Sinopsis Padiwarada Episode 10 - Part 3

 

Chalat sedang ngopi di restoran saat tiba-tiba saja dia melihat bibi itu sedang berjalan tak jauh dari sana. Chalat sontak melesat mengejarnya dan mengkonfrontasinya.

"Kau menipuku agar kau bisa mendapatkan uang untuk minum-minum? ayo, akan kubawa kau ke polisi! Dasar penipu!"

Bibi ketakutan dan meminta maaf. Dia bahkan langsung mengembalikan semua sisa uangnya lalu berusaha kabur. Tapi tentu saja Chalat tak melepaskannya begitu saja dan ngotot mau membawa Bibi ke polisi.

Ketakutan, Bibi mengaku kalau dia tidak sepenuhnya berbohong pada Chalat. Dia benar-benar mengetahui kebenaran tentang Ayah Chalat dan istrinya, sungguh.

Chalat tak percaya. "Kau masih berani mengada-ada? Kau tidak peduli, yah?"


Untuk membuktikannya, Bibi langsung mengeluarkan sebuah foto yang ternyata foto Ayah Chalat bersama seorang wanita cantik. Wanita itulah yang bernama Reung, Istri Ayahnya Chalat.

"Katakan padaku cerita seluruhnya."

Bibi malah menawari Chalat untuk menemui Reung. Dia akan mengantarkan Chalat ke sana. Chalat jelas setuju.

 

Tapi yang tak disangkanya, Bibi malah membawanya ke sebuah vihara yang letaknya cukup jauh sampai Chalat mengira kalau Bibi berusaha menipunya lagi.

Bibi bercerita bahwa dia dan Reung adalah teman baik. Mereka sama-sama berasal dari hutan dan memutuskan ke kota untuk mencari pekerjaan hingga akhirnya mereka mendapatkan pekerjaan di pabrik kayu milik Ayah Chalat. Reung itu sangat cantik hingga akhirnya dia menjadi istri Ayah Chalat.

"Lalu di mana Reung sekarang?" Tuntut Chalat.


"Di sana." Bibi menunjuk ke suatu tempat... ke sebuah kuburan yang terdapat foto Reung di nisannya.

Chalat tercengang. "Dia sungguh sudah meninggal dunia?"

Bibi membenarkan. Sejak pabrik kayunya mengalami konsesi, Ayah Chalat harus kembali ke ibu kota. Dan saat itulah, Reung baru tahu kalau dirinya hamil dan akhirnya melahirkan seorang putri.

Awalnya, Ayah Chalat diam-diam rutin mengirim uang bulanan ke Reung. Tapi setelah dia melahirkan, Ayah Chalat malah berhenti mengiriminya uang dan menghilang dari hidup Reung.


"Waktu itu, ayahku mengalami kecelakaan mobil. Ia sering sakit-sakitan dan sangat lemah. Pada akhirnya, ia jadi lumpuh."

"Oh, jadi dia cedera. Reung mengira kalau dia dicampakkan."

Chalat mengaku bahwa sejak ayahnya mengalami kecelakaan, ibu dan neneknya lah yang mengambil alih bisnis kayu itu. Ayahnya tidak berani bilang pada siapapun karena ibunya adalah wanita yang cemburuan.

Ayah mungkin mengira bahwa ia bisa kembali ke Reung setelah sembuh. Tapi ternyata ia tidak pernah sembuh. Ia selalu keluar-masuk rumah sakit.

"Hidup Reung sangat tidak beruntung. Setelah pabrik kayunya tutup, tidak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukan."

Tak punya apapun untuk dimakan, Reung akhirnya membawa anaknya ke ibu kota untuk mencari Ayah Chalat. Tapi ibu kota begitu besar. Wanita desa sepertinya tidak bisa menemukannya sama sekali biarpun dia sudah berusaha keras.


Pada akhirnya Reung jatuh sakit dan saat dia merasa tidak akan bisa bertahan lama, dia memutuskan untuk memberikan anaknya pada seorang jutawan.

"Dia mungkin mengira bahwa dia mati, setidaknya putrinya masih bisa hidup. Itu lebih baik daripada mereka berdua mati."

"Apa kau tahu pada siapa Reung memberikan anaknya?"

Tentu saja tidak. Tak lama setelah dia memberikan anaknya, penyakitnya semakin parah. Bibi dengar kalau Reung dirawat di rumah sakit selama berbulan-bulan sebelum kemudian Reung menulis surat padanya dan memintanya untuk menjemput Reung.

"Lalu apa suratnya menyebutkan pada siapa dia memberikan anaknya?"

"Kami orang dari hutan. Kami tidak berpendidikan. Kurasa dia memberikan anaknya ke tempat terdekat dari tempatnya menulis surat. Dia menulis nama rumah sakitnya. Waktu itu aku punya sedikit uang, makanya aku pergi menemuinya ke ibu kota."

Flashback.


Reung terbaring lemah saat Bibi tiba di rumah sakit waktu itu. Dengan terbata-bata ia memberitahu Bibi kalau ia memberikan anaknya pada seorang jutawan. Tapi ia tak sempat melanjutkannya lebih detil karena kematian menjemputnya saat itu juga.

Flashback end.


Bibi menangis teringat kejadian itu. Tapi Chalat ngotot meyakini kalau Reung pasti mengatakan hal lain lebih daripada itu, coba Bibi ingat-ingat lagi.

