Chalat langsung sumringah seketika. Tapi Bu langsung beranjak bangkit, dia mau pergi, kan tidak enak kalau dia lama-lama di sini di jam kerja.
Chalat berusaha mencegahnya dan mengajaknya untuk ngobrol dulu. Dia CEO di sini, jadi tidak akan ada orang yang berani bicara apapun tentangnya.
"Dasar aneh. Kau itu CEO, jadi kau tidak boleh begitu. Kalau CEO tidak bisa menaati aturan, lalu bagaimana bisa organisasi mereka menaati peraturan?"
Pfft! betul juga. Tapi saat dia sibuk memikirkan kebenaran ucapan Bu, Bu sendiri sudah keluar dari sana. Chalat langsung panik dan bergegas keluar mengejarnya.
"Bagaimana kalau aku mentraktirmu es krim? Kita bisa duduk sambil ngobrol. Bagaimana?"
"Ngobrol? tentang apa?"
"Tentang... banyak hal. Aku... kangen sama kamu."
Bu tampak tersentuh mendengarnya. Dia bahkan hampir tersenyum, tapi dengan cepat dia menguasai diri dan bersikeras menyuruh Chalat untuk berhenti tertarik padanya. Soalnya dia masih bertekad untuk melanjutkan studinya.
Dia hampir lulus sebentar lagi dan sekarang ini, dia sedang berusaha untuk mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studinya ke luar negeri. Kalau dia kuliah ke luar negeri, maka dia akan pergi lama.
"Menurutku, kau harus mencari wanita lain yang bisa tinggal di sini dan mengurusmu. Jangan seorang kutu buku seperti aku. Aku tidak ingin menyia-nyiakan waktumu."
Pasti ada banyak wanita di luar sana yang mengantri untuk mendapatkan Chalat. Lebih baik dia jadi adiknya Chalat saja, seperti Rin. Itu jalan terbaik. Bukankah begitu?
Bu langsung pergi tanpa menunggu jawabannya. Walaupun di depan Chalat sikapnya sangat dingin, tapi begitu dia turun, dia langsung menangis sedih.
Chalat masih berdiri linglung di sana. Sungguh tak disangka kalau dia sudah ditolak duluan, bahkan sebelum mereka mulai. Patah hati, dia kembali ke kantor dengan wajah sedih sampai Rin cemas melihatnya. Apa dia baik-baik saja?
"Hatiku... patah. Hancur... berkeping-keping."
Tengah malam, geng White Tiger mulai melancarkan aksi balas dendamnya dan tempat pertama yang mereka tuju adalah rumah Saran yang sekarang cuma ditinggali Mae Sari dan Sherm.
Salah satu anggotanya teriak-teriak memanggil orang rumah dengan pura-pura sebagai kurir. Sherm jelas bingung, barang apa yang mau mereka kirimkan tengah malam begini? Dia akan keluar untuk mengambilnya.
"Tidak perlu. Akan kulempar padamu!" Teriak pria itu.
Dia lalu memanggil bala-balanya yang langsung melemparkan banyak sekali obor ke rumah itu. Kao sontak ngakak puas. "Bilang pada Sheriff. Kalau aku mati, maka dia hidup. Kalau dia mati, maka aku hidup!"
Geng bandit itu lalu pergi sambil tertawa puas. Api menjalar dengan cepat. Sherm sontak teriak-teriak panik memanggil ibunya.
Alih-alih berusaha menyelamatkan dirinya, Mae Sai malah nekat balik ke kamarnya hanya untuk menyelamatkan beberapa harta bendanya, tak peduli biarpun api sudah semakin mengepungnya. Tapi saat dia berusaha keluar dari sana, tiba-tiba sebuah tiang yang terbakar api terjatuh ke arahnya.
Keesokan paginya, Chalat terburu-buru mengabarkan masalah itu pada Rin setelah dia mendengarnya dari cerita di radio. Rin terkejut mendengarnya.
Ibu pun langsung terduduk lemas saat Nuer memberitahukan kabar itu padanya. Nuer sampai cemas dan berusaha meyakinkan Ibu untuk tenang. Itu cuma ancaman.
"Lalu apa kata Saran?" Tanya Ibu.
Saran sendiri melampiaskan kekesalannya dengan latihan menembak. "Aku tidak akan mati. Orang yang melakukan kebaikan untuk masyarakat tidak akan mati!"
Cemas, Ibu langsung berdoa pada Buddha. Tapi kemudian Nuer mengabarkan kalau Saran mau pergi ke Paktai hari ini. Kalau begitu, Ibu juga mau ikut. Ia tidak akan bisa tenang menunggu berita di sini. Pokoknya, Ibu harus menemani Saran.
"Lalu bagaimana dengan Khun Duangsawat? Dia sangat bergantung pada Khun Nu sekarang ini. Apa tidak apa-apa membawanya ikut serta?" Tanya Nuer.
