Sinopsis Padiwarada Episode 13 - Part 3

  Sinopsis Padiwarada Episode 13 - 3



Rin memikirkan sesuatu kemarin. Berhubung ayahnya tidak menginginkan rumah Sivavet kembali, jadi Rin berpikir untuk menyumbangkan rumah itu pada sebuah rumah sakit agar mereka mengubahnya jadi rumah sakit tentara.

Itu cara terbaik menurut Rin karena dia sendiri tidak akan bisa tinggal di rumah itu. Anggap saja ini sebagai amal untuk Ayah Saran dan Reung.

"Kalau kau menyumbangkannya, lalu apa yang kau miliki?"

"Aku masih punya beberapa hektar tanah dan juga gaji bulanan. Itu saja sudah cukup."

"Tapi, kau kan bisa menyewakannya saja."

"Kalau aku menyewakannya, apa kau akan kembali padaku? Bisakah kita kembali jadi suami dan istri seperti biasanya?"


Tapi Saran cuma diam mendengar pertanyaan Rin. Dan Rin bahkan tidak kaget, dia sudah bisa menduga kalau Saran tetap tidak akan bisa menerimanya, kan? Atau ini karena Duang? Sekarang dia tidak punya siapapun. Kalau Saran meninggalkannya juga, dia pasti akan bunuh diri. Karena itu kan Saran tidak bisa meninggalkannya?

Saran menyangkal. "Bukan karena Duangsawat atau siapapun. Tapi karena kau... karena kau. Hidupku... cukup lama memilikimu sebagai matahariku."

Saran tidak ingin menjatuhkannya. Hidup Rin selama ini cukup sulit. Dia menjadi pelayan di dapur, membersihkan kamar mandi, dll. Apa dia tidak lelah? Apa dia tidak menginginkan hidup yang bahagia?

Rin tak percaya mendengarnya. "Kau sungguh berpikir begitu?"

Sambil menampilkan senyumnya, Saran menyarankan Rin untuk tidak sumbangkan rumah itu. Lakukanlah sesuatu untuk Rin sendiri. Dia sama seperti Chalat, dia ingin melihat Rin sukses.

"Lihatlah dirimu. Kulitmu dan perilakumu, kau seperti tuan putri."

"Aku masih sama. Aku si gadis dapur... Braralee Sivavet. Aku puas menjadi seperti itu. Baju-baju yang diberikan keluarga Bumrung padaku dan nama keluargamu."


"Tapi kau adalah Rin... Rin Rapeepan. Kau tidak bisa menyangkal hal itu. Saat ini, ayahmu sangat membutuhkanmu. Di saat terakhir hidupnya, dia harus memilikimu sebagai mataharinya. Aku tidak boleh merebutmu darinya. Itu tugas. Kata tugas yang selama ini begitu kau agungkan. Apa kau ingat?"

"Tugas. Tugas yang sangat menyakitkan. Aku harus berjauhan dari suami yang sangat aku cintai." Tangis Rin.

Saran juga tampak sedih, tapi dia berusaha tetap tegar. Sekarang ini, White Tiger sudah semakin gila. Dia benar-benar menjadi macan bengis yang tak takut mati. Dan mereka belum bisa menemukanya sampai sekarang.

Kalau Kao kembali ke Paktai, sudah pasti dia akan balas dendam pada seluruh kota dan Pak Tai akan kacau balau. Tugasnya adalah menghalangi Kao dengan segala cara.

"Kau akan pergi ke Paktai biarpun kondisi Khun Duangsawat seperti ini. Apa kau bisa melakukannya?"

"Orang-orang di sana, termasuk Kepala Desa Klai, telah kehilangan harta dan keluarga mereka. Tidak ada bedanya dengan Duangsawat. Aku tidak bisa mengkhianati mereka."


Saran tiba-tiba berlutut di hadapan Rin seolah memperlakukannya bagai seorang putri. "Sekarang kau (status) tinggi, jalanilah hidupmu dengan penuh rahmat. Buatlah hidupmu setara dengan cinta ayah dan kakakmu. Jangan bersedih atas segala hal dariku yang bisa menjatuhkanmu."

Dia mengklaim bahwa semakin tinggi hidup Rin, dia akan semakin bahagia. Dia lalu mengecup tangan Rin sebelum kemudian melepaskan genggaman tangannya dan pergi meninggalkannya. Rin langsung terjatuh lemas dan menangis sedih.


Saat Braranee mengetahui apa yang Saran ucapkan pada Rin itu, dia sontak kesal merutuki Saran. Sepertinya Saran beneran ingin pisah dengan Rin dan kembali sama mantannya itu. 

"Lihat saja. Dia pasti akan kembali bersama Duangsawat. Aku berani mempertaruhkan kepalaku."

Bu tak percaya. Saran kan bilang kalau dia mencemaskan pekerjaannya. Dia cuma ingin mengurus pekerjaannya dulu.

"Terus apa yang akan dia lakukan setelah pekerjaannya selesai? Dia akan meninggalkan segalanya seperti, kan? Pasti. Sekarang Duangsawat sudah jadi janda yang ditinggal mati suaminya. Dia bisa saja kembali bersamanya sekarang." Braranee ngotot.

