Nuer mendatangi Rin untuk mengabarkan kalau Saran akan tidur di rumah saudaranya malam ini. Tapi dia akan datang kemari besok pagi. Sekarang ini, Saran masih sibuk dengan pekerjaannya. Sepertinya dia harus tinggal di ibu kota untuk sementara waktu.
"Kalau begitu, kita adakan pestanya besok saja. Bagaimana?" Usul Chalat. "Aku sudah tidak sabaran. Aku ingin dia melihat rumah itu."
Rin setuju. Nuer penasaran, rumah apa yang mereka maksud? Tapi Chalat tidak mau bilang, rahasia dong.
Arun mendatangi rumah Bumrung Prachakit untuk mengetahui keadaan Braranee setelah pulang ke ibu kota. Tapi Bu memberitahunya kalau Braranee masih sama saja, dia mengunci diri di kamarnya seharian. Dia bahkan tidak keluar untuk makan makan malam.
Baru dibicarakan, Braranee turun dari kamarnya dan bersiap pergi. Dia mau clubbing. Bu cemas kalau kedua orang tua mereka akan marah jika dia berpesta sepanjang malam. Tapi Braranee tidak peduli.
"Aku sudah tidak punya air mata untuk menangis lagi. Aku bisa gila kalau terus-terusan di sini."
"Besok Rin mengundang kita ke pestanya di pagi hari."
"Kau saja yang pergi. Ucapkan selamat pada sang puteri baru. Aku malas, aku mau bersenang-senang." Sinis Braranee lalu pergi.
Arun langsung pergi menyusulnya saat itu juga sampai ke club. Dia berusaha menghentikan Braranee minum-minum dan membujuknya untuk pulang. Tapi Braranee jadi kesal dengan ocehannya dan membentaknya untuk pulang sendiri saja.
Dia lalu beranjak bangkit mau ke toilet. Tapi saking mabuknya, jalannya jadi sempoyongan dan tak sengaja bertubrukan dengan seorang pria.
Pria itu langsung kurang ajar menggodainya, mengira Braranee itu wanita penghibur. Untung saja Arun bergerak cepat melindungi Braranee. Dia memberitahu pria itu kalau Braranee ini adiknya dan mengusir pria itu.
"Mana kutahu? Kalau dia wanita baik, ngapain ada di sini? Wanita baik itu tinggal di rumah." Kesal pria itu.
Braranee jelas kesal dan langsung menangis sambil jejeritan merutuki pria itu. Err... tapi tentu saja rutukannya sebenarnya lebih ditujukan pada Panit.
"Braranee, apa yang akan kau dapat dengan melakukan ini? Ayo, pulang saja." Arun lalu memapahnya pulang.
Saran dan Ibu tiba di rumah keluarga Rapeepan. Tapi hanya seorang supir yang menyambutnya. Pak Supir mengaku bahwa dia diperintahkan Chalat untuk menjemput mereka ke suatu tempat, Rin sendiri sedang tidak ada di rumah sekarang.
"Lalu kita mau pergi ke mana?" Tanya Ibu.
"Pesta selamatan rumah baru."
Saran dan Ibu jelas heran mendengarnya. Yang tak disangka, Pak Supir ternyata membawa mereka ke rumah lama keluarga Sivavet. Chalat keluar saat itu untuk menyambut mereka.
"Ini apa-apaan?" Heran Saran.
"Kejutan. Sebentar lagi, kau akan mengetahuinya sendiri. Selamat datang, Bibi. Ayo, Ran. Kita masuk dulu."
Di dalam, ternyata sudah banyak berkumpul orang-orang dari kalangan kelas atas. Buranee juga ada di sana. Seorang pembawa acara lalu tampil ke muka untuk menyambut mereka semua dalam acara selamatan rumah barunya Rin, sang pemilik baru rumah Sivavet ini.
Tepat saat itu juga, Rin turun dengan begitu cantiknya. Tapi Saran tidak tampak senang melihat segala perubahan ini.
Chalat memberitahu Ibu dan Saran bahwa Ayahnya memutuskan untuk menyerahkan rumah ini pada Rin. Ayah mereka memberikan banyak sekali aset untuk Rin. Para tamu yang datang ini adalah kerabat ayahnya.
Chalat sengaja mengundang mereka agar mereka tahu bahwa sekarang rumah Sivavet adalah milik Saran. Sekaligus agar orang-orang itu tidak lagi menyalahkan mendiang Ayah Saran. Mereka selalu menuduh Ayah Saran sebagai penyebab kehancuran keluarga Sivavet.
Ibu memperhatikan ada beberapa tetangga lama mereka juga di sana... orang-orang yang pernah meremehkan dan pura-pura tak kenal Saran dan Ibu saat mereka jatuh bangkrut.
Dan sekarang mereka tanpa tahu malu menyapa Ibu sambil memuji-muji istrinya Saran. Saran benar-benar memiliki seorang istri yang sangat berharga. Dia merenovasi rumah ini dan dan mengembalikannya pada Sivavet.
"Rumah ini adalah pusat leluhur kami. Kami kurang senang jika ada orang lain yang menguasainya. Baguslah sekarang sudah kembali ke Saran. Kami para bibi sangat senang."
"Terima kasih banyak, Chalat. Arwah P'Sak (Ayah Saran) pasti akan sangat bahagia sekarang. Tapi kami harus menghaturkan terima kasih paling banyak pada Nu Braralee." Ujar salah satu Bibi.
"Selamat datang kembali ke rumah Sivavet. Aku senang kita bisa menjadi tetangga."
"Apa kau akan pindah secepatnya? Aku ingin berbincang dengan Khun Ying. Aku kangen masa lalu saat kita bermain Petanque bersama."
