Sinopsis Padiwarada Episode 10 - Part 5

  


Begitu kembali ke rumah, mereka mendapati Mae Sai dan Sherm sudah menunggu di sana dengan senyum lebar. Saran mempekerjakan mereka kembali di sana, mereka benar-benar senang.

"P'Nuer bilang kalau kalian pergi ke kantor wilayah. Selamat!"

"Semua orang ada di sini. Rumah ini akan terasa seperti rumah sekarang! Satu lagi Sherm, Pak Sheriff sekarang bukan punya dua istri, tapi satu istri."

"Kalau dengan Nyonya, maka kami pasti akan bekerja keras. Kalau nyonya yang satunya, males!"


Menyadari tatapan penuh cinta kedua pasutri itu, Nuer sontak menyeret Mae Sai dan Sherm pergi meninggalkan mereka berduaan sambil memberi isyarat biar mereka berdua bisa romantis-romantisan. Hehe. Begitu semua orang pergi, Saran langsung menautkan jari-jemari mereka.

"Tempat tinggal yang terasa seperti rumah, sekarang benar-benar menjadi rumah." Ujar Saran lalu mengec~p lembut kening Rin.

 

Chalat mendatangi seorang kakek pandai emas dan menunjukkan foto Reung padanya, yang mana dalam foto itu, Reung tampak mengenakan sebuah kalung.

Kakek langsung bisa mengenali kalung itu karena ia sendiri yang membuatnya. Dulu, Ayahnya Chalat mendapatkan sebuah permata dari Myanmar. Permata itu kemudian ia buat jadi cincin yang sekarang Chalat kenakan itu.

Total ada 3 perhiasan yang berhiaskan permata yang sama. Yang kedua adalah gelang dan yang satu lagi adalah kalung yang ada di foto ini. Chalat tahu kalau Ayahnya memberikan gelangnya pada ibunya, sementara kalungnya ini diberikan pada Reung.

Tapi kalung ini sekarang menghilang dari keluarganya. Jadi, bisakah Kakek membantunya bertanya pada teman-teman Kakek? Jika ada di antara mereka yang memiliki kalung ini atau ingat pernah melihat kalung ini, tolong hubungi dia. Kakek setuju.

 

Sebelum tidur, Rin terlebih dulu menyisir rambutnya... saat tiba-tiba saja dia teringat ucapan Chode tentang tugas istri pada suami. LOL! Rin sontak merinding ngeri teringat hal itu.

"Menakutkan sekali."

Mumpung Saran belum masuk kamar, Rin berniat mau melarikan diri kembali ke kamar sebelah... tapi malah mendapati pintunya sudah terkunci.

"Kau mau pergi ke mana?" Tanya Saran yang tiba-tiba muncul dari belakang. "Aku sudah menguncinya demi keamanan."

Pfft! Rin galau deh. "Baiklah."

"Hari ini aku kebanyakan jalan. Entah apakah kakiku bengkak."

Cemas, Rin cepat-cepat membantu Saran duduk di ranjang dan mengecek kakinya. Untung saja tidak bengkak.

"Sekarang, tidurlah. Besok jangan kebanyakan jalan." Omel Rin lalu membantu Saran berbaring dan menyelimutinya.

 

Saran penasaran. Sebelum menikah, Rin memikirkan James Dean dan Elvis. Lalu apa yang Rin pikirkan setelah dia menikah?

"Aku mungkin memikirkan mantan kekasihmu, Khun Duangsawat."

"Sigh! Kenapa mengungkit masalah itu? Kalau aku... aku memikirkan anak." (Pfft!)

Rin panik mendengarnya. "Jangan memikirkan yang tidak-tidak. Tidur, tidur, tidur."

Saran langsung saja menyingkirkan semua bantal penghalang mereka sambil menghitung berapa anak yang dia inginkan. "Anak pertama, anak kedua... ketiga... keempat."


Dan saat Rin berbalik padanya, dia malah kaget mendapati wajah Saran sudah ada di hadapannya tanpa halangan apapun. "Khun! Bantalku!"

"Mulai sekarang, tidak ada bantal, pisau atau hidung. Ya? Ya? Ya?"

"Tidak ada bantal, pisau dan hidung. Tapi ada White Tiger. Aku lupa menutup pintu. Biar kucek dulu." Panik Rin lalu beranjak pergi untuk menutup jendela.


Tapi saat dia berbalik semenit kemudian, dia malah mendapati Saran sudah berdiri tegap di hadapannya... tanpa kruk. Hah? Dia sudah bisa jalan? 

Saran langsung saja menjawabnya dengan memeluk Rin erat-erat sampai Rin tak nyaman dibuatnya.

"Kalau kau akan tinggal di kamar ini, aku akan lari dan melompat biar kau bisa melihatnya." Ucap Saran lalu mengec~p kening Rin.

Kalau Saran bisa jalan sebanyak ini, berarti dia bohong selama ini? Kesal, Rin berusaha melarikan diri, tapi Saran makin getol menghalangi jalannya, bahkan merebut bantalnya Rin biar dia tidak bisa balik ke kamarnya.


