukti baru, makanya dia mengirim mata-matanya ke sana. Namun sejauh ini, mereka belum tahu apakah Jing He sudah menemukan sesuatu atau belum. Dan sekarang, mata-matanya malah sudah dibunuh oleh Jing He. (Ah! Si prajurit itu)
Makanya sekarang Zhang Yin terburu-buru datang kemari untuk meminta solusi, dia tidak tahu harus bagaimana. Xuan Lie benar-benar kesal dengan kebodohannya. Fakta kalau Jing He membunuh si mata-mata, jelas menunjukkan kalau dia belum punya bukti. Kalau Zhang Yin terus bertindak gegabah, takutnya dia malah akan mengundang kematian.
Namun ada lagi yang dikhawatirkan oleh anak buahnya Xuan Lie. Murong Jing He sudah lama diasingkan, tapi sekarang Kaisar mengiriminya hadiah teh mahal. Tampaknya, Kaisar sudah berencana memaafkan Jing He.
Memang sudah jadi rahasia umum bahwa Kaisar sebenarnya selalu menyayangi Jing He. Sudah pasti hal inilah yang membuat Xuan Lie khawatir bahwa Jing He akan mengambil alih posisinya.
Namun sekarang Xuan Lie tidak khawatir, takhta Negara Yan pada akhirnya akan menjadi miliknya seorang. Seorang pangeran pembantai rakyat, tidak akan mungkin bisa mendapatkan posisi penerus takhta.
Tak lama kemudian, Xuan Lie melihat dari kejauhan saat rombongan pengantin masuk ke ibu kota dan senang mendengar rakyat yang menonton iring-iringan tersebut, heboh sendiri menggosipkan Jing He dan mengatainya Jenderal Pembantai.
Bahkan saat Jing He muncul, beberapa anak langsung paduan suara menyanyikan lagu sindiran tentang pembantaian dan pembakaran keji yang dilakukan Jing He di masa lalu.
Namanya juga anak-anak, mereka sebenarnya bahkan tidak memahami makna lagu itu, tidak sadar pula bahwa efek lagu itu benar-benar kuat memengaruhi pemikiran para orang dewasa di sekitar lokasi hingga tiba-tiba saja ada orang yang berani melemparkan bakpao ke muka Jing He lalu yang lain langsung mengikuti dengan mengutuki Jing He.
Suasana jadi tambah kacau karena semua orang mulai melempari Jing He dengan berbagai macam benda, tapi Jing He tetap santai memakan bakpao yang dilemparkan padanya sambil tertawa sinis. Dia bahkan langsung menghentikan anak buahnya yang berniat mau mengancam rakyat dan membiarkan semua orang terus mengutukinya.
Namun saat ada orang yang berniat menjarah barang bawaan militernya, barang-barang militer milik pasukan Weibei yang salah satunya adalah lencana Weibei, dia sontak melemparkan panah padanya (tapi sengaja meleset) sebagai peringatan dan mengancam akan mengirimnya ke alam baka untuk menemani rakyat Qingzhou jika mereka berani bergerak lagi. Itu berhasil membuat rakyat terdiam ketakutan.
Yang tidak dia ketahui, lagu anak-anak ini dilakukan oleh Xuan Lie untuk memicu emosi rakyat pada Jing He. Berhubung sekarang dia sudah puas, jadi dia memerintahkan untuk berhenti sampai di sini.
Jing He langsung memanggil anak-anak yang paduan suara tadi, lalu mengajari mereka untuk menyanyikan lagu lain, mengganti lirik Jenderal pembantai dengan Jenderal Utama Hantu, lalu memberi mereka uang.
Agak ketakutan awalnya, namun kemudian, salah satu anak dengan polosnya mengaku bahwa orang yang mengajari mereka lagu itu, memberi mereka bayaran lima tanghulu. Geli, Jing He memberitahu mereka bahwa uang pemberian ini bisa untuk membeli seratus tanghulu, makanya mereka harus menyanyikan lagu yang dia ajarkan barusan dengan lantang dan beri tahu semua orang bahwa Jenderal Utama Hantu sudah kembali.
Anak-anak itu langsung saja mengambil uangnya lalu pergi sambil menyanyikan lagu yang diajarkan Jing He barusan dengan riang gembira.
Bersambung ke part 2
0 Comments
Hai, terima kasih atas komentarnya, dan maaf kalau komentarnya tidak langsung muncul ya, karena semua komentar akan dimoderasi demi menghindari spam