Sinopsis Padiwarada Episode 7 - Part 5

   


Bu dan Braranee penasaran, apa sebenarnya yang Rin dan Saran bicarakan saat mereka berdansa tadi, Rin terlihat stres tadi.

"Dia hanya ingin mengetahui rahasiaku. Rahasiaku adalah... aku hanyalah seorang anak yang dibuang oleh orang tuanya."

Dia sangat yakin kalau orang tua kandungnya pasti tidak peduli apakah dia hidup atau mati. Jika bukan karena Tuan Bumrung sekeluarga, dia pasti sudah tidak ada di dunia ini.

"Tapi, Khun Saran adalah suamimu. Dia juga keluargamu."

"Mantannya Khun Saran sangat cantik, kaya dan punya status sosial. Aku tidak sebanding dengannya. Wanita itu lebih cocok jadi istrinya Khun Saran daripada aku."

"Rin. Kau harus lebih percaya diri. Kau harus punya kepercayaan diri. Kalau kau merasa kau terlalu rendah, maka wanita itu akan mengambil keuntungan darimu."

"Betul sekali. Kau punya pengetahuan. Pengetahuan yang akan membuat kita menjadi elegan. Kau tidak butuh status sosial. Jangan merasa terluka, mengerti?"


Tapi tetap saja rasanya sulit bagi Rin. Ayah memang menyuruhnya untuk tetap melaksanakan tugasnya. Dan bahkan sekalipun dia tidak mendapatkan cinta, tapi dia akan mendapatkan rasa hormat dari Saran seumur hidupnya.

Tapi Rin tidak butuh pujian ataupun hormat. Hidup tanpa cinta tidak berarti apapun baginya. Lalu bagaimana bisa dia hidup?

"Jawaban yang kau inginkan dari Khun Saran adalah cinta"

"Tangannya yang menyentuhku sangat dingin. Tangan kami yang saling terggenggam sangat dingin. Itu karena semua ini adalah tugas dan bukan cinta." Tangis Rin. Tanpa mereka sadari, Khun Ying sebenarnya ada di belakang mereka dan ikut menangis mendengarnya.


Chalat sedang bingung memilih kue saat Bu datang. Bu mendadak punya ide licik lalu menyodorkan dua buah kue padanya sambil mengklaim kalau kue-kue ini manis dan romantis.

Chalat langsung nyengir melihatnya. "Khun Buranee, aku sangat ingin ngobrol denganmu. Aku sangat senang kau datang dan bicara denganku."

"Kenapa kau tidak bilang kalau kau berteman dengan Khun Saran?"

Chalat sontak canggung mendengarnya. Tapi dengan ahlinya dia mengubah sesi interogasi ini jadi rayuan gombal.

"Memangnya aku harus bilang tentang nama-nama semua temanku? Kalau kau ingin aku memberitahumu, maka kau harus memberiku lebih daripada ini. Apa kau punya waktu agar aku bisa mulai memberitahumu?"

"Kau punya rahasia. Kau tidak bisa dipercaya. Kita tidak bisa jadi apapun, tidak pula jadi teman." Kesal Bu lalu pergi.


Chalat sontak panik mengejarnya, apa Bu marah padanya? Bu menyangkal, kata 'marah' hanya bisa digunakan pada sesama teman. Tapi mereka kan cuma sekedar kenalan, jadi kenapa juga dia marah pada Chalat?

"Apa kau tahu, waktu kau mengkritikku waktu itu, aku mulai berubah. Aku kembali tinggal bersama ayahku dan mulai belajar bekerja. Aku juga sudah berhenti berpesta dan mulai bekerja karenamu."

"Selamat."

"Tidak bisakah kita jadi teman?"

"Setiap hubungan harus dimulai dengan kepercayaan. Aku belum bisa mempercayaimu. Bagaimana bisa kita berteman?" Ucap Bu lalu pergi.


Saran muncul setelah Bu pergi dan sepertinya dia mendengar pembicaraan mereka barusan. "Kepercayaan? Kata ini lagi? Sepertinya itu adalah jawaban atas setiap pertanyaan, iya kan?"

Chalat menolak menyerah begitu saja. "Buranee, aku tidak akan membuang niatanku untuk mendekatimu."

"Sebentar, sebentar. Kau benar-benar sangat menyukai Khun Bu?"

"Suka atau tidak, pokoknya dia memberiku kue ini." Chalat kepedean memakan kuenya, tapi malah mendapati rasanya asam. LOL! Bu menipunya.


Di kedalaman hutan, para anggota geng White Tiger tengah berlatih bela diri, tapi Kao memperhatikan kebanyakan dari mereka lemas. Nim sontak ngamuk-ngamuk menuduh mereka malas-malasan dan bukannya memikirkan cara membalaskan dendam Bang.

Dia lalu menyuruh Poo untuk memberitahu Kao tentang apa yang didengarnya. Poo agak ragu melakukannya, tapi Kao sontak mengancam akan memotong lidahnya kalau dia tidak mau bicara.

