Sinopsis Padiwarada Episode 14 - Part 4

  Sinopsis Padiwarada Episode 14 - 4



Pasca kejadian itu, para warga desa berkumpul di vihara. Tapi saat Biksu meminta mereka mendekat agar mereka semua bisa kena siraman air suci, semua orang malah diam.

Ternyata mereka menginginkan Saran yang melakukannya soalnya mereka yakin sekali kalau Saran punya ilmu magis. Poo dan para wanita yang baru lepas dari jeratan geng bandit itu cemas kalau mereka akan mati gara-gara obat yang diberikan Kao pada mereka. Mereka benar-benar percaya pada Saran.

Saran sampai bingung, dia sungguh tidak punya ilmu magis. Lagipula, tugas untuk menyiram air suci kan tugasnya biksu.

Tapi Poo masih saja ngotot meminta Saran untuk menyelamatkan mereka, mereka sangat takut mati karena kutukan White Tiger. Kepala Desa juga terus memaksa Saran untuk melakukannya saja. Bukankah Saran bilang bahwa keyakinan itu yang paling penting?

"Tapi, aku tidak tahu caranya menyiram air suci."

 

Tapi karena tak ingin membuat semua orang kecewa, Saran mendadak punya ide bagus. Dia menunjukkan kalung Buddha-nya Rin yang dia pakai selama pertarungan melawan White Tiger lalu mencelupkannya ke cawan air suci.

"Tak ada mantra sihir apapun yang bisa mengalahkan kebajikan Buddha." Ujar Biksu.

Ia kemudian menciprati semua orang dengan air suci itu dan saat itulah semua orang akhirnya bisa merasa lebih lega dan tenang.

"Mulai sekarang, semua orang bisa tidur lebih tenang." Ibu Kepala Desa senang.

"Pak Sheriff ini telah membantu warga desa agar lebih aman... dan membantu para gadis merasa lebih segar." Goda salah satu pria. Para fansgirl-nya Saran langsung heboh melayangkan kecupan manjah ke Saran sampai membuat Saran jadi canggung.


Setelah itu, Saran pergi mengunjungi Duang di biara. Dia sekarang benar-benar sudah bertobat dengan memutuskan untuk tinggal di biara yang dulu begitu dibencinya.

"Lalu apa kau bisa tinggal di sini?" Cemas Saran

"Tempat ini jauh lebih baik daripada di rumah, lebih baik daripada di rumah sakit, lebih baik daripada di ibu kota. Aku tidak pernah merasa sedamai ini sebelumnya."

"Aku bisa melihatnya dari raut wajahmu."

Duang emngaku kalau semalam dia memimpikan Naris. Naris datang dalam mimpinya untuk berterima kasih karena dia mentahbiskan dirinya demi Naris. Saran merasa Naris itu seperti ayahnya. Orang baik yang menyerah.

"Karma buruk yang kulakukan padanya. Kalau aku tidak melakukan ini, aku tidak akan bisa hidup."

"Berapa lama kau akan tinggal di sini?"

"Cukup lama mungkin. Setelah itu, aku akan terbang menyusul orang tuaku ke Inggris. Aku akan membantu mereka bekerja dan mencari uang untuk membayar hutang-hutang mereka."

"Setelah ayahku meninggal, aku harus pindah dan tinggal di biara. Saat itu, kukira aku sangat tidak beruntung. Tapi sebenarnya, itu adalah keberuntungan yang baik. Jika tidak, aku mungkin akan jadi tuan muda yang malas. Aku akan tidak akan berguna bagi dunia ini."

"Akan kuingat kata-katamu."

"Ke mana pun kau pergi, tolong bawa kata-kata bijakku ini bersamamu. Kau tidak sendirian. Cintaku dan Khun Chai Naris akan selalu bersamamu, cuma beda bentuk saja."


Tuan Bumrung dan Khun Ying mendapati Braranee masih murung seorang diri di rumah. Tapi tidak seperti biasanya, kali ini dia tidak keluar rumah. Sudah seminggu malah dia tidak pergi ke mana-mana.

Braranee bahkan berjanji tidak akan terlalu sering kelayapan seperti sebelumnya. Tuan Bumrung senang karena Braranee akhirnya mau mendengarkan mereka. Tapi Braranee benar-benar merasa bosan. Hidupnya rasanya tidak berarti bagi siapapun.

"Kalau kau hidup cuma untuk menerimanya, maka kau hanya akan memiliki kekosongan. Tapi jika kau menjalani hidupmu untuk memberi, maka kau akan memiliki lebih dari cukup." Nasehat Tuan Bumrung

"Aku bukan Rin ataupun Bu. Aku tidak akan mengerti hal itu."

"Aku tahu kalau kau mengerti."

"Cintai orang tuamu, teman-temanmu, pekerjaan, binatang, pepohonan, dansa dan membaca. Jika kau mencintai semua hal ini, semua itu tidak akan pernah membuatmu patah hati."

 

Braranee tersenyum mendengar nasehat itu. Sebenarnya, Arun memintanya untuk bekerja di tempat kerja yang barusan ditinggalkannya, di kementrian luar negeri. 

"Hidup belum berakhir, jadi aku harus terus berjuang."

Tuan dan Khun Ying tentu senang mendengarnya bersemangat kembali. Braranee bertekad akan menjadi wanita cantik yang punya pekerjaan, berpakaian yang bagus, memiliki kehormatan dan uang. Bukankah itu keren? Senang, Khun Ying dan Tuan Bumrung pun langsung memeluk putri sulung mereka itu.