"Aku bisa jalan dan melakukan apapun. Tapi kruk itu namanya penyakit manja minta perhatian istri."

Rin langsung kesal menabokinya. "Rasain, nih. Dasar cowok gila! Kau membuatku sangat cemas."

"Kalau kau benar-benar mencemaskanku, maka seharusnya kau mengasihaniku juga."

"Bagaimana bisa pria licik sepertimu menyedihkan?"

"Aku menyedihkan. Kalau malam ini kau menolakku, aku akan mati di hadapanmu."

"Apa kau benar-benar sudah sembuh?"

"Hidup berpasangan denganmu, aku tidak akan mati semudah itu."

 

Saran lalu menarik Rin kepadanya dan Rin pun langsung menyandarkan kepalanya di bahu Saran. Mereka terdiam seperti selama beberapa saat sebelum kemudian Saran menatapnya dengan penuh cinta lalu mengec~p lembut kening Rin... dan selanjutnya... yah begitu deh, ngerti kan yah? Oke! Hehe.

 

Dunia tampak begitu indah keesokan harinya. Matahari bersinar cerah, burung-burung ribut berkicau, dan bunga-bunga bermekaran indah. Rin keluar ke balkon dengan hati berbunga-bunga, seindah dunia pagi itu.

Saran tiba-tiba muncul dari belakangnya dan dengan manisnya menyelimuti Rin dan memeluknya erat-erat.

"Aku tidak mau bangun. Aku ingin tidur bersamamu seperti ini lebih lama."

"Kalau kau tidur terus dan tidak makan, bukankah kau bisa mati kelaparan?"


"Aku lebih lapar akan kau." Goda Saran sambil menghujani Rin dengan kec~pan sampai Rin malu, takut ada yang lihat.

"Lihatlah, mataharinya sangat indah."

"Mulai sekarang, mata besarku ini hanya akan melihatmu seorang. Dan mata besarmu hanya akan melihatku seorang."

Saran langsung menghujaninya dengan berbagai ci~man di seluruh wajahnya sambil mengklaim setiap jengkal wajah Rin sebagai miliknya seorang. Rin setuju?

Rin cuma tersipu malu sampai Saran gemas dibuatnya. "Jangan cuma senyum. Kau juga harus menjawabku. Kalau tidak, akan kuci~m bibirmu sampai kau tidak bisa bicara lagi."

"Baiklah, baiklah."

Saran langsung gemas mengec~p kening Rin, hidungnya dan kedua pipinya lalu menarik Rin ke dalam pelukannya.


Begitu mendengar kabar mereka sudah menandatangani akta pernikahan, Ibu bergegas balik ke Paktai. Saran dan Rin sedang bercengkerama saat beliau tiba. Mereka pun langsung bersujud di bawah kaki Ibu.

Ibu senang melihat Saran sudah pulih sepenuhnya, dia benar-benar dilindungi karma baik.

"Ibu sudah mendapat beritanya. Terima kasih sudah menandatangani akta pernikahan dengan Saran. Ini takdirku memilikimu di rumah ini dan merawat putraku."

"Aku merindukan Ibu."

"Ibu juga merindukanmu."

"Sebenarnya aku ingin mendengar berita kalau Tiger Kao sudah mati. Aku melarang Ibu datang, tapi Ibu tidak mau dengar."

"Ibu kan sudah bilang. Di mana pun kau berada, Ibu juga akan berada di sana. Terutama dengan berita baik seperti ini. Ibu ingin melihat kebahagiaan kalian berdua dengan mata kepala Ibu sendiri."

Tapi Saran mengaku akan kembali bekerja mulai besok. Kepala Sheriff akan mengadakan pesta untuk menyemangati penduduk desa. Ibu langsung antusias. Kalau begitu, ia juga ingin membantu persiapan acara itu. Entah Kao mati atau tidak, yang penting menyemangati warga desa dulu.


"Sementara untuk kalian berdua, masalah tidak akan selesai sampai di sini."

Saran dan Rin jelas heran. "Apanya yang belum berakhir?"

Tentau saja kehidupan suami-istri. Mulai sekarang, mereka akan menghadapi masalah yang sebenarnya. Sama seperti semua hal di dunia ini, hubungan suami-istri pun kadang akan ada perubahan. Kadang naik, kadang turun. Setiap hari sepanjang tahun tidak akan sama dalam kehidupan suami-istri.

Membuktikan cinta pada satu sama lain adalah akhir dari kisah cinta di negeri dongeng. Tapi dalam kehidupan nyata, hal itu justru permulaan.

Saran dan Rin kontan saling berpandangan cemas. Saran langsung menautkan jari-jari mereka dan dengan penuh keyakinan menyatakan bahwa mereka tidak akan berubah.

"Semua orang berubah setiap hari. Hanya dengan pergi keluar, membaca, menonton drama atau bertemu orang baru. Saat kita pulang dan pasangan kita sudah berubah menjadi orang lain. Segalanya tergantung seberapa kuat diri kita." Nasehat Ibu.

Bersambung ke episode 8

Post a Comment

0 Comments