Terpaksalah Poo mengaku bahwa dia mendengar salah satu anggota mereka - Singh dan yang lain bilang kalau ilmu sihir mereka mulai memudar. Makanya Bang terbunuh oleh Sheriff.


Kesal, Kao sontak mengambil pisau lalu menendang Singh. Dia melempar pisau itu ke dekat Singh lalu menyuruh Singh untuk menggunakan pisau itu untuk bertarung melawannya.

Poo cemas melihatnya, dia yakin kalau Singh tidak bermaksud begitu. Tapi Nim tak peduli. Singh itu jelas berpikir untuk berkhianat. Baguslah kalau dia terbunuh oleh Kao.

Saat Singh masih diam saja, Kao sontak kesal menonjoknya sampai berdarah dan terus memaksa Singh untuk melawannya dengan pisau itu. Tersulut emosi, Singh akhirnya mengambil pisau itu dan mencoba menyabet Kao... tapi gagal.

Kao benar-benar punya ilmu kebal dan pisau itu sama sekali tidak bisa melukainya sedikitpun. Kao bahkan memerintahkan Singh untuk menusuk dan mengancam akan menusuk Singh jika dia tidak berani melakukannya.

Singh mencoba menusuknya sekuat tenaga, tapi pisau itu benar-benar tak mampu menembus perutnya seolah ada pelindung gaib yang membuat kulitnya setebal baja.

Semua itu sukses membuat Singh dan yang lain jadi yakin kalau ilmu sihirnya Kao masih belum pudar. Sontak semua anggota mulai bersemangat kembali dan heboh menyoraki kehebatan Kao.


Kao berkata bahwa ada aturan yang harus selalu ditaati dalam ilmu sihir. Yaitu mereka harus sering-sering bermeditasi. Mereka juga tidak boleh minum alkohol karena itu bisa membuat mereka kehilangan pikiran mereka.

Nim sekarang mengerti kenapa Bang gagal. Dia memang peminum berat dan selalu minum setiap hari, karena itulah kekuatan pelindungnya tidak bekerja dengan baik.

Singh jadi penasaran dengan kekuatan sihir yang dimiliki si sheriff itu. Dia pasti punya ilmu sihir juga. Jika tidak, dia pasti tidak akan bisa membunuh Bang.

"Jangan khawatir. Aku sudah menyiapkan ini." Ujar Kao sambil memperlihatkan sebuah buntelan kain putih yang tampak bernoda darah.

Dia meyakinkan mereka bahwa kain ini mengandung darah dan kekuatan yang akan menghancurkan kekuatan sihir si sheriff itu. Dia akan mengirim kain ini padanya.

"Apa itu artinya, jika lain kali kita keluar untuk merampok, mereka tidak akan bisa membunuh kita lagi?"

"Betul. Kitalah yang akan membunuh. Si sheriff itu akan mengkonfrontasi kita."

Senang, Singh langsung meminta Kao untuk mengajari mereka ilmu kebal seperti yang Kao miliki. Kao menekankan bahwa mereka harus terus berlatih dan membalaskan dendam mereka yang mati. Aksi perampokan kali ini akan tersebar ke seluruh desa. Si sheriff itu tidak akan punya tempat untuk tinggal lagi. Daerah selatan ini adalah milik geng mereka.


Semua orang berkumpul bersama saat kedua pengantin pamitan. Mereka akan pergi dan tinggal di Pak Tai juga. Panit mengundang semua orang untuk berkunjung ke rumah mereka kapan-kapan. Jarak rumah mereka dengan rumah Saran cuma satu jam naik mobil kok.

Bu dengan senang hati menerima undangannya. Dia pasti akan datang setelah ujian selesai nanti, jadi ketiga saudari bisa bersama-sama lagi dan bermain bersama seperti biasanya.

"Aku juga mau ikut!" Sahut Jaew antusias.


Tapi, Panit penasaran apakah Rin dan Saran akan kembali. Lebih baik mereka pergi bersama-sama agar bisa ngobrol di dalam kereta.

"Aku menunggu... Braralee."

"Rin, kapan kau akan kembali? Aku hanya tinggal bersamanya di rumah, aku pasti akan kesepian. Aku ingin kau melihat-lihat rumah baruku. Kau tahu sendiri kalau aku tidak bisa apa-apa." Bujuk Braranee.

Tapi Rin tetap bersikeras mau tinggal lebih lama dengan alasan mau menunggu sampai semua tagihan biaya pernikahan selesai dibayar. Nanti kalau semua urusan di sini selesai, dia pasti akan mengunjungi Braranee.

"Aku memberimu waktu dua hari saja, sebaiknya kau datang. Oke?"

Sudah saatnya pergi, kedua pengantin pun bersujud dan pamitan pada kedua orang tua. Semua orang sedih dan berkaca-kaca akan perpisahan ini. Khun Ying dan Tuan Bumrung setulus hati memohon pada Panit untuk menjaga Braranee dengan baik.

Bersambung ke part 6

Post a Comment

0 Comments