Chalat memutuskan kembali ke ibu kota dengan membawa informasi baru itu beserta foto Reung. Saat dia memperlihatkan foto itu pada Ayah, ia langsung tersenyum dan membenarkannya.
Tapi dengan berat hati Chalat harus memberitahu Ayah bahwa Reung sudah meninggal dunia selama bertahun-tahun. Ayah sontak menatap nanar ke sekitarnya.
"Apa Ayah mau menanyakan tentang anaknya? Dia memiliki seorang putri. Tapi dia memberikan anaknya pada seseorang di ibu kota."
"Pada siapa?" Tanya Bibi.
"Tidak ada seorang pun yang tahu. Reung jatuh sakit dan meninggal dunia sebelum dia sempat memberitahu siapapun."
"Sudah 20 tahun sekarang. Kita bahkan tidak tahu apakah anak itu masih hidup atau tidak."
"Ibu kota begitu besar dan luas, jauh lebih sulit mencarinya di sini daripada di Gunung Payung. Kita harus bagaimana, Bibi? Ayah?"
Rin sengaja menghindari Saran. Dia bahkan menolak makan bersama Saran dengan alasan mau menyelesaikan pekerjaan rumahnya dulu, padahal saat itu dia cuma duduk merenung dengan sedih di luar.
Saran sedih melihatnya seperti itu. "Kalau dia kembali ke ibu kota, aku tidak akan menyusulnya dan membawanya pulang lagi. Dia selalu menderita di sini. Menderita karena White Tiger dan Duangsawat. Seseorang sepertiku mungkin tidak cocok dengan wanita manapun."
Saat mereka berbaring bersama malam itu, Saran mencoba mengajak Rin ngobrol tentang cuaca. Dia bahkan mencoba menarik perhatian Rin dengan mengeluh kalau dia kedinginan dan minta diambilkan selimut. Tapi Rin terus diam membisu dan mengacuhkannya.
Saran nyinyir melihat reaksinya. "Tentu saja, selimut tidak akan cukup. Aku sudah menikah denganmu selama 7 bulan dan belum pernah menerima kebaikan apapun darimu. Kurasa aku harus tidur kedinginan seperti ini. Rin, aku kedinginan. Sungguh, tuh lihat, aku sampai merinding. Hei!"
Kesal, Rin sontak melempar tatapan tajam padanya sebelum kemudian berbalik membelakanginya.
Keesokan harinya, Saran melihat Rin masih termenung sedih di gazebo. Saran sudah benar-benar sudah putus asa sekarang.
Karena itulah dia meminta Nuer untuk memberitahunya jika Rin memutuskan pergi meninggalkannya agar setidaknya dia bisa mengendalikan hatinya.
Yang tidak dia ketahui, Rin sebenarnya mulai memikirkan segalanya dengan baik. Apalagi saat dia teringat permintaan tulus Saran untuk mengerti dirinya dan mempercayainya.
Ingatan itu kontan membuat Rin teringat akan semua sikap tulus Saran untuknya selama ini, seperti saat Saran menginap di kantor selama masa-masa perpisahan mereka dulu.
Semua itu Saran lakukan untuk membuktikan bahwa Rin bisa mempercayainya. Seketika itu pula kemarahan di wajah Rin mulai sirna.
Saran sedang latihan jalan seorang diri saat Rin tiba-tiba menghampirinya. Seolah tak pernah ada masalah di antara mereka, Rin santai saja memuji perkembangan kesehatan Saran.
Dia sudah hampir bisa berjalan dengan normal sekarang, jauh lebih cepat daripada perkiraan dokter.
"Kau tidak bicara padaku seharian kemarin. Hari ini kau mau pamitan, kan?"
"Pamitan?"
"Kau akan kembali ke ibu kota."
"Ada yang harus kutunjukkan padamu. Kemarilah."
Rin ternyata membawanya ke kebun bunga dan menunjukkan bunga-bunga matahari mereka yang sekarang sudah bermekaran dengan indah. Rin sekarang mengeti kenapa Duang mendadak mengirimnya telegram itu.
Jika hal itu benar, maka Duang pasti akan pamer padanya sejak dulu. Hal itu pasti baru terlintas di benaknya, makanya dia mendadak mengirim telegram hanya untuk mengacaukannya.
"Kalau tahu begitu, apa kau akan tetap membiarkannya mempermainkanmu? Lalu apa yang akan kau lakukan selanjutnya."
"Aku akan menciptakan (cinta seperti nasehat Tuan Bumrung dulu)." Jawab Rin sembari menautkan jari-jemari mereka.
Saran bahagia, ini pertama kalinya Rin menggenggam tangannya. Menirukan Rin, dia mulai menghitung kesepuluh jari-jemari mereka yang saling bertautan dan berterima kasih padanya.
"Terima kasih karena kau telah memahamiku, mempercayaiku. Terima kasih banyak." Ucap Saran lalu mengecup lembut tangan dan kening Rin.
Bibinya Chalat menyeret Chalat ke kamar ayahnya dengan antusias. Ternyata sekarang Ayah sudah mau melakukan terapi fisik, ia bahkan makan banyak tadi pagi.
Chalat jelas senang melihat perkembangan ayahnya. Bicaranya juga mulai lebih lancar, ia bahkan meminta Chalat untuk mencari adiknya.
Bibi meyakinkan Ayah kalau Chalat pasti akan mencari adiknya. Yang penting, Ayah fokus saja pada penyembuhannya sendiri.
Bibi benar-benar lega, kakaknya sekarang memiliki kekuatan untuk bertahan karena sekarang ia punya harapan dalam hidupnya.
