Bu sedang sibuk membaca seperti biasanya saat tiba-tiba saja Chalat muncul dari belakangnya sambil menunjukkan cincinnya yang dijadikan kalung. Tanpa menunggu izin dari Bu, dia langsung saja mengalungkan kalung itu ke leher Bu.
"Kenapa kau memberiku barang mahal lagi?" Protes Bu. "Cincin ruby, berarti ini pasangan..."
"Benar. Kalungnya Rin. Kalungnya Rin dipakai Saran, jadi cincinku harus dipakai olehmu, itu baru benar."
"Aku sudah bilang padamu..."
Tidak mau tahu, Chalat langsung saja menarik-narik cincinnya Bu dan memaksa Bu untuk memberikan cincin milik Bu padanya. Bu berusaha mempertahankan cincinnya, tapi Chalat berhasil menariknya dengan mudah dan langsung saja menyatakan kalau dia akan mengambil cincin ini lalu memasukkannya ke dalam sakunya.
"Hei, kau! P'Braranee membelikan cincin itu untukku. Kembalikan!"
"Belajarlah sebanyak yang kau inginkan. Aku akan menunggumu. Kita sudah tukar cincin untuk saling mengingatkan agar kita saling menunggu satu sama lain. Aku akan menunggu sampai kau lulus."
Bu tak percaya mendengarnya. "Kau akan menungguku?"
"Ya, aku sudah membuat keputusan."
Bu langsung sumringah seketika. Tapi... Chalat membuat keputusan untuk dirinya sendiri, Chalat bahkan tidak menanyakan pendapatnya.
"Loh, kau sendiri yang menyuruhku untuk menunggu dan sekarang aku menunggu."
"Kau tidak boleh cuma menunggu. Kau harus melakukan sesuatu juga."
Chalat harus lebih fokus pada pekerjaannya lebih daripada sekarang. Kalau dia cuma duduk dan tidur, kapan dia bisa bekerja dengan benar? Kalau Bu punya anak nanti, maka anaknya harus memiliki seorang ayah yang patut dicontoh sebagai ayah yang bertanggung jawab dalam pekerjaannya. (Pfft! Udah ngomongin anak aja)
"Tuntutanmu banyak sekali. Tapi, itu artinya kau setuju, kan? Kau bahkan sudah membicarakan masalah anak, aku bahkan belum memikirkan masalah itu."
Malu, Bu mengklaim kalau dia cuma impulsif. Chalat sontak bersorak saking senangnya lalu menggenggam tangan Bu. "Terima kasih. Memiliki kesempatan ini saja aku sudah senang."
Tapi Bu masih punya tuntutan lain, Chalat tidak boleh lagi keluar malam. (Oke). Dia juga tidak boleh berbohong. (Oke). Tidak boleh selingkuh. (Oke). Tidak boleh bersikap seperti playboy... Hmm, kalau yang itu tidak oke.
Chalat mendadak mengecup pipi Bu. Dia tidak bisa kalau tidak bersikap seperti palyboy pada Bu. Mending dia mati aja kalau begitu. Malu, Bu langsung memukuli Chalat sambil protes.
"Dasar gila. Aku tidak akan mengizinkanmu mencuri ciuman dari pipiku. Rasain nih!" Jadilah mereka bermain kejar-kejaran dengan gembira.
Di Pak Tai, Saran baru pulang kerja dan mendapati Ibu sedang mengeluarkan gelas-gelas kaca yang dibawanya dari ibu kota. Ibu naik kereta semalam setelah mengunjungi Rin.
"Lalu bagaimana keadaannya sekarang?"
"Dokter sudha mengizinkannya pulang. Kau baru keluar dari hutan, kan?"
"Iya. Aku datang untuk meeting dan aku juga sedang menunggu kru-ku. Aku harus pulang karena aku belum istirahat di rumah."
mengalihkan topik ke barang-barang yang dibawa Ibu, Saran berkomentar kalau gelas-gelas yang Ibu bawa sangat cantik. Mendengar itu, Ibu tiba-tiba menabrakkan dua gelas hingga salah satunya pecah dan yang satunya retak.
