Sinopsis Padiwarada Episode 7 - Part 3

 


Tapi Rin sama sekali tidak bisa tidur entah memikirkan apa. Dia terus gelisah menyuruh dirinya sendiri untuk melupakan apapun yang ada di pikirannya itu.

"Apa yang sedang berusaha kau lupakan?" Saran penasaran.

Sebal, Rin langsung berguling membelakanginya. Tapi Saran malah makin getol menggodanya. Dia juga tidak bisa tidur memikirkan pipinya Rin terus.

Kesal, Rin sontak melempar sebuah benda metal ke Saran. Untung saja Saran berhasil menghindarinya tepat waktu sambil protes. Apa Rin mencoba membunuhnya?

"Aku datang kemari untuk hidup tenang, kenapa kau datang dan menggangguku? Biarkan aku hidup damai seperti yang lain, oke?"


Tapi ucapannya itu malah membuat Saran duduk di ranjang Rin. "Saat kau bilang kau ingin hidup tenang (di sini), itu hanya untuk sementara atau selamanya? Kalau kau kemari bukan karena mengikuti si cowok itu, lalu berapa lama kau berencana tinggal di sini?"

"Kalau begitu, biarkan aku bertanya. Kenapa kau datang kemari mencariku? Apa artinya aku bagimu?"

Tapi Saran malah cuma diam tak punya jawaban. Sama seperti Saran, Rin juga tak punya jawaban akan apa arti Saran baginya. Jika mereka tidak bisa menemukan jawaban atas pertanyaan itu, maka hidup mereka akan bermasalah.

"Kau terlihat stres. Tidak lucu lagi, kan? Temukan jawabannya. Jika kau bisa menemukan jawabannya, aku akan kembali bersamamu. Tapi jika tidak, maka aku tidak akan kembali."


Rin langsung berguling membelakanginya lagi setelah itu. Tapi bukannya balik ke kasurnya, Saran malah ikut berbaring di samping Rin yang jelas saja membuat Rin jadi tambah kesal dan langsung mendorongnya sampai dia terjatuh ke lantai. Wkwkwk!

Terpaksalah Saran harus balik ke kasurnya sambil ngedumel sebal. Tapi saat Rin membelakanginya lagi, Saran diam-diam menatapnya dengan galau.


Pagi-pagi, Duang ditelepon sepupunya yang cemas mengabarkan kalau orang tuanya Duang mau datang ke rumahnya. Kereta mereka akan tiba sore ini, jadi sebaiknya Duang bergegas kemari secepatnya. Duang jelas cemas mendengarnya.


Hampir semua jajanan tradisional untuk acara pernikahan sudah tertata rapi. Saran berniat membantu menata jajanan itu, tapi ujung-ujungnya malah ribut sendiri dengan Rin sampai Jaew iri melihat kemesraan mereka.

"Aku juga ingin menikah seperti kalian. Apa kau sudah mencicipi ini? Kucicipi, yah?"

Rin berusaha melarang tapi Jaew masa bodo dan langsung saja memakannya. Saran jadi ingin mencicipi juga, tapi Rin langsung menabok tangannya.


Bu datang tak lama kemudian untuk pamit pergi ke hotel duluan. Kalau begitu, Rin sekalian menitipkan jajanan-jajanan ini untuk dia bawa ke hotel duluan. Rin dan Jaew sontak bangkit untuk membawa semua jajanan itu keluar dan Saran pun langsung ikut beranjak bangkit.

Rin heran melihatnya. "Kenapa kau mengikutiku?"

"Kebun? Di mana kebunnya? Apa dekat rumah tetangga?"

"Di depan. Aku cuma akan jalan sebentar."

"Akan kubantu membawanya."

"Tidak... perlu." Kesal Rin lalu pergi. Jadilah Saran ditinggal sendirian di dapur. Tapi ada untungnya juga, akhirnya dia bisa nyolong mencicipi jajanan buatan Rin yang lezat itu.


Saat para wanita meletakkan jajanan itu di gazebo, Bu langsung menggodai Rin. Saran pasti sangat mencintai Rin. Buktinya dia selalu menjaga Rin karena dia takut kalau Rin bakalan menghilang. Tapi Rin bersikeras tak mempercayainya, Saran itu cuma menganggapnya sebagai mainannya dan bukannya cinta.

"Apa maksudnya, Rin?"

"Dia dan P'Arun tidak bergaul dengan baik."

"Dia cemburu, yah? Dia pasti cemburu."

"Cemburu itu untuk mereka yang saling mencintai. Dia mencintai orang lain. Kenapa juga dia mencintaiku? Dia cuma takut kehilangan muka dan harga diri, takut kalah dari P'Arun."


Baru dibicarakan, Arun mendadak muncul dan langsung kepedean saat mendengar Rin menyebut namanya. "Kudengar ada yang memanggil namaku. Ternyata kau. Aku juga merindukanmu."

Rin jelas panik melihatnya ada di sini. "Apa yang kau lakukan? Kenapa kau ada di sini?"

"Aku datang untuk membantu dan menjemput Bu."

"Kalau begitu, cepatlah pergi. Cepetan!"

"Tapi aku belum makan. Biarkan aku makan dulu."

"Tidak boleh. Dia terburu-buru. Cepetan pergi."

Begitu semua orang pergi, Rin akhirnya bisa kembali ke dapur dengan tenang. Tapi Saran jelas heran, kenapa Rin pergi lama banget?