Sebelum pergi, Saran terlebih dulu mendatangi Arun. Tanpa basa-basi, dia memberitahu Arun kalau dia harus pergi ke Paktai hari ini. Dia datang kemari untuk menitipkan Rin padanya.
"Jika terjadi sesuatu padaku, tolong jaga Rin untukku."
"Pak Sheriff, kau kan mau menangkap geng White Tiger. Jadi jangan bicara begitu."
"Tidak ada seorangpun yang memaksaku untuk menjadi pegawai pemerintah. Aku sendiri yang menginginkannya. Aku tidak sabar ingin menangkap mereka. Tapi Rin, dia tidak punya pilihan. Aku tidak bisa membawanya untuk menghadapi White Tiger bersamaku."
"Jadi kau akan meninggalkannya di sini? Dia akan mau begitu?"
Tapi baiklah. Dia janji akan menjaga Rin untuk Saran. Dia fokus saja pada pekerjaannya. Ketiga wanita Bumrung Prachakit sudah seperti adik-adiknya sendiri. Jadi dia pasti akan menjaga Rin.
"Terima kasih."
Saran akhirnya tiba di Paktai. Melihat rumahnya yang terbakar sebagian, sontak memicu amarah dalam dirinya.
Ibu sendiri langsung pergi ke klinik untuk menjenguk Mae Sai. Syukurlah dia tidak terluka parah dan hanya tangannya yang terbakar. Nuer memberitahu mereka kalau Saran yang akan membayar biaya rumah sakitnya, jadi Mae Sai tidak perlu khawatir.
Dalam rapat di kantor wilayah, Pak Gubernur marah-marah karena mereka gagal menangkap Kao. Anggota barunya White Tiger kali ini, jelas bukan orang biasa. Mereka sangat jahat. Apa rencana Saran selanjutnya?
Saran yakin bahwa yang ada di pikiran mereka saat ini adalah merampok karena semua sumber penghasilan mereka sudah habis. Dan jika mereka ingin mendapatkan uang dengan cepat, maka mereka harus merampok para pedagang di kota.
Kepala Sheriff menduga kalau White Tiger pasti akan melakukan aksi perampokan besar-besar untuk menakut-nakuti mereka. Maka Pak Gubernur pun segera memerintahkan mereka untuk membentuk pasukan untuk melindungi warga.
Saat Saran sedang membersihkan bekas-bekas bangunan yang terbakar, Rin tiba-tiba muncul. Saran jelas sebal melihatnya ada di sini dan langsung ngambek mengabaikannya. Rin tidak peduli, ini juga rumahnya. Tentu saja dia harus datang untuk melihat apa yang terjadi.
"Saat aku pertama kali datang kemari, kau bersikap seolah aku makhluk tak terlihat. Apa sekarang kita akan kembali ke masa itu?"
Saran tetap acuh dan kembali melanjutkan kegiatannya. Mengacuhkan kekesalan Saran, Rin langsung mengambil garpu rumput untuk membantu Saran. Mereka membangun rumah ini bersama. Maka jika rumah ini hancur, maka dia akan membantu Saran untuk membangunnya kembali.
Tapi saat Rin hendak bekerja, dia malah melihat Duang baru keluar ke balkon. Rin jelas sakit hati melihat hal itu. "Kau membawa Duangsawat kemari? Kau kembali padanya, yah?!"
Alih-alih menjelaskan apapun, Saran malah diam saja dan membiarkan Rin berpikir semaunya. Kesal, Rin tidak jadi membantunya dan pergi dengan penuh amarah.
Tapi di tengah jalan, Rin mendadak teringat kembali akan kekhawatiran Saran tentang White Tiger yang sekarang sudah semakin menggila. Seketika itu pula, Rin akhirnya sadar kalau Saran cuma menjauh darinya karena mengkhawatirkan keselamatannya.
"Kau berpikir untuk membohongiku, Saran! Aku tidak sebodoh itu untuk dibohongi!" Kesal Rin lalu balik lagi ke rumah itu.
Duang hendak masuk rumah saat tiba-tiba saja dia mendapati Rin menghadangnya. Mungkin malu, Duang langsung memalingkan wajahnya dari Rin.
"Kenapa wajahmu begitu? Kau mungkin berpikir kalau aku datang kemari untuk menghakimimu."
"Apa ku akan melakukannya?"
"Kenapa juga aku harus melakukannya?"
Rin hanya ingin tanya alasan mereka berdua datang kemari bersama-sama, apakah karena mereka sudah balikan sekarang?
Duang menyangkal, mereka tidak berduaan, melainkan bersama Ibu Saran juga. Di keluarga Saran lah, Duang merasa berarti. Sekarang ini, dia hanyalah seseorang yang tak punya tempat tujuan.
0 Comments
Hai, terima kasih atas komentarnya, dan maaf kalau komentarnya tidak langsung muncul ya, karena semua komentar akan dimoderasi demi menghindari spam