"Yang satu pecah dan yang satu retak. Bersama-sama, hati mereka hancur. Mereka tidak melaksanakan tugas masing-masing. Tidak ada cinta."
"Kurasa ini bukan tentang gelas."
"Ini tentang kehidupan rumah tangga. Hatiku kaca dan begitu pun hatimu. Ini dan itu, kalian menjadi lemah. Jika salah satu melakukan kesalahan, maka yang satu sedih. Jika salah satu salah, maka yang satu akan marah. Hanya karena goncangan kecil, salah satunya menjadi pendendam dan tidak tahu cara memaafkan. Kalau seperti ini, kalian tidak akan bisa bersama."
"Maksud Ibu, aku pendendam?"
Sembari menuang air ke gelas kacanya, Ibu memberitahu Saran bahwa jika mereka berdua bisa bersikap layaknya air (yang bisa menyesuaikan diri di semua tempat), dan bukannya bersikap seperti gelas kaca yang cuma bisa saling menghancurkan satu sama lain, maka kehidupan rumah tangga mereka tidak akan ada masalah.
Saran tiba-tiba teringat akan nasehat Ibu saat mereka menikah dulu agar mereka bisa bersikap seperti air, saling menyesuaikan diri, saling memaafkan dan saling mengasihi satu sama lain apapun yang terjadi.
Rin akhirnya pulang dan Ayah pun bisa kembali ceria seperti sebelumnya. Rin menyakinkan Ayah untuk tidak cemas karena dia sudah selamat dan baik-baik saja sekarang.
Di luar, Chalat tanya berapa lama Rin akan tinggal di sini. Rin juga tidak tahu karena dia belum bicara dengan Saran. Dia sedang sibuk masuk hutan untuk mengurusi kasus pembalakan liar.
Rin yang harus pergi menemuinya, tapi dia tidak berani memberitahu Ayah. Takutnya ia akan berkecil hati lagi.
"Pergi saja dan temui Ran. Aku akan bilang ke Ayah. Aku memikirkanmu dan Saran. Selalu saja ada masalah dan hidup terpisah. Aku akan menjelaskannya pada Ayah."
Tapi malam harinya saat Rin tidur, seseorang mengendap-endap masuk kamarnya, mengunci pintu lalu meletakkan tas ranselnya di kursi. Ow, akhirnya Saran datang juga.
Dia mencoba membangunkan Rin sambil minta izin tidur bersama Rin. Tapi seperti biasanya, Rin tidur terlalu lelap sampai tidak bereaksi sama sekali. Yah sudah, Saran langsung saja masuk ke dalam selimutnya Rin yang kekecilan untuk dipakai berdua.
"Kau suka sekali tidur pakai selimut kecil. Tapi tidak masalah." Kata Saran sambil memeluk Rin.
Merasakan kehangatan itu, Rin tiba-tiba tersenyum dalam tidurnya lalu berguling ke Saran sambil ngelindur bahagia. "Mimpi yang indah."
"Kau tukang molor seperti biasanya, yah?"
Suara itu sontak membangunkan Rin. Tapi begitu melihat wajah Saran yang begitu dekat dengannya, Rin kaget dan refleks berguling dari kasurnya. Untung saja Saran bergerak cepat menariknya kembali.
Masih belum percaya, Rin langsung meraba-raba wajah Ran dengan keheranan. "Aku tidak bermimpi ternyata."
Dan Saran langsung mnjawabnya dengan mengecup lembut tangan Rin. "Ini beneran aku."
"Tapi ini rumah ayahku."
"He-eh. Rumah istri milyunerku. Tak peduli berapa banyak tiger yang kutangkap, aku tidak akan pernah bisa membelinya."
Saran mengaku kalau dia sudah cukup lama minta izin untuk cuti. Tapi berhubung ada kasus pembalakan liar, terpaksa dia harus masuk hutan selama seminggu. Begitu dia keluar dari hutan, dia bergegas naik kereta dan datang kemari secepat mungkin.
"Kau akan tidur di sini?"
"Iya."
Saran lalu bergerak mendekat untuk menciumnya, tapi Rin tiba-tiba menghentikannya. Kalau Saran tinggal di sini, maka orang-orang akan bergosip bahwa dia tinggal di rumah istrinya.
