Sinopsis Padiwarada Episode 12 - Part 1

Sinopsis Padiwarada Episode 12 - 1



Suasana makan malam hari itu terasa begitu sepi tanpa kehadiran Rin. Dengan nada agak sedih, Saran berkomentar kalau Rin pasti makan dengan banyak orang di sana. Makanannya pun sudah pasti beda dengan mereka.


Dugaannya benar. Rin disuguhi berbagai macam hidangan mewah bak pesta prasmanan sampai dia merasa tidak enak pada mereka. Tidak perlu membuatkan makanan spesial untuknya, dia bisa makan apa saja kok.

"Kami tidak membuat makanan spesial. Ini semua makanan biasa di sini." Santai Bibi. (Horang kaya emang beda)

Rin jelas melotot heran mendengarnya. Selesai makan, mereka mengantarkan Rin ke kamarnya di lantai atas, sebuah kamarnya sangat luas dan megah.

 

Keesokan harinya, beberapa pelayan masuk membawakan berbagai macam pakaian untuk Rin dan seorang penjahit langganan keluarga mereka, datang untuk mengukur Rin.

"Kau mau baju yang bagaimana? Katakan saja padanya. Dia penjahit langganan kita." Kata Chalat.

Bukan cuma baju, Chalat bahkan memberikan beberapa set perhiasan-perhiasan mewah. Rin sampai risih dibuatnya, dia tidak terbiasa mengenakan perhiasan. Chalat bersikeras kalau ini semua adalah haknya Rin. Dia akan memberikan segala yang berhak Rin dapatkan selama ini.

"Terima kasih."


Di Paktai, Ibu dan Nuer melihat Saran menatap kebun bunga mataharinya Rin dengan sedih. Dia bahkan benar-benar berlinang air mata dalam diam. Nuer prihatin melihatnya seperti itu.

"Saat kita menikah, maka itu artinya kita menikahi keluarga mereka. Menikahi segala hal yang mereka cintai dan segala hal yang mereka benci."

"Hidup anda dan Khun Nu bukan cuma ada kalian berdua, bukan?" Tanya Nuer. Khun Ying membenarkannya.


Ayah benar-benar bahagia dengan kehadiran Rin, ia bahkan tak bisa berhenti memandangi putrinya itu. Selama beberapa hari kemudian, kita melihat Rin sibuk merawat ayahnya. Menyuapinya makan dan juga membantu terapi fisiknya.

Dalam suratnya, Rin memberitahu Saran kalau ayahnya sakit parah. Karena itulah, dia ingin tinggal satu minggu lagi di sini untuk merawat ayahnya. Dia dengar kalau Kao berada di ibu kota, dia berharap sekali Saran melakukan penyelidikan di sini.

Sementara itu di Paktai, Chode masuk ke kantornya Saran dengan membawa seorang pria yang mengaku punya informasi tentang White Tiger.

"Selama tinggal di sini, aku tidak perlu melakukan pekerjaan rumah apapun. Kakak dan Bibi memperlakukanku dengan baik. Kadang terlalu baik sampai aku merasa tidak nyaman. Aku harus menjaga etiketku di hadapan banyak pelayan." Ujar Rin dalam suratnya.

"Rasanya aneh. Kehidupanku yang sempurna ini membuatku sangat merindukan seseorang. Aku ingin pergi ke dapur bersama dan berbincang sebelum tidur seperti yang biasanya kita lakukan. Aku merindukanmu dan akan selalu menunggumu, Rin."


Surat itu berhasil membuat senyum Saran kembali merekah, walaupun cuma sebentar. Ibu cemas dengan mereka berdua. Ia rasa tidak baik bagi mereka hidup terpisah seperti ini.

"Kami tidak bertengkar kok, Bu." Santai Saran. "Kami punya tugas kami masing-masing."

"Sekalinya kalian sibuk dengan tugas, kalian akan lelah. Begitu kau lelah, kalian tidak akan saling bicara dan pada akhirnya akan semakin menjauh. Saat kalian semakin jauh, kalian tidak akan saling mengerti saat kalian bicara."

Saran malah sengaja mengalihkan topik membahas pria tadi. Dia ternyata teman sekolahnya Kao. Dia bilang kalau dulu Kao pernah kursus singkat di ibu kota. Sekarang mereka sedang berusaha menyelidiki tempat tinggal Kao di ibu kota dulu.

