Sinopsis Padiwarada Episode 5 - Part 6


Keesokan harinya, Saran hendak sarapan dan sudah menemukan makanan sudah siap tersaji di sana. Karena ada sambal juga di sana, Saran sontak senang mengira itu masakan Rin dan langsung saja memakannya dengan lahap... tanpa menyadari kalau sebenarnya Mae Sai baru saja selesai masak dan hendak membawakan masakannya ke meja makan bersama Rin.

Tapi setibanya di depan ruang makan, mereka malah melihat Saran sudah makan duluan dan jelas bingung. Siapa yang memasak?


Duang mendadak muncul untuk menjawab pertanyaan mereka. Dialah yang memesan masakan itu dari restoran dan mengirimkannya kemari. Jim Lim langsung ikutan sinis menyindir Rin, wanita pintar tidak seharusnya memasak dan berkeringat di dapur.

"Saran memakan makanan itu dengan senang. Tidak ada bedanya dengan masakanmu."

Rin jelas kesal. "Tak apa, Mae Sai. Biarkan dia makan. Mari kita bawa kembali sup-mu."


Tapi seperti biasanya, Duang menolak melepaskannya begitu saja dan langsung mengejarnya hanya untuk memanas-manasinya. Dia mengklaim kalau rumahnya itu... oh, atau lebih tepatnya rumah mereka berdua, selesai berkat Saran yang mengambil alih semua pekerjaan.

"Inilah wujudmu yang sebenarnya, bukan? Berjuang tiada akhir hanya untuk mendapatkan Saran kembali dan kau tidak akan peduli tentang apa yang orang lain pikirkan." Sinis Rin.

"Tidak benar. Aku melakukan ini demi kau juga. Seperti yang kubilang, orang yang paling cocok denganmu adalah Khun Arunlerk. Dialah yang benar-benar mencintaimu."

"Semua orang egois tidak akan pernah berkata kalau mereka melakukan itu demi diri mereka sendiri. Semua orang egois selalu punya alasan untuk membuat diri mereka kelihatan baik."


Kesal, Duang sontak menarik tirai buatan Rin sambil nyinyir kalau tirai itu gampang terlepas karena tirai itu cuma tirai buatan tangan seorang istri baru.

Lihatlah tirai-tirai di rumahnya, semuanya dibuat oleh para profesional. Dibuat oleh istri sah, siang dan malam, di atas dan di luar ranjang. Tirai-tirai itu tidak akan sobek dengan mudah seperti tirai ini.

"Tirai itu sobek karena kau menariknya dengan paksa, bukan karena masalah jahitannya bagus." Nyinyir Mae Sai.

"Kau orang yang menakutkan. Tidak, kau orang yang tidak tahu malu. Kau bicara tentang ranjang seolah itu sesuatu yang biasa. Kalau kau ingin aku berkompetisi denganmu dalam hal apapun, aku bisa. Tapi kalau kau ingin aku berkompetisi denganmu untuk menjadi orang tidak tahu malu, aku tidak bisa."

Mae Sai langsung cemas mendengarnya. "Anda tidak berpikir untuk menyerah, bukan?" Bisiknya.

"Aku tidak ingin menyakitimu. Aku hanya ingin bilang padamu bahwa makanan enak, kebun bunga, tirai dan bahkan baju, aku bisa mencarikan orang untukku tanpa harus repot-repot menggunakan tenagaku sendiri. Cara yang kau gunakan untuk menggaet hati pria, sebenarnya mudah saja asalkan kau punya uang."

"Aku melakukan semua ini bukan untuk menggaet hati siapapun."

"Cinta yang ada di seluruh rumah ini, aku juga memilikinya sebanyak itu untuk Saran. Kaulah yang tidak pernah memberikan apa yang pernah kuberikan pada Saran. Kau lebih cocok jadi temannya saja. Kau akan tetap seperti itu selamanya." Sinis Duang lalu pergi dengan gaya angkuhnya.


Rin patah hati. Mungkin Duang benar, jika Duang menginginkan Saran sebesar itu, maka dia harus segera membuat keputusan.

"Jangan lemah, Nyonya. Khun Saran lah yang harus membuata keputusan tentang siapa yang akan dia pilih. Selama Khun Saran belum pindah ke rumahnya (Duang), anda lah istri sah-nya. Jadi, jangan menyerah."

Rin sungguh tidak mengerti kenapa dia harus bertemu orang semacam itu. "Aku rindu rumahku."

Baru juga dia berkata seperti itu, tiba-tiba saja terdengar suara teriakan Arun yang mengumumkan kedatangannya dan menuntut dibukakan pintu.

"Seolah anda merapal mantra kangen rumah, lalu datanglah dia." Heran Mae Sai

 

Saran jelas emosi begitu mendengar suara Arun. Saat mereka semua keluar, mereka malah mendapati Arun kali ini datang dengan membawa sebuah mobil mewah yang masih baru dan kinclong. Dia bahkan terang-terangan memamerkan mobil barunya itu pada semua orang. Dia mengendarainya dari Phranakorn sampai ke Paktai loh.

"Khun Saran. Apa kabarmu? Aku belum melihatmu selama beberapa hari." Sinis Arun.

"Aku tidak mau melihatmu sepanjang hidupku. Kukira kau sudah menghilang, kenapa kau kembali?"

"Soalnya mantan istrimu tidak mau pergi. Dia keras kepala meninggalkan stasiun kereta. Jadi bagaimana bisa