"Lupakan para penggosip itu." Kata Saran sambil berusaha mencium Rin lagi, tapi Rin lagi-lagi mencegahnya.
"Aku tidak akan pindah dari rumah ini. Aku akan tetap tinggal di sini untuk merawat ayahku."
"Aku akan tinggal di sini bersamamu." Saran terus berusaha mencium Rin. Tapi setiap kali itu pula Rin menghentikannya untuk membicarakan urusan di antara mereka yang belum selesai.
"Aku tidak akan bolak-balik mengubah diriku hanya untuk memanjakanmu. Baju lama atau baju baru, dan juga masalah penggunaan uang. Aku akan menggunakannya sesuai alasan yang kurasa tepat."
"Baguslah."
"Kau yakin?"
"Iya. Mulai sekarang, aku bisa tidur di mana pun kau berada. Karena kau adalah rumahku... rumahku."
"Lalu bagaimana dengan pekerjaanmu..." Belum selesai dia ngomong, Saran langsung membungkam mulut Rin dengan bibirnya dan menautkan jari-jemari mereka.
Saran bangun keesokan harinya dengan senyum bahagia dan langsung pergi ke halaman belakang untuk menikmati udara segar. Rin datang tak lama kemudian dengan membawakannya kopi.
"Kau bangun lebih dulu daripada aku."
"Inia sudah jam berapa? Kau bangun kesiangan. Aku mengendap-endap masuk kamar beberapa kali sampai kupikir kau sakit."
"Aku tidur sangat nyenyak. Akhirnya aku berada di rumah yang sebenarnya sekarang."
Saran mau makan apa nanti? Sejak Rin tinggal di sini, dia tidak diizinkan masuk dapur. Tapi hari ini, dia akan memasak untuk Saran. "Aku akan melakukannya karena kau adalah orang yang sangat baik hati." Ujar Rin sambil memeluk Saran.
Saran meminta maaf karena dia tidak bicara dengan Rin saat terakhir kali Rin datang. Waktu itu, yang dia pikirkan hanya White Tiger. Memikirkan hal itu saja sudah membuatnya pusing, makanya dia berpikir untuk mengesampingkan masalah Rin dulu.
"Dan kenapa kau tiba-tiba menerima hidupku?" Heran Rin.
"Saat kau tertangkap, aku sangat marah pada diriku sendiri. Kenapa aku harus menunggu ini dan itu dan tidak bicara baik-baik padamu? Bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu padamu? Aku pasti akan kehilangan kesempatan."
"Dan saat aku dirawat di rumah sakit?"
Saran merasa hampir gila waktu itu. Dia memberitahu dirinya sendiri bahwa jika Rin siuman, maka hari ke-50 itu akan menjadi hari terakhir perpisahan mereka. Mereka tidak akan lagi hidup terpisah.
"Iya. Kita akan bersama, bicara, bertengkar dan lain sebagainya. Tapi kita tidak akan berpisah lagi."
"Hanya memikirkan kita tidak bersama, masalah tentang Sivavet, masalah perbedaan status dan semua gosip, semua itu rasanya mereda. Masalah terbesar adalah tidak memilikimu di sisiku."
Senang, Rin pun langsung memeluk Saran lagi. "Tidak semua orang memiliki pasangan. Tidak semua pasangan akan jatuh cinta. Aku beruntung memiliki pasangan dan juga cinta. Aku akan berusaha keras untuk melindunginya."
"Istri yang baik sepertimu juga keberuntunganku. Kita akan saling memaafkan lagi dan lagi. Kita akan selalu melakukannya. Sampai maut memisahkan kita, yah?" Saran lalu mengecup lembut kening Rin dan memeluknya erat.
(Akhirnya tamat juga. Terima kasih pada semua pembaca yang telah membaca sinopsis drama ini sampai akhir. Sampai jumpa di drama-drama lainnya ^^)
0 Comments
Hai, terima kasih atas komentarnya, dan maaf kalau komentarnya tidak langsung muncul ya, karena semua komentar akan dimoderasi demi menghindari spam