Bibi yakin tidak. Biarpun dia suka minum-minum, tapi ingatannya masih sangat bagus. Hanya itu yang Reung katakan sebelum meninggal dunia.

Saat dia pergi ke bekas pabrik kayu waktu itu, dia hanya bermaksud mencari barang bekas untuk dijual. Tapi malah tak sengaja dia melihat Chalat dan mendengar kalau Chalat sedang mencari istri mantan bosnya. Makanya dia membuntuti Saran dan ingin tahu dia siapa.

"Jadi saat kau melihatku putus asa, kau menginginkan uangku."

"Tidak. Aku hanya menginginkan sedikit uang untuk mengobati penyakitku. Kau lihat sendiri, aku membeli obat dan sekarang aku merasa lebih baik. Anggap saja ini sebagai amal, yah?"

"Setelah kau minum obat dan sembuh, kau lanjut minum-minum, kan?"

"Aku tidak minum-minum. Itu obat dari hutan, bagus untuk menjaga kesehatan tubuh."

"Lain kali, mintalah dengan cara baik-baik. Tidak perlu berbohong seperti itu."

"Kaulah yang memaksaku."

"Sekarang kau menyalahkanku? Di mana adikku tinggal sekarang? Kita bahkan tidak tahu jutawan yang mana. Bagaimana bisa aku menemukan adikku sekarang?"

"Maaf aku tidak bisa banyak membantu."


Telegramnya Duang akhirnya sampai ke tangan Rin. Isi telegram itu singkat, tapi jelas dia sedang berusaha memprovokasi Rin dengan memberitahu Rin bahwa barang-barangnya Saran ada di dalam kamarnya.

Nuer keluar saat itu dan langsung penasaran melihat ekspresi Rin, apa ada masalah? Saat Rin menunjukkan telegram itu, Nuer jelas tidak percaya. Dia yakin kalau Saran tidak pernah tidur dengan Duang. Duang pasti mengirim telegram ini dengan tujuan agar Saran dan Rin bertengkar.

Tapi Rin tidak bisa mempercayainya begitu saja. Nuer tidak mungkin tahu, dia kan tidak selalu bersama Saran setiap saat.

"Kalau begitu, anda harus menanyakannya langsung ke Khun Nu."

"Bagaimana kalau Khun Nu-mu berbohong?"

 

Kalau begitu cuma ada satu cara. Nuer pun membawa Rin pergi ke rumah sewaannya Duang dan mendapati Jim Lim lagi molor di tangga. Rin agak ragu, tapi Nuer meyakinkan kalau Jim Lim akan tidur seharian, jadi dia tidak akan tahu. Ayo!

Nuer baru saja mau naik saat tiba-tiba saja Jim Lim jejeritan gaje... sebelum kemudian balik molor lagi. Aman, Nuer dan Rin pun diam-diam naik tangga dan masuk ke kamarnya Duang.


Nuer membuka lemarinya dan langsung shock mendapati baju-bajunya Saran benar-benar ada di sana. Dia berusaha menutupinya secepat mungkin, tapi Rin ternyata sudah melihatnya juga.

Tetap berusaha membela Saran, Nuer asal beralasan kalau Jim Lim mungkin tak sengaja mengambil baju-bajunya Saran sampai kemari.

"Atau mereka tumbuh kaki dan berjalan kemari." Sinis Rin

"Atau kita mungkin cuma ditipu."

"Oleh hantu atau penunggu rumah ini."

"Burung besar. Burung besar mungkin yang membawanya kemari."


Rin sontak mempelototinya dengan kesal sampai akhirnya Nuer menyerah. Parahnya lagi, di sana pula Rin tiba-tiba menemukan kalung Buddha-nya yang mereka kira hilang.

"Kalung ini milikku. Aku sendiri yang mengalungkannya di lehernya dengan kedua tanganku sendiri."

"Tidak seharusnya saya membawa anda kemari. Maafkan aku, Khun Nu." Sesal Nuer.


Duang sedang berjemur cantik sambil senyam-senyum sendiri. Ibu sampai heran melihatnya, ada apa dengannya sampai mesam-mesem begitu? Tentu saja karena Duang sedang merasa puas.

"Sekarang ini, orang-orang di Paktai mungkin sedang meributkan isi telegram itu."


Dugaannya tepat sekali... Rin yang sakit hati, langsung mengkonfrontasi Saran dengan menunjukkan kalung Buddha-nya yang hilang. Saran senang, di mana Rin menemukan kalung itu?

Kesal, Rin langsung memperlihatkan baju-baju temuannya itu dan mengaku kalau dia menemukan semua itu di kamarnya Duang. Saran mungkin lupa saat dia tidur di sana.

Saran jelas bingung. "Aku tidak pernah tidur di sana."

"Bagaimana aku tahu apakah kau bicara jujur?"

Memang tidak ada cara untuk mengetahuinya. Tapi Rin harus memahaminya. "Tempatkan hatimu di dalam hatiku agar kau mengerti aku. Saat kau memahamiku, maka kau akan mempercayaiku. Tempatkan hatimu di tanganku (mempercayaiku). Percayalah padaku... bahwa aku tidak akan menghancurkan hatimu."

Tapi Rin tetap tidak mempercayainya hingga air matanya berlinang.

Bersambung ke part 4

Post a Comment

0 Comments