Tapi Chalat gelisah, dia sebenarnya agak pesimis. Apa Ayah benar-benar yakin kalau dia akan bisa menemukan adiknya?
Bibi yakin. "Dulu aku mempekerjakan orang untuk memberinya terapi, tapi ayahmu tak pernah mau bekerja sama. Lihatlah dia sekarang. Aku tidak tahu dari mana dia mendapat kekuatannya. Dia sendiri yang memanggil ahli terapi. Ahli terapi bahkan bilang kalau kita masih punya harapan."
"Tapi aku tidak tahu dari mana aku harus mulai. Dan... bagaimana kalau aku tidak bisa menemukan adikku?"
"Lebih baik memiliki harapan dulu daripada tidak sama sekali. Kau harus terus berusaha."
"Baiklah."
Saran dan Rin tampak begitu berbunga-bunga saat mereka berbaring bersama malam itu. Saran penasaran, siapa suami impian Rin sebelum dia menikah?
"Elvis atau James Dean."
"Lalu waktu kita pertama kali bertemu, aku Elvis atau James Dean?"
"Kau menodongkan pistol ke mukaku, kau pikir aku akan memandangmu sebagai siapa?"
"Lalu bagaimana sekarang?"
"Sekarang sudah larut malam. Ada apa denganmu malam ini? Apa kau tidak ngantuk? Aku ngantuk."
"Bagaimana bisa kau mengantuk? Kau memegang tanganku. Kau jatuh cinta padaku. Apa kau tidak bahagia?"
Rin sampai geli mendengarnya. "Selamat malam."
Tapi Saran tiba-tiba menyelipkan tangannya melewati bantal pembatas mereka lalu menowel tangan Rin dan mengisyaratkannya untuk memegang tangannya lagi. Rin dengan senang hati menurutinya dan menautkan jari mereka kembali.
"Kita akan berpegangan tangan seperti ini selamanya, kan?"
"Ya."
Kalau begitu, Saran sekali lagi mencoba mengetes Rin dan bertanya apakah Rin punya rahasia yang dia sembunyikan darinya. Jika hati mereka bersatu, maka Rin harus memberitahunya tentang semua kebenaran.
Rin sontak gelisah mendengarnya. Tapi dengan tegas dia menyatakan kalau dia tidak punya rahasia apapun yang dia sembunyikan dari Saran.
Mendengar itu, Saran pun lega dan akhirnya bisa tidur dengan tenang. Tapi Rin tidak bisa tidur, gelisah memikirkan kebohongannya sendiri.
Keesokan paginya saat mereka sarapan bersama, Saran bukannya makan malah sibuk menatap Rin dengan tatapan penuh cinta. Rin sampai malu dibuatnya.
"Makanlah. Apa kau akan kenyang hanya dengan menatap wajahku?"
"Makanannya terlihat pink dan airnya terlihat pink. Apa kau mengerti apa yang kulihat?"
"Aduh, duh, duh, duh~~~~"
"Kenapa kau melolong, Nuer?!"
"Lalu warna wajahku ini apa, Khun Nu?"
Saran langsung kesal menghajarnya pakai kruk. Tak ingin mengganggu momen romantis mereka, Nuer akhirnya melesat pergi meninggalkan mereka berduaan.
"Hari ini, aku mau pergi ke kantor wilayah."
"Kau sudah mau balik kerja? Kau ini sangat tidak sabaran."
Saran sudah baikan kok sekarang. Lagian dia cuma ingin menandatangani dokumen. Rin tetap kurang setuju, sudah sebulan tidak ada berita tentang White Tiger. Dia mungkin sudah mati sekarang. Lebih baik Saran menjaga kesehatannya sekarang.
"Kalau begitu, ayo pergi bersama. Kita akan pergi secepatnya lalu pulang secepatnya."
"Kalau begitu berhentilah menatap wajahku. Makan dulu baru pergi."
Rin lalu mengambilkan lauk untuknya, tapi Saran malah menarik tangannya lalu mencubit pipinya dengan gemas. "Cerewetnya!"
"Khun! Makanlah." Rin sampai harus menyuapinya dan Saran memakannya sambil menatap Rin dengan senyum lebar.
Yang tak disangkanya, Saran ternyata mengajak Rin ke kantornya untuk menandatangani akta pernikahan mereka. Rin sampai bingung, kenapa Saran mendadak ingin menandatangani akta pernikahan dengannya?
"Arti kita bagi satu sama lain... seperti yang kau inginkan. Aku sudah menemukan artiku. Pengertian dan kepercayaan. Dan bagaimana denganmu? Apa kau sudah menemukannya? Kalau kau sudah menemukannya, maka tanda tanganilah. Kalau belum maka tidak perlu tanda tangan."
Rin senang mendengarnya dan langsung menandatangani akta pernikahan itu tanpa ragu. Saran pun menandatanganinya dan akhirnya, mereka benar-benar sah suami-istri secara hukum.
Kepala Sheriff mengingatkan mereka bahwa sertifikat pernikahan ini tidak akan menjamin kestabilan hubungan pasutri mereka. Tapi ini bisa menjadi pengingat bagi mereka, untuk mengingat hari ini saat mereka berdua memiliki hati yang sama, saling memahami, mempercayai dan menghormati satu sama lain.
"Kuharap kalian menghargai semua itu. Kalian berdua akan selalu satu hati untuk selamanya."
0 Comments
Hai, terima kasih atas komentarnya, dan maaf kalau komentarnya tidak langsung muncul ya, karena semua komentar akan dimoderasi demi menghindari spam