"Kau pasti sangat mencintai istrimu, Saran. Dia sampai mengembalikan seluruh rumah ini kembali padamu."
Semua orang santai aja melontar segala komentar itu tanpa sama sekali menyadari ekspresi Saran yang sama sekali tidak tampak senang dengan semua ini.
Rin satu-satunya orang yang melihat hal itu. Saran malah melempar tatapan tajam padanya yang jelas saja membuat Rin sedih tanpa tahu apa alasan Saran bereaksi seperti ini.
Sepanjang acara doa berlangsung, para tamu sibuk kasak-kusuk sendiri, sepertinya mereka menggosipkan Saran. Saran sendiri cuma diam saja sembari mengedarkan pandangannya ke seluruh rumah itu... rumah yang menyimpan kenangan buruk akan kematian ayahnya.
"Kau kenapa? Kenapa kau tampak susah?" Cemas Rin. Tapi Saran tetap diam dan mengacuhkannya.
Setelah acara usai dan semua tamu pergi, Chalat menyuruh Saran untuk melihat kamar di lantai atas. Rin berkata kalau kamar-kamar di lantai atas belum diperbaiki karena mereka masih belum tahu Saran ingin pakai kamar yang mana. Mereka sengaja menunggu Saran untuk datang dan melihat-lihat sendiri.
Tapi yang tidak mereka sangka, Saran tiba-tiba marah-marah pada Rin. "Bagaimana kau yakin kalau aku akan pindah kemari?"
Chalat bingung. Ini kan rumah Rin, itu artinya ini rumah Saran juga dong. Dia menyuruh Rin untuk tinggal di sini bersama Saran. Dia bahkan akan menyuruh orang untuk memindahkan barang-barangnya Rin hari ini. Jadi Saran juga lebih baik tinggal di sini.
"Kalau kau ingin tinggal di sini, maka kau harus tinggal di sini tanpa aku!" Kesal Saran lalu pergi bersama Ibu.
Rin tidak mengerti. "Kau marah karena apa?"
"Tadi, kau turun bak seorang putri. Kau sudah menjadi seorang putri. Kau terlalu tinggi hingga aku tidak bisa mencapaimu lagi."
Chalat masih belum ngeh juga kalau Saran risih akan perbedaan statusnya dengan Rin sekarang. Saran jadi semakin kesal padanya, Chalat selalu saja seperti ini sedari dulu.
Selama ini dialah yang selalu bersabar menghadapi sikap Chalat. "Pikirkanlah perasaan orang lain juga. Pikirkanlah perasaan orang miskin. Pernahkah kau menempatkan dirimu di atas situasi orang lain?!"
Chalat tak percaya mendengarnya. "Selama ini kau bersabar menghadapiku? Selama 10 tahun? Kau, temanku?"
"Sejak ayahku tiada. Semua asetku disita. Aku harus tinggal di vihara. Setiap minggu, aku harus naik tram untuk mengunjungi ibuku di rumah bibiku. Apa kau tahu apa yang kulakukan? Aku rela mengambil jalan memutar hanya supaya aku tidak melewati rumah ini lagi."
"Kau tidak ingin melewati rumahmu sendiri?"
Duang mendadak muncul dan memberitahu mereka bahwa setiap kali Saran melewati rumah ini, dia akan teringat kembali akan kematian ayahnya yang meninggal di lantai atas rumah ini. Setiap kali melihat rumah ini, Saran akan kembali mendengar suara letusan pistol yang sangat keras.
"Duangsawat! Apa hubungannya dengan?!" Kesal Bu.
Rin terkejut mendengarnya. "Apa itu benar, Khun Saran?"
"Benar karena Saran sendiri yang memberitahuku. Aneh. Kau istrinya, tapi kau tidak tahu sama sekali." Nyinyir Duang. Katanya Rin sangat mencintai Saran, lalu kenapa dia tidak tahu tentang masalah ini?
Chalat penasaran, apakah Bibi juga begitu? Ibu membenarkan. Dulu, setiap kali suaminya mengalami kesulitan, ia selalu meminjam uang dari keluarga Rapeepan hingga lama kelamaan hutang itu semakin besar.
Lalu kemudian datanglah seorang pengacara yang datang untuk menyita rumah mereka. Pada hari itu jugalah, Ayah Saran kemudian menembak dirinya sendiri.
Chalat tercengang mendengarnya. "Pada hari yang sama? Saya sungguh tidak tahu tentang masalah itu."
"Rapeepan mengambil semua milik Sivavet dan merekalah alasan dibalik kematian Tan Chao Khun Nithi. Sekarang kau menjadi Rapeepan. Kali ini, apa yang akan kau lakukan... Khun Nu?" Sinis Duang.
"Tapi niatku baik padamu. Kau tahu itu. Kita berteman sejak kita kecil. Bahkan sekalipun Rapeepan adalah pengutang Sivavet, kita selalu berteman baik, bukan?"
Tapi tidak bagi Saran. Sejak saat Chalat punya mobil baru dan pergi ke pesta-pesta mewah, Chalat berbaik hati membawa orang miskin seperti dirinya ke pesta itu. Bahkan sekalipun orang-orang menatapnya, dia tetap bersabar karena dia tahu kalau Chalat tidak bermaksud apa-apa.
"Tapi orang-orang yang datang ke pesta hari ini, menatapku seolah aku tikus yang jatuh ke wadah beras istriku. Aku tidak bisa menerima itu."
0 Comments
Hai, terima kasih atas komentarnya, dan maaf kalau komentarnya tidak langsung muncul ya, karena semua komentar akan dimoderasi demi menghindari spam