Sementara itu, Bu sedang mengunjungi Rin dengan membawakan bubur buatan Ibu untuk Rin. Dia sedang menyuapi Rin saat Chalat datang. Kedua orang itu sontak canggung berhadapan satu sama lain.

Dia juga membawakan bubur untuk Rin, tapi ternyata Rin sudah makan. Rin menyuruhnya untuk memberikannya pada Bu saja, Bu juga suka kok makan bubur itu.

Bu menatapnya dengan wajah berbinar. Tapi Chalat masih patah hati gara-gara penolakan Bu waktu itu. Menyadari situasi aneh di antara mereka, Rin heran, apa mereka bertengkar?

"Tidak!" jawab mereka kompak.

Kalau begitu, Chalat akan pergi mengambil sendok dulu. Dia juga belum makan, jadi mereka bisa makan bubur ini bersama. Begitu Chalat keluar, Rin memperhatikan Bu menatap pintu dengan tatapan rindu.


Malam harinya, Bibi mendapati Chalat murung sendirian di teras. Heran dia, ini kan malam minggu, tumben Chalat tidak keluar. Para gadis di luar sana pasti merindukannya.

Chalata mengaku kalau dia sudah keluar malam kemarin. Ada banyak wanita cantik dan musiknya juga enak didengar. Tapi entah kenapa belakangan ini, hatinya tidak merasa senang.

"Kenapa begitu?"

"Ini karena khun Buranee." Semua wanita cantik di luar sana, tidak bisa membuatnya berhenti memikirkan Bu. Dia sungguh tidak mengerti kenapa Bu menolaknya.

"Hei! Kenapa juga kau peduli dengan gadis yang tergila-gila dengan sekolah? Ada banyak wanita cantik yang bersedia melayanimu. berkencanlah dengan satu atau dua wanita, maka kau akan bisa melupakan Buranee."

"Itulah yang awalnya kupikirkan. Tapi sekarang aku tidak yakin. Banyak wanita yang mengikutiku dan memujaku. Tapi aku merasa, playboy sepertiku ini tidak pantas untuk mengencani para wanita itu."

Bibi senang mendengar sudah tobat, tapi ia terus menggodai Chalat. Memangnya bersama Bu akan membuat hidup Chalat lebih baik apa?

"Kepribadiannya jauh lebih baik daripada aku. Dia tidak minum-minum ataupun merokok. Dia kalem, cerewet dan jauh lebih pintar daripada aku. Hidupnya akan jauh lebih berkembang daripada aku."

"Tapi dia suka mengomel. Dan dia tidak memanjakanmu. Lihatlah, kau punya aset dan nama keluarga, tapi dia tetap tidak peduli padamu. Kurasa dia akan membuat hidupmu membosankan. Dia tidak akan seperti wanita lain di luar sana."

"Jika aku tidak mengubah diriku, kurasa aku harus menikahi salah satu wanita itu biar aku punya pasangan untuk pergi ke mana-mana. Tapi jika aku menginginkan keluarga yang layak dan anak-anak yang berbakat, maka orang itu harus Khun Bu. Dia yang terbaik."


Bibi sontak keplok-keplok heboh saking senangnya. Bu sudah membuat kesalahan besar. Bu pikir kalau Chalat itu bodoh, padahal sebenarnya dia pintar. Chalat yang paling pintar malah. "Jangan menyerah. Kalau kau pikir kau mencintainya, maka kau harus berjuang."

Chalat bingung. "Jadi Bibi mendukung Khun Bu?"

"Pria yang sukses dalam hidupnya, cenderung memiliki satu hal yang sama. Yaitu... istri yang baik."

Mendengar itu, semangat Chalat langsung bangkit kembali. Benar juga, kalau dia ingin sukses, maka dia harus punya istri yang baik. Kalau dia memiliki Bu, maka hidupnya pasti akan lebih baik.

"Aku harus berjuang lagi!"


Keesokan harinya, Ibu Saran menjenguk Rin dengan membawa berita baik. Tapi bahkan sebelum Ibu mengucap apapun, Rin sudah antusias menduga kalau dokter pasti sudah mengizinkannya pulang.

"Apa kau sebosan itu di rumah sakit?"

"Karena memang sangat membosankan. Aku sudah tinggal di sini selama sebulan."

"Dokter mengizinkanmu pulang minggu ini. Saran pasti akan senang."

Ehhmm, tapi Rin harus pergi ke rumah ayahnya dulu... rumah yang tidak ingin ditinggali Saran itu.

"Saran masih belum bicara denganmu tentang apa yang dia inginkan?"

Tidak. Rin juga tidak berani tanya. Dia takut kalau Saran tidak akan sanggup tinggal di rumah keluarga Rapeepan dan mendengar orang-orang menggosipkannya. Pokoknya, dia harus pergi melihat ayahnya dulu. Beliau tidak akan punya motivasi kalau tidak melihat Rin.

"Di satu sisi ada ayah, di sisi lain ada suami. Rumit sekali, yah? Kurasa aku harus bicara dengan Saran."

"Bicara apa?"

Saran kan tidak nyaman dengan fakta kalau Rin sekarang seorang milyuner. Makanya Ibu mau tanya apakah Saran akan senang kalau Rin kembali ke dapur dan memakai pakaian seperti dulu?

Bersambung ke part 5

Post a Comment

0 Comments