"Bagus sekali. Pergilah ke ibu kota dan selidikilah, sekaligus menemui Rin."


Tapi Saran tampak ragu. "Tinggal bersama Rin? Itu artinya aku harus tinggal di rumah keluarga Rapeepan."

"Masalah antara Rapeepan dan Sivavet, kau masih belum bisa melupakannya?"

"Saat aku kecil, aku punya segalanya. Aku memiliki teman seperti Chalat dan Duangsawat. Lalu suatu hari saat kondisi finansialku dan status sosialku berubah, aku menjadi anak biara. Tak peduli seberapa baik dia padaku, tetap saja ada jarak di antara kami." Ujar Saran yang sepertinya mulai gengsi akan perbedaan dirinya dengan Rin sekarang.

Flashback.



Suatu hari, Chalat dengan santainya pamer mobil barunya yang mewah. Tak mau kalah, Duang juga pamer gramophone barunya. Cuma Saran yang tidak bisa pamer apa-apa.

Duang lalu mengajak Saran berdansa. Saran pun berdansa dengan gembira... saat tiba-tiba saja sol sepatunya terlepas. Chalat dan Duang santai saja menertawainya, Chalat bahkan menyatakan kalau dia akan membelikan sepatu baru untuk Saran nanti.

Saran menolak, dia akan memperbaikinya ke tukang sepatu nanti. Dia lalu membiarkan mereka berdua berdansa sementara dia sendiri duduk di sendirian di bangku. Chalat dan Duang pun berdansa dengan gembira, sama sekali tidak menyadari Saran yang tampak iri pada mereka berdua.

Flashback end.

 

"Saat aku jadi anak biara, aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya mengepel lantai. Aku harus meminta orang lain untuk mengajariku."

Dia bahkan tidak punya teman selain kedua orang itu. Karena tak punya kawan dan tempat tujuan setiap sabtu dan minggu, akhirnya Saran hanya menghabiskan weekend-nya dengan membaca. Orang-orang mengira kalau dia pintar. Padahal sebenarnya dia hanya tidak punya teman.

"Siapa yang akan menyangka kalau Rin ternyata ahli waris Rapeepan." 

Sejujurnya, Saran senang saat mengetahui Rin itu seorang pelayan dan anak yang dibuang. Tapi dia benar-benar sangat kecewa saat mengetahui kalau Rin ternyata keturunan keluarga Rapeepan.

"Kita tidak memperhitungkan apa yang dilakukan Rapeepan pada Sivavet." Ujar Ibu. (Hah? Memangnya apa yang dilakukan Rapeepan pada Sivavet?)

"Chalat tidak pernah tahu dan tidak pernah berpikir kalau itu penting. Tapi Ibu dan aku... kita mungkin tidak akan bisa melupakannya."

Pokoknya Ibu bersikeras menyuruh Saran pergi saja ke ibu kota dan urus segalanya, percayalah pada Ibu.


Dengan penampilan barunya yang lebih anggun dan mewah, Rin turun dan langsung tanya apakah ada surat untuknya. Tapi pembantu bilang tidak ada, Rin jelas kecewa.

"Apa kau tidak merindukanku sama sekali, Khun Saran?"


Braranee merenung di balkon rumahnya. Bu memberitahunya bahwa ayah mereka sebenarnya ada janji dengan dokter minggu depan. Tapi kalau Braranee tidak mau kembali, maka Ayah juga tidak akan kembali.

"Kenapa kalian semua menungguku? Aku kan sudah bilang kalau aku bisa mengatasinya!" Kesal Braranee.

"Khun Panit tidak akan kembali lagi. Terimalah kenyataan itu."


Tapi tepat saat itu juga, tiba-tiba terdengar mobilnya Panit dari depan rumah. Senang, Braranee langsung lari untuk menyambut suaminya yang pulang dalam keadaan lusuh itu.

Panit dengan santainya meminta maaf dengan alasan sibuk belakangan ini, bagaimana kabar Braranee? Kesal, Braranee sontak menamparnya keras-keras. Panit masih berani tanya? Dia menghilang selama 4 bulan tanpa kabar berita.

