Sinopsis Padiwarada Episode 6 - Part 1


Untung saja mereka tiba di desa dengan selamat walaupun Rin masih ngambek. Dia bahkan diam saja dengan muka jutek saat Saran menyuruhnya untuk mengambilkannya dokumen. Terpaksalah Saran harus mengambilnya sendiri.

Kepala Desa dan istrinya sampai heran melihat mereka, mereka lagi bertengkar? Istri baru memang sulit seperti ini. Tapi jangan khawatir, nanti juga pasti akan lebih baik.

"Nona muda, kau santai saja. Sebentar lagi kau akan masuk kamar." Goda Kepala Desa.


Sebal, Rin langsung beranjak menjauh dari sana. Kembali ke topik utama, dokumen yang Saran bawa itu adalah surat perintah dari atasannya. Ibu Kepala Desa jelas senang, mereka benar-benar akan membawa pasukan untuk membawa  Nim kembali.

Tapi Kepala Desa sontak kesal menggebrak meja mendengar nama putri mereka disebut-sebut. Dia tidak sudi mendengar nama anak durhaka itu di rumah ini.

"Aku tidak peduli. Aku merindukan putriku. Nim jadi seperti itu karenamu!" Kesal Ibu Kepala Desa. Kalau saja waktu itu Kepala Desa mengizinkan Nim dan Bang menikah, segalanya pasti tidak akan jadi seperti sekarang ini.

"Bang itu sulit dikendalikan. Pada akhirnya dia akan tetap mencuri untuk membiayai hidup. Tidak ada hubungannya denganku!"

"Pokoknya semua yang terjadi ini karenamu! Kau menghalangi cinta antara Nim dan Bang hingga menyebabkan kematian Noy!"

"Oi! Lihat saja nanti. Kalau Nim sampai kembali, akan kubunuh dia dengan tanganku sendiri!"

Saran dan Rin cuma bisa prihatin mendengar pertengkaran mereka.


Di markas mereka, Bang tengah mengajari para anggota gengnya bela diri saat Nim datang. Dia cemas setelah mengetahui Bang mengirim orang untuk menangani si sheriff itu, apa dia juga akan melakukan sesuatu pada orang tuanya?

Bang santai saja, geng mereka kan sudah semakin kuat sekarang. Kenapa juga Nim mempedulikan warga desa?

"Tapi mereka orang tuaku. Setelah kau menculikku, Ayah dan P'Noy berusaha mengambilku kembali dan dia tertembak sampai mati."

"Ayahmu kan sudah menyatakan putus hubungan denganmu karena kau menyebabkan putra kesayangannya mati. Apa kau menganggap orang seperti itu sebagai ayah? Dia tidak akan pernah menerimamu kembali ke dalam rumahnya. Nim, percayalah padaku."


Saat mereka makan siang bersama Chode, Rin menolak bicara dengan Saran dan jadilah Chode yang malang yang harus jadi sasaran Rin. 

"Kenapa Kepala Desa Klai bersikap sekeras itu sampai ingin membunuh putrinya sendiri, Khun Chode?"

Pfft! Chode sampai bingung harus jawab apa. Dia kan baru tiba, memangnya apa yang terjadi? Saran dengan senang hati menjawabnya untuk Rin.

Kebanyakan wanita yang diculik oleh geng White Tiger, tidak berani melarikan diri karena mereka akan ditembak kalau sampai coba-coba kabur. Makanya para wanita itu harus melayani para bandit itu atau menjadi istri mereka.

Tapi situasi Nim beda. Dia sebenarnya bisa melarikan diri kalau dia mau, tapi dia tidak pernah melakukannya karena dia jatuh cinta pada Tiger Bang.


Rin jelas mendengarkannya dengan baik, tapi dia tetap menolak menatap Saran dan terus menjadikan Chode sebagai sasaran. 

"Jadi karena Nim mencintai suaminya lebih daripada orang tuanya, makanya Kepala Desa Klai marah dan terluka, begitu?"

"Err... haruskah saya pindah tempat?"

"Suaminya adalah bandit yang membunuh dan mencuri dari desanya sendiri. Rumor mengatakan kalau Nim kadang keluar dan mencuri bersama suaminya. Siapapun pasti akan marah memiliki putri atau putra yang seperti itu." Ujar Saran.

"Tapi Mae Noy punya hak untuk merindukan putrinya dan dia selalu menganggap putrinya sebagai putrinya, iya kan, Khun Chode?"

Wkwkwk! Chode benar-benar bingung harus bagaimana. Dia tidak punya pendapat apa-apa, dia tidak mengerti apa-apa. Tapi Rin terus saja mendesaknya yang sebenarnya jelas-jelas ditujukan pada Saran.

"Tapi kau tidak akan berubah pikiran dan akan tetap membantu mendapatkan para wanita itu kembali, iya kan, Khun Chode? Iya kan?" Desak Rin. Bingung, Chode sampai harus memohon pada Saran untuk menjawab Rin.


"Iya, cantik. Aku tidak akan pernah melupakan janjiku apapun yang terjadi."

Saat itulah Rin akhirnya mengalihkan pandangannya ke Saran walaupun mukanya masih jutek abis dan Saran membalasnya dengan senyum manis.

Tapi sekarang ini, Saran meminta 'siapa saja' untuk memanggil Ibu Kepala Desa dan ibu-ibu lain untuk berkumpul dan mendengarkan rencananya demi mendapatkan putri-putri dan keponakan-keponakan mereka. Mereka harus membantunya.

"Siapa saja itu... aku? Haruskah aku yang pergi?" Tanya Chode. Tidak usah, Rin dengan senang hati menawarkan diri lalu beranjak pergi.


