Sinopsis Padiwarada Episode 6 - Part 4


Tapi saat mereka berkumpul bersama penduduk desa, Saran dengan berat hati mengumumkan 5 polisi mati dalam insiden baku tembak itu. 

Chode baik-baik saja dan sekarang sedang merawat para polisi di rumah sakit. Lalu apa mereka menangkap gengnya Tiger Bang? Tanya Ibu Kepala Desa.

"Tidak, mereka semua mati. Termasuk Bang, Pak Sheriff yang menghabisinya. Dia pantas mendapatkannya. Nim pasti patah hati sekarang."

"Kita tertipu. Kita tidak tahu di mana markas mereka. Lalu bagaimana kalian akan menyelamatkan keponakanku, Pak Sheriff?"


Melihat kegalauan Saran, Rin berusaha menghiburnya dengan menggenggam tangan Saran. Tapi bagaimanapun, kematian Bang membuat Kepala Desa merasa bisa mati dengan tenang sekarang, mendiang putranya pun bisa beristirahat dengan tenang.


Di markas mereka, Kao dan yang lain sudah gelisah menanti Bang cs yang belum kembali juga sampai sekarang. Tapi kemudian Nim dan para wanita lainnya kembali tak lama kemudian dengan berlinang air mata.

Flashback.


Setelah pertempuran itu selesai, Nim diam-diam mengintip dari balik bebatuan dan melihat para polisi mengumpulkan semua mayat anggota geng mereka, termasuk Bang. 

Pemandangan itu sontak membuatnya patah hati dan marah besar hingga dia bersumpah akan balas dendam demi Bang.

Flashback end.


"Suami kami mati. P'Bang juga mati." Tangis Nim.

Kao marah besar mendengarnya. "Kau membunuh keluargaku! Kau harus mati! Sheriff Saran! Akan kuingat namamu! Aku akan balas dendam padamu mulai sekarang!"


Saat mereka kembali ke kamar mereka malam itu, Saran mendapati kertas-kertas origaminya sudah terbuka yang kontan membuatnya senang menyadari Rin sudah membaca pesan-pesannya.

"Mae Nim bilang kalau kau menangis. Matamu masih sembab, kenapa kau menangis?"

"Karena... aku kasihan dengan para polisi."

"Kau tidak mengizinkanku menyentuhmu karena kau takut dengan perasaan cinta dan aku menurutimu. Tapi pada akhirnya, kau mencintaiku."

"Tidak tuh. Kau tahu sendiri kalau aku selalu merasa kasihan pada orang lain."

"Aku harus pulang dan mendatangi para orang tua polisi-polisi yang gugur. Rasanya benar-benar menyesakkan."

"Kau bilang padaku bahwa semua keluarga polisi itu kuat."


"Dan bagaimana denganmu? Menikah dengan suami gila sepertiku. White Tiger pasti akan jauh lebih kejam karena aku melakukan itu pada anggota keluarganya. Apa kau akan kuat atau lemah? Kau akan menjadi lebih dekat atau semakin jauh?"

Alih-alih menjawab tentang dirinya, Rin malah mengalihkannya ke Ibu. Ibu yang sedang menunggu di rumah lah orang yang paling ingin dekat dengan Saran. Dia akan bertemu Ibu besok.

"Aku cuma menulis di kertas, tapi hatimu sudah mulai goyah tanpa kau perlu menyentuhku. Ini baru permulaan. Aku masih punya banyak cara. Persiapkan hatimu dengan baik."

Dia lalu melipat salah satu kertas jadi pesawat, mengecupnya lalu melemparnya ke Rin dengan tatapan menggoda. Malu, Rin langsung meletakkan kertas itu kembali ke meja lalu buru-buru kabur ke kamar.


Di tempat lain, Duang memulai aksinya untuk merebut Saran dengan mendatangi rumah atasannya Saran. Pada pembantu rumah itu, dia memperkenalkan dirinya sebagai istrinya Saran.