"Oh, itu karena aku takut ada yang kelupaan, makanya aku mengecek segalanya terlebih dulu."

 

Tapi tiba-tiba Arun muncul di sana yang jelas saja langsung membuat kedua pria itu menggila. Tanpa ba-bi-bu, mereka sontak saling serang dengan ganas. Rin sampai panik berteriak-teriak minta tolong.

Saking sengitnya pertarungan itu, Saran sampai mengambil baki tepung lalu melemparkannya ke kepala Arun. Bu dan Jaew baru muncul dan jelas bingung melihat keributan ini.

"Jangan macam-macam dengan istriku!"

"Rin bukan istrimu! Istrimu itu Duangsawat!"

Saran sontak kesal menyerangnya lagi dan membuat dapur itu jadi semakin kacau balau. Parahnya lagi, Arun tiba-tiba mengambil sebaskom air gula lalu menyiramnya ke Saran.


Bingung, Bu menyuruh Jaew untuk memanggil Tuan Bumrung saja. Tapi Rin yang sudah emosi sampai ke ubun-ubun, melarang Jaew melakukan itu.

Dia langsung saja mengambil sebuah baki lalu menaboki kepala kedua pria itu keras-keras sampai mereka berhenti berkelahi.

"Berhenti sekarang juga! Khun Saran, kalau kau tidak mau berhenti sekarang juga, maka aku tidak akan kembali bersamamu! P'Arun, kalau kau tidak mau berhenti, aku tidak akan pernah mau bicara denganmu lagi seumur hidupku!"

"Telingku sakit semua rasanya. Apa kau tidak merasa kau keterlaluan!"

"Kau tidak pernah semarah ini sebelumnya."

"Menjauhlah sekarang juga. P'Arun, apa kau tidak mau pakai kamar mandi? Pergilah dan jangan balik lagi. Cepetan! Dan kau, duduk saja di dapur dan jangan ke mana-mana. Kalian dengar tidak?!"

Bu dan Jaew baru kali ini melihat Rin marah-marah seperti ini. Lucu juga rasanya. Arun akhirnya mau menuruti Rin, tapi jelas masih belum mau mengalah. "Simpan untuk nanti."

Saran sontak menjegal kakinya seperti anak kecil. "Aku bukan bank, jadi jangan simpan apapun. Pergi sana, mulut besar! OI!"


Arun jelas emosi dibuatnya, tapi terpaksalah dia menahan diri dan pergi. Rin kesal mengancam Saran untuk duduk dan diam saja sampai Saran menurut dengan patuh.

Bu sekarang mengerti kenapa kucing dan anjing tidak boleh saling bertemu. Dia janji lain kali akan mengawasinya untuk Rin. Dia lalu pergi bersama Jaew dan meninggalkan mereka berduaan.

"Biarkan aku ganti baju dulu."

"TIDAK BOLEH!"

"Tapi aku basah."


Chalat berusaha mencari tahu tentang perusahaan kayu lama pada bibinya yang sekarang menangani perusahaan keluarga mereka. Tapi Bibi mengaku tak tahu menahu, mengingat waktu itu ia sendiri masih sekolah dan kakaknya tak pernah mengajarinya.

Karena itulah, Bibi memanggil seorang tetua yang sudah cukup lama bekerja di perusahaan mereka agar Chalat bisa tanya-tanya sendiri padanya. Chalat pun langsung penasaran menanyakan apa yang terjadi pada perusahaan kayu di Kao Payung itu hingga membuat ayahnya menangis setiap kali menyebut tempat itu.


Anehnya, Paman tampak agak ragu mengatakannya. Tapi Chalat terus mendesaknya karena dia ingin membantu ayahnya. Akhirnya Paman mengaku bahwa dia sebenarnya tidak begitu tahu, tapi dulu pernah ada rumor yang mengatakan bahwa Ayahnya Chalat memiliki istri kedua dan anak di sana. What?!

Bibi dan Chalat jelas kaget mendengarnya. Lalu, anak Ayah itu putra atau putri? Paman tidak tahu, para pekerja di sana semuanya warga desa dan kebanyakan sudah meninggal dunia. Dan tak ada seorang pun yang ingin menyebarkan rumor itu lagi demi kebaikan Chalat dan ibunya.

Chalat mengerti sekaranga. Ayahnya pasti sangat mencemaskan istri dan anaknya yang lain itu. Ibunya Chalat sekarang sudah meninggal dunia dan dia sendiri anak tunggal, dia juga bukan orang yang picik. Karena itulah, ayahnya pasti menginginkannya untuk menangani masalah ini.


Tapi Bibi bingung, mereka harus mencari informasi masalah ini dari siapa? Paman menyarankan mereka untuk pergi ke Kao Payung saja dan tanya pada para penduduk di sana.

"Apa yang harus kita lakukan, Chalat?"

"Aku akan menyelidiki masalah ini sendiri. Begitu aku menyelesaikan pekerjaanku di sini, aku akan pernah sendiri ke Chiang Mai, Bibi."

Bibi senang mendengarnya. "Kakak pasti sangat senang karena kau memahaminya. Kau melakukan hal yang benar."

"Ayah menangis. Pertama kalinya aku melihatnya begitu. Ini masalah penting baginya. Apapun yang terjadi, aku harus menemukan istri dan anaknya."

Bersambung ke part 4

Post a Comment

0 Comments