Sinopsis My Forever Sunshine Episode 2 - Part 2

Entah apa yang sebenarnya terjadi, kita tiba-tiba melihat lompatan adegan di mana Ayahnya Artit menemani Paeng saat polisi melakukan pemeriksaan TKP lalu ia memberitahu istrinya lewat telepon bahwa ayah dan Ibunya Paeng sudah meninggal dunia. (Hah? Ibunya Paeng juga meninggal dunia?)

Segalanya serba misterius. Tidak dijelaskan kenapa, di mana dan bagaimana Ibunya Paeng meninggal dunia. Ayahnya Artit juga tidak bilang apa-apa tentang kronologis kematian orang tua Paeng pada istrinya entah karena apa. Paeng begitu trauma dengan kematian kedua orang tuanya sekaligus hingga dia tiba-tiba saja kejang-kejang lalu pingsan.

Menurut dokter, Paeng kejang-kejang karena PTSD dan tekanan fisik dan mental terus menerus. Namun dokter meyakinkan bahwa Paeng bisa saja sembuh tergantung dari dirinya sendiri dan faktor stimulan eksternal. Namun berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk itu, itu tergantung pada si pasien.

Bahkan dalam tidurnya pun Paeng tidak bisa tenang... hingga saat Ayahnya Artit menggenggam tangannya, baru Paeng mulai bisa tidur kembali dengan tenang.

Tengah malam, Artit baru mengetahui semua misscall saat dia dan teman-temannya memutuskan break sebentar. Dia langsung menelepon ayahnya untuk menanyakan apa yang terjadi. Namun begitu mendengar Artit sedang giat belajar untuk ujian akhir, Ayah akhirnya memutuskan untuk merahasiakan masalah ini darinya biar dia bisa fokus belajar dan ujian.

Keesokan harinya, Ayahnya Artit baru kembali ke kamar rawatnya Paeng tapi malah mendapati Paeng berdiri di balkon yang jelas saja membuatnya cemas. Errr... Sepertinya trauma hebatnya Paeng membuatnya jadi lupa hingga dia mengira kematian kedua orang tuanya adalah mimpi buruk.

Namun Ayahnya Artit dengan berat hati memberitahu bahwa itu bukan hanya mimpi, melainkan fakta dan kenyataan, dan jelas saja informasi itu membuat Paeng menangis begitu sedih dalam pelukan Ayahnya Artit.


Selama beberapa waktu berikutnya, hanya Ayahnya Artit seorang yang mengurus segalanya, termasuk pemakaman kedua orang tua Paeng, sementara Artit sibuk dengan ujian akhirnya tanpa mengetahui segala kekacauan yang terjadi pada Paeng. 

Setelah segalanya selesai, Ayahnya Artit membawa Paeng tinggal di perkebunan. Paeng masih sangat sedih. Ibunya Artit prihatin padanya namun dilihat dari sikapnya yang terkesan biasa-biasa saja seolah Paeng hanya menghadapi kematian biasa, tampaknya dia sama sekali tidak tahu apa-apa tentang detil kematian orang tuanya Paeng. 

Hmm... Tapi kenapa Ayahnya Artit menyembunyikan masalah ini dari semua orang? Karena PTSD-nya Paeng? Tapi seharusnya dia memberitahu istrinya lah minimal atau Artit. 


Beberapa waktu berlalu, sekarang Artit baru selesai ujian dan sekarang sedang liburan ke Pattaya bersama teman-temannya. Sementara Ling bermain kerang di pantai, dia tidak sadar kalau Artit sedang menatapnya dengan penuh cinta. Errr... bukan cuma Artit sih, Non juga sama. Kedua teman itu sama-sama terpesona sama Ling.

Puas bermain, Artit cs duduk bersama di pantai sambil membicarakan rencana masa depan mereka. Artit ingin menjadi pemain rugby nasional, Non ingin bekerja di Bangkok tapi dia galau karena orang tuanya menginginkannya untuk mengambil alih bisnis keluarga.

Kot ingin bekerja apa saja yang penting gajinya gede. Sedangkan Ling, dia berencana untuk mengambil S2. Mendengar Ling punya rencana itu, Artit mendadak ganti rencana mau melanjutkan S2 juga, jadi di universitas mana Ling mau meneruskan studinya? Artit juga mau kuliah di universitas yang sama dengan Ling.

Sayangnya, Ling ternyata berencana melanjutkan studi di universitas yang dekat dengan ibunya, yaitu di Inggris. Ibunya mengkhawatirkannya, siapa tahu, di sana dia akan bisa menikah sama bule buat memperbaiki keturunan. Artit dan Non jelas tak senang mendengar itu.

Kot yang tahu betul perasaan Artit dan Non pada Ling, menyarankan mereka untuk menyatakan perasaan mereka saja pada Ling. Biar segalanya terang dan selesai sampai di sini. Siapa pun di antara mereka yang ditolak sama Ling, maka orang itu harus berbesar hati menerimanya dan move on.

Jangan memendam perasaan terlalu lama. Jika tidak, lama kelamaan perasaan mereka akan semakin tak terkendali. Ungkapkan perasaan mereka sekarang, apa pun hasilnya, entah diterima atau ditolak, yang penting hati mereka akan lega karena segalanya sudah jelas.

Ayahnya Artit sepertinya masih menyembunyikan masalah ini dari semua orang. Bahkan kedua pembantunya Paeng pun sama sekali tidak mengetahui masalah ini. Mereka baru selesai cuti tapi malah bingung karena tidak ada seorang pun yang membukakan pintu dan saat mereka mengintip dari pagar, mereka malah melihat rumah itu terbengkalai yang jelas saja membuat mereka jadi cemas.

Paeng masih begitu sedih atas kematian kedua orang tuanya sehingga dia terus menerus menolak makan, ingin mati saja menyusul kedua orang tuanya. Suatu pagi, kedua pembantu keluarga Artit melihat Paeng membuang bubur yang dimasak sendiri oleh Ibunya Artit. Sontak itu membuat Duang jadi sinis sama Paeng, dia bahkan merutuki Paeng dengan lantang tak peduli biarpun Paeng mendengarnya.

Intinya, semua orang benar-benar memperlakukan Paeng seolah kematian kedua orang tua Paeng bukan kasus serius. Karena apa? Karena ternyata Ayahnya Artit benar-benar menyembunyikan kebenaran tentang kematian kedua orang tuanya Paeng dengan cara memberitahu semua orang bahwa kedua orang tua Paeng mati karena kecelakaan mobil.

Hmm, berarti Paeng memang benar-benar hilang ingatan tentang insiden kedua orang tuanya hingga dia juga mempercayai kalau kematian kedua orang tuanya karena kecelakaan mobil.

(Menurutku itu bukan keputusan yang bagus. Aku ngerti mungkin karena PTSD-nya Paeng, makanya Ayahnya Artit menyembunyikan kasus ini dari Paeng. Tapi tidak seharusnya dia menyembunyikannya dari keluarganya sendiri juga. Minimal kasih tahu Artit lah. Toh Ayah sendiri juga tidak punya ide tentang bagaimana harus menolong Paeng, sedangkan Artit biasanya lebih ngerti cara menangani Paeng. Kalau Artit mengerti situasi Paeng yang sebenarnya, dia mungkin lebih tahu cara menolong Paeng)


Di tengah kegalauannya, Ayahnya Artit tiba-tiba mendapat telepon dari kedua pembantunya Paeng. Itu membuatnya punya ide untuk mengundang mereka tinggal di perkebunan untuk menemani Paeng dengan harapan mereka akan bisa menghibur dan menjaga Paeng.

Ya memang sih kedatangan kedua pembantunya sedikit menghibur Paeng. Namun yang jadi masalah... Ayahnya Artit justru tidak sadar kalau dia justru sedang menciptakan masalah baru karena kedua pembantunya Paeng dan kedua pembantunya Artit langsung sinis dan bermusuhan begitu mereka bertemu satu sama lain.


Kedua pembantunya Artit tidak senang dengan kedatangan kedua pembantu lain yang menguasai daerah kekuasaan mereka. Mereka bahkan terang-terangan menyindir Paeng. Jelas saja itu membuat kedua pembantunya Paeng jadi tersulut emosi. 

Hasilnya, terjadilah perang cakar-cakaran dan jambak-jambakan antar keempat pembantu. Untungnya Ayahnya Artit cepat datang untuk menghentikan perang ini. Ayah menangani masalah ini dengan tenang dan tegas, menegaskan pada kedua pembantunya bahwa dapur ini bukan daerah kekuasaan siapa pun dan menegaskan pada mereka untuk menerima kedua pembantunya Paeng di sini karena mereka di sini untuk mengurus Paeng.


Akan tetapi, masalah ini jadi makin runyam saat Paeng melihat pipi Aueng (pembantunya) memerah yang jelas bekas tamparan. Paeng tidak terima pembantunya diperlakukan seperti ini dan emosinya langsung memuncak hingga dia mau balas dendam.

Tapi untungnya kedua pembantunya sigap mencegahnya dan mengingatkannya untuk mengalah saja karena bagaimanapun, mereka cuma tamu di sini. Paeng seketika terdiam sedih menyadari mereka benar, sekarang dia bahkan sudah tidak punya rumah.

Artit teringat pertemuan pertamanya dengan Ling dulu, saat Ling belum bisa bahasa Thailand sama sekali dan meminta bantuannya untuk mencari kelasnya. Artit langsung jatuh cinta pada pandangan pertama waktu itu.

Bahkan saking kesengsemnya, dia malah cuma bengong menatap Ling dan tidak menjawab pertanyaannya, dan langsung senang saat menyadari kalau mereka satu kelas.

Sekarang, Artit memiliki sebuah gelang di tangannya yang jelas hendak dia berikan pada Ling, karena sekarang akhirnya dia mantap untuk menyatakan perasaannya pada Ling.

Tapi saat dia berniat mengajak Ling jalan-jalan berdua, Ling malah tidak peka karena mengira ini cuma acara jalan-jalan biasa, jadi dia mengajak Non dan Kot juga, tapi karena Kot tidak ada, jadi hanya Non yang ikut. 

Bersambung ke part 3

Post a Comment

1 Comments

Hai, terima kasih atas komentarnya, dan maaf kalau komentarnya tidak langsung muncul ya, karena semua komentar akan dimoderasi demi menghindari spam