"P'Braranee, apa kau tidak bisa tenang dulu? Alasan Duangsawat mencoba bunuh diri, setengahnya karena mulutmu itu." Kesal Bu

"Aku kan tidak bermaksud begitu."

"Khun Saran belum membuat keputusan pasti. Aku cuma bisa bersabar dan mau gila rasanya."


Sekarang gantian Braranee yang menasehati Rin untuk tidak usah mempedulikan pria egois itu. Lagipula, Rin masih muda dan kaya. Lebih baik dia pisah dengan Saran, keluarlah dan bersenang-senanglah, carilah cowok baru.

"Itu sama saja aku selingkuh." protes Rin. "Aku masih menikah dengannya. Aku tidak bisa melakukan sesuatu semacam itu."

Berusaha menenangkan diri, Rin memberitahu dirinya sendiri untuk berhenti brpikir yang tidak-tidak. Yang penting dia tetap harus menjalankan tugasnya sebaik mungkin.


Keluar dari rumah sakit, Duang langsung pergi ke biara tempat persemayaman Naris untuk memberikan penghormatan terakhirnya. Dia benar-benar menyesal menyadari dirinya yang sudah menyebabkan Naris meninggal dunia.

"Maafkan aku. Maafkan aku." Tangis Duang.


Para wanita di markas White Tiger melihat Poo yang baru kembali dari hutan setelah beberapa hari. Dia dari mana saja? Mereka pikir dia melarikan diri. Poo menyangkal dan beralasan kalau dia hanya mencari makanan dan obat-obatan. Dia bahkan membuktikannya dengan menunjukkan tanaman-tanaman yang dibawanya di punggungnya.

Lagipula dia mana mungkin melarikan diri, Kao kan memberi mereka obat biar mereka tidak bisa melarikan diri. Tapi... Kao sudah seminggu belum kembali. Apa yang harus mereka lakukan kalau Kao tertembak dan mati?

Baru juga diomongin, derap kuda tiba-tiba terdengar mendekat. Kao dan geng barunya datang. Para wanita sontak menyambut mereka dengan riang, cuma Poo seorang yang kesal.

"Kenapa dia tidak mati saja, sih?! Dia membawa anggota baru lagi." Geram Poo. Tapi dengan cepat dia pasang senyum manis lalu pura-pura senang menyambut kembalinya Kao.

 

Perusahaan keluarga Rapeepan semakin mengembangkan sayap mereka. Hari itu, mereka tengah menyambut kedatangan dua orang bule yang akan menjadi partner kerja sama bisnis mereka. Acara berjalan dengan lancar. Selesai tanda-tangan kontrak, mereka semua foto-foto bersama.


Rin lalu menunjukkan foto-foto itu pada Ayah sambil narsis memuji-muji kecantikannya sendiri. Dia cocok banget kan jadi putri keluarga Rapeepan?

Sekarang Rin sudah memiliki segala hal yang Ayah inginkan untuk Rin miliki. Jadi Ayah tidak usah lagi khawatir tidak bisa menebus segala hal yang dulu tak bisa dilakukannya untuk Rin.

"Ayah... senang."


Cemas melihat Duang yang masih termenung sedih, Ibu berusaha menghibur dan menasehati Duang untuk tidak lagi bersedih atas kematian Naris.


Di tempat lain, Nuer mendapati Saran juga sedang melamun sedih. Sudah pasti dia memikirkan Rin. 

"Kau sendiri yang minta pisah, kau sendiri yang sedih. Aduh, Khun Nu! Khun Nu!" Heran Nuer.


Saat Chalat keluar kamar, dia mendapati Rin sedang termenung di balkon. Tapi Rin cepat-cepat menghapus air matanya saat melihat Chalat. Tidak bisa tidur? Tanya Chalat.

"Iya. Rumah dan harta benda yang begitu diinginkan orang untuk dimiliki. Mereka bahkan mempertaruhkan hidup mereka demi semua itu. Tapi setelah mendapatkannya, mereka harus kehilangan keluarga. Rumah hanyalah tembok dan mortir."

"Kau merindukan Ran, bukan?"

"Aku merindukan rumah kayu, aku sangat merindukan rumah dinas itu."

"Suatu hari nanti, pasti akan ada jalan keluar. Bersabarlah, dek."


Keesokan harinya, Bu mengunjungi Rin di kantor untuk menyerahkan beberapa buku saat Chalat sedang tidur di sofa. Ternyata dia meminta Bu untuk mencarikannya beberapa buku panduan bisnis karena kemarin ada beberapa hal yang tidak dia mengerti saat meeting kemarin.

"Lalu pria itu... apa dia tahu sesuatu (tentang bisnis)?"

"Kemarin, dia juga tidur seperti itu." (Pfft! Dasar!)

Bu heran, Chalat itu kan CEO-nya. Tapi dia bahkan tidak mengkhawatirkan pekerjaan sama sekali, padahal Rin benar-benar berusaha keras.


Baru diomongin, Chalat mendadak bangun saat itu juga. Tapi berhubung pikirannya masih belum konek dengan dunia, dia jadi mengira kalau Bu di depannya itu cuma mimpi indah.

"Aku mimpi tentang Buranee." Gumamnya ngelantur... sebelum kemudian sadar sedetik kemudian kalau Bu benar-benar nyata.

Bersambung ke part 4

Post a Comment

0 Comments