Panit jadi terpancing emosi dan sontak marah-marah membentaki Braranee. Dia dikejar-kejar penagih hutang, makanya dia harus melarikan diri. Dan semua ini gara-gara saudaranya Braranee itu! Arun jelas kesal mendengarnya. Tapi Tuan Bumrung cepat-cepat menahannya.

"Kau menyalahkanku?!"

"Aku berhutang jutaan. Sekarang aku tidak punya apapun! Aku harus mengalami penderitaan terburuk dalam hidupku! Kau harus meluruskannya!"

"Kalau begitu, biarkan aku tinggal bersamamu. Aku merindukanmu. Biarkan aku bersamamu, yah?"

"Terserah padamu bisa menerimaku atau tidak."


Braranee bingung apa maksudnya. Menerima apa? Yang tak disangkanya, Panit menjawabnya dengan menunjukkan seorang wanita dan dua anak yang ada di mobilnya... Mereka itu istri dan anak-anaknya. (Brengs*k!)

Istrinya itu bersedia menerima Braranee. Kalau Braranee bisa menerima hidupnya, maka dia akan membawa Braranee bersamanya. Braranee jelas sakit hati. Dia mencintai Panit seorang, tapi ternyata dia sudah punya istri.

"Dia akan mengurus urusannya sendiri dan kita akan mengurus urusan kita sendiri. Aku tidak mau tinggal lebih lama lagi di sini atau penagih hutang akan datang. Kita harus bergegas pergi ke Singapura."

"Bukankah kau ada di Penang?"

"Perusahaan di Penang sudah ditutup karena penagih hutangnya mengejarku sampai ke sana. Aku memulai pekerjaan baru di Singapura. Cepat putuskan. Ambil pakaianmu, bawa yang penting-penting saja karena kita harus tinggal di hotel dulu."

Selama berbulan-bulan mereka saling mengenal, Panit ternyata berbohong tentang segala sesuatu tentang dirinya. Jadi sekarang bagaimana mungkin Braranee percaya kalau Panit benar-benar mencintainya?

"Sialan! Berhentilah menangis! Kau sendiri juga tidak mencintai ataupun mengkhawatirkanku! Kalau tidak, kau dan keluargamu pasti membantuku! Jadi ngapain juga aku peduli tentangmu?!"

Emosi, Braranee sontak memukul Panit. Tapi Panit malah jadi tambah emosi dan langsung mendorong Braranee dengan kasar. Arun jelas tidak terima, berani sekali Panit macam-macam dengan adiknya.


Panit jadi semakin menggila menuduh mereka semua berkomplot untuk memisahkan mereka berdua dan mengajari Braranee untuk melawannya.

"Hei, penipu! Kesalahan orang lain sebesar gunung, sedangkan kesalahan kami hanya sehelai rambut. Jangan menyalahkan kami!"

"Dia itu istriku! Dan kalian malah memanas-manasi pikirannya! Makanya keluarga kami berantakan!"

"Kau bisa mengakhiri status istri dengan perceraian. Tapi bagaimana mungkin kau bisa melakukan hal yang sama pada orang tua? Braranee, tidak usah pedulikan dia. Cerai yah cerai."

"Kau menggelapkan uang orang lain, menjadikan dirimu sendiri kaya raya dan hidup dalam persembunyikan. Kau mungkin sudah terbiasa hidup seperti itu. Tapi tidak dengan putri kami. Aku tidak akan mengizinkan."


"Bagus! Kalau begitu, cerai saja! Silahkan lanjutkan hidup miskinmu! Saran yang melarat itu sangat cocok jadi menantu kalian!"

"Eh, bego! Kau memeluk uangmu, tapi kau tidak bahagia. Aku kasihan sekali pada anak-anakmu. Entah bagaimana hidup mereka saat mereka besar nanti. Jangan menyia-nyiakan air matamu untuk pria semacam ini, Braranee."

"Dasar istri tidak berguna! Kau tidak setia dan tidak membantu suamimu. Satu keluarga tidak becus! Lebih baik aku tidak punya istri sepertimu! Aku akan menceraikanmu!"

Kesal, Panit langsung masuk mobil sambil terus merutuki Braranee lalu menjalankan mobilnya dengan cepat, tak peduli biarkan mereka semua berdiri di tengah jalan. Untung saja mereka semua menghindar tepat waktu.

Bersambung ke part 2

Post a Comment

0 Comments