Saran dan Rin pulang dengan wajah ceria. Rin langsung pergi ke kebun untuk mengecek bunga-bunganya dan Saran bergegas pergi mengikutinya. 

Tapi sesampainya di sana, mereka mendapati ada bibit-bibit bunga matahari yang sebelumnya Rin buang, sekarang malah tumbuh.

Mereka bingung siapa yang menanam bunga-bunga itu. Sherm juga tak tahu, tapi belakangan ini hujan terus. Jadi mungkin bibit bunga-bunga itu tumbuh dengan sendirinya.

Saran senang. "Cinta dan kesetiaan akan tumbuh dengan sendirinya. Tak peduli biarpun kita berusaha menahan diri, semua itu akan tumbuh secara alami."

Tapi Rin masih tidak bisa mempercayainya dan langsung menyuruh Sherm untuk mencabut semua bibit bunga. 

Tidak terima, Saran sontak mengancam Sherm untuk tidak menyentuh bibit bunga matahari itu atau dia akan berada dalam masalah. Dan ancaman ini juga berlaku untuk Rin.


Tapi di kantor keesokan harinya, Kepala Sheriff memberitahu Saran dan Chode bahwa atasan mereka sangat marah dengan kematian kelima polisi. 

Beliau melapor ke Phranakorn kalau misi Saran gagal dan karenanya Saran akan dipindahkan kembali ke Phranakorn sebagai hukuman. Saran langsung lemas mendengarnya.

"Sheriff sudah berusaha yang terbaik. Seharusnya mereka bersimpati. Berapa banyak sheriff yang berani maju ke medan perang seperti dia? Ini sama sekali tidak menyemangati kita." Rutuk Chode.


Berita pemindahan Saran itu dengan cepat sampai ke telinga Duang berkat Jim Lim. Sejak Saran pulang, dia tidak mengatakan apapun dan cuma memukuli samsaknya terus menerus. Apa menurut Duang, Sheriff akan mematuhi perintah pemindahan itu.

Duang yakin kalau Saran tidak akan mau pergi. Dia sangat tekun dengan pekerjaannya. Ah, Duang punya ide bagus. Siapkan mobil, dia akan keluar.


Saran melampiaskan frustasinya dengan meninju samsaknya tiada henti. Bahkan saat Rin datang membawakannya makanan plus sambal kesukaannya, Saran menolaknya. Dia tidak nafsu makan sedikitpun.

"Perintah resmi belum dikeluarkan. Jangan terbakar emosi dulu. Kau benar-benar bekerja keras menangani para bandit itu. Para atasanmu pasti mengerti."

Tapi Saran tidak mau dengar dan terus meninju samsaknya.


Di ibu kota, Chalat tumben-tumbennya datang ke kantor sampai membuat bibinya kaget. Sekarang kan bukan awal bulan, belum saatnya ngasih dia uang lagi. Untuk apa Chalat kemari?

"Aku sudah lama tidak pulang. Aku ingin makan bersama Bibi dan juga ingin ngobrol dengan Ayah."

"Lalu kapan kau akan bekerja di sini? Ini perusahaan ayahmu, bukan milik bibi. Karena kau tidak akan melanjutkan studimu, bekerjalah di perusahaan. Berhentilah keluyuran."

"Apa Bibi berpikir kalau aku harus melanjutkan studiku?"

"Kenapa?"

"Anu..."


Tentu saja gara-gara Buranee yang mengejeknya waktu itu. Tanpa mengatakan siapa orangnya, Chalat mengaku kalau dia diejek bodoh oleh seseorang karena tidak melanjutkan studinya.

Orang itu bilang bahwa orang yang berpendidikan rendah, pasti akan diejek orang. Apa menurut Bibi, orang itu benar? Bibi bisa menduga tepat sasaran. Orang itu pasti wanita, apa dia cantik?

Iya. Wanita itu benar-benar merendahkannya. Haruskah dia balik kuliah? Bibi tersenyum mendengarnya. Kalau Chalat mau lanjut kuliah, dia kuliah saja di sini. Tapi menurut Bibi, masalah terbesarnya adalah Chalat itu pengangguran dan kerjanya keluyuran terus setiap hari.

"Gadis-gadis yang mendekatimu dan memujimu itu cuma mengharap sesuatu darimu. Tapi gadis yang mengkritikmu itu sepertinya benar-benar tulus."

"Tulus dan cantik. Ngomongin dia, aku jadi merindukannya."

"Itu sulit sekali. Karena jika kau tidak secakap dan berbakat sepertinya, dia mungkin tidak akan tertarik padamu."

Kalau Chalat benar-benar tertarik pada wanita itu, maka Chalat harus berubah dan menjadikan dirinya lebih baik agar dia bisa cocok dengan wanita itu. Benar juga, Chalat sontak nyengir mendengarnya.

"Kalau begitu, datanglah dan mulailah bekerja besok."

"Oke!" Chalat mendadak setuju tanpa ragu sampai Bibi kaget dibuatnya.

"Kau setuju denganku? Aku sudah berusaha memberitahumu selama bertahun-tahun, tapi kau bahkan tak pernah mau dengar. Tapi seorang gadis mengejekmu sekali dan kau langsung mau bekerja? Aku jadi ingin melihat wajah wanita."

"Aku akan mencarinya di kampus. Khun Buranee, kau harus melihatku dengan cara baru. Lihat saja nanti."


Mereka lalu pulang bersama untuk menemui Ayah Chalat yang ternyata lumpuh dan hanya bisa terbaring di atas ranjang. 

Bibi memberitahu Chalat kalau keadaan ayahnya belakangan ini begitu-begitu saja dan kebanyakan ia cuma tidur. Ia cuma bicara sesekali dan itu pun kata-kata yang sama berulang kali.

Chalat memberi hormat padanya dan saat itulah Ayah terbangun. Dengan terbata-bata ia berusaha mengucap 'Pa... yung'. Ia tampak begitu gelisah dan terus berusaha mengucap kata itu berulang kali dengan susah payah.

Tak ada yang mengerti ucapannya. Tapi kemudian Ayah berhasil mengucap Kao Payung dan saat itulah mereka akhirnya bisa menangkap kata-katanya. Tapi, siapa atau apa itu Kao Payung?


Rin sedang menyulam saat Arun lagi-lagi datang bertamu. Dia benar-benar lega dan senang bisa bertemu Rin lagi. Dia benar-benar sangat mencemaskan Rin gara-gara Saran membawanya pergi. Rin pasti kesusahan harus hidup bersama warga desa.

Rin menyangkal. Sama sekali tidak begitu. Para warga desa justru sangat baik padanya dan menjaga mereka dengan baik.

Arun mengaku kalau dia menelepon rumah dan mendapat kabar kalau Braranee akan menikah dalam waktu 2-3 hari. Ayo, pergi ke Phranakorn bersamanya.

"Bukankah mereka bilang itu cuma pesta pertunangan?"

Itu karena Panit sudah tidak sabaran. Arun akan pergi besok. Pergilah bersamanya. Braranee menginginkan Rin datang untuk mengurus makanan untuk pernikahannya.

Tapi menurut Arun, semua orang merindukan Rin. Makanya mereka meminta Arun untuk membawa Rin kembali. Tapi Rin menolak tegas. Dia sudah menikah, jadi dia harus izin dulu pada suami dan ibu mertuanya.


"Mantan istrinya ada di sebelah. Cuma perlu beberapa langkah untuk bertemu satu sama lain. Kita tidak tahu apakah mereka saling bertemu di malam hari. Bukankah kau dan Saran tinggal di kamar terpisah? Dia menyakiti perasaanmu, kenapa juga kau peduli padanya? Kembalilah ke ibu kota bersamaku, yah?"

Tapi Rin tetap tegas dengan keputusannya. Dia akan tetap melindungi martabatnya sendiri. Karena itulah, dia harus minta izin suami dan ibu mertuanya dulu.

Bersambung ke part 5

Post a Comment

0 Comments