Kepala Chode sampai pusing menghadapi kedua pasutri itu. Pasangan lain tidak serumit mereka, apa mereka bakalan bisa bertahan? Dia kan tidak bisa jadi kambing hitam terus-terusan.

Saran santai-santai saja malah. "Makanlah, Khun Chode."


Arun mendatangi Duang untuk mengadukan perbuatan Saran tadi. Bukan cuma menculik Rin, Saran juga membuli warga biasa seperti dirinya. Bagaimana bisa Saran itu jadi sheriff. Lihat saja nanti, dia akan melaporkan hal ini pada pak menteri.

Ngomong-ngomong masalah itu, Jim Lim pernah tanya-tanya ke Nuer saat Nuer mengawasi para pekerja. Nuer bilang kalau Rin bergaul dengan baik dengan para warga desa. Pasti karena itu Saran membawanya pergi bersamanya.

Aneh sekali. Biasanya istri-istri sheriff itu masuk salon kecantikan, tapi Rin malah membantu suaminya menangkap bandit.

Kesal, Duang langsung keluar. Saat Arun menyusulnya, dia mendapati Duang sedang berlinang air mata di halaman. Dia benci tempat ini, gelap, sepi, dan sangat suram.

Arun maklum. Gadis dari ibu kota seperti Duang pasti lebih terbiasa dengan gemerlap kota dan pesta-pesta malam.

"Saran seharusnya tahu lebih daripada siapapun kalau aku tidak bisa tinggal di sini, tapi dia masih saja apatis. Dulu, jika aku ngambek, maka Saran tidak akan tinggal diam. Dia pasti akan segera membawaku pergi dari tempat yang tidak kusukai."

"Kau pergi untuk menikah. Tentu saja dia marah."


"Apa kau tahu gejala punch-drunk? Suatu hari kau terus meninju sampai kau kelelahan dan kehabisan napas. Tapi kemudian kau mencapai titik di mana kau jadi kebal dan rasa sakit itu tidak lagi menjadi halangan. Setelah itu, kau benar-benar akan menjadi petarung sejati."

"Sekarang ini aku mengalami gejala daredevil, membuka toko emas di kota yang penuh bandit. Kalau aku sampai kerampokan, ayahku pasti akan membunuhku."

"Aku menangis setiap malam di tempat ini karena kesepian. Setiap malam, air matamu semakin berkurang, tapi kekuatanku semakin meningkat. Aku harus membawa Saran kembali"

"Apa yang akan kau lakukan selanjutnya? Aku agak takut dengan hatimu. Kuharap kau tidak berpikir untuk melakukan sesuatu terhadap Rin-ku."

"Jangan khawatir. Aku hanya membutuhkan Saran-ku kembali, itu saja. Braralee membantu Saran, yah? Dia menggunakan pekerjaan untuk mempengaruhinya. Baiklah. Kita lihat saja nanti." Geram Duang.


Para ibu-ibu berkumpul untuk mendengarkan rencananya Saran. Dia mengaku bahwa pasukan yang nantinya akan dia bawa ke dalam hutan, kebanyakan adalah para polisi yang belum berpengalaman. Para polisi yang lebih cakap tidak ada yang berani datang kemari.

"Bahkan polisi pun takut pada bandit?"

Saran membenarkan, makanya dia harus punya rencana yang bisa membuat pihaknya selamat. Ibu Kepala Desa dengan senang hati menawarkan bantuannya, katakan saja.

Saran menduga kalau Nim kemungkinan tidak akan berani datang gara-gara takut pada Kepala Desa. Karena itulah, Saran meminta Ibu Kepala Desa untuk pura-pura sakit dan tidur di fasilitas kesehatan.

Lalu setelah itu, ibu-ibu yang lain harus menyebarkan rumor tentang sakitnya Ibu Kepala Desa di pasar hingga berita itu sampai ke markas geng bandit itu.

"Jadi kita akan memancing Nim untuk datang menjengukku?"

"Betul. Begitu Nim datang, anda harus menanyainya tentang letak markas mereka. Begitu kita bisa mendapat lokasi tepatnya, tim kami akan bisa menyerang tepat sasaran dan kesempatan kami untuk menang akan lebih besar."


Dibalik sikap kerasnya, Kepala Desa ternyata diam-diam ikut mendengarkan percakapan mereka sedari tadi.


Saran lagi-lagi menulis sesuatu di beberapa kertas yang kemudian dia origami jadi berbagai macam bentuk. Dia sedang bermain-main dengan mainannya itu saat Rin keluar dan duduk di sampingnya.

Tapi dia tetap tidak mau bicara dengan Saran dan sibuk sendiri menyisir rambutnya, tak peduli biarpun Saran berusaha mengajaknya ngobrol.

"Cuacanya agak suram, yah? Menurutmu apa malam ini akan hujan?"

Rin jelas-jelas mendengarnya dan langsung menatap langit sambil berpikir. Tapi pada akhirnya, dia tetap diam seribu bahasa.

"Baiklah, tidak usah bicara kalau begitu." Saran mencoba melempar salah satu origaminya ke Rin. Tapi Rin langsung mengembalikannya ke meja dengan cuek.


"Aku tidak masalah kalau kau tidak mau bicara. Karena bagaimanapun, aku tahu kalau kau duduk di sini. Kau teman yang baik karena kau selalu mendengarkan dan memahamiku."

Apa Rin tahu apa susahnya menjadi polisi atau militer? Saat mereka merasa prihatin pada orang-orang di sekitar mereka. 

Saran mengaku bahwa kemarin malam, dia sebenarnya sudah minta restu ke ibunya. Saat itulah Rin akhirnya mau mengalihkan pandangannya ke Saran dengan penasaran.

Bersambung ke part 2

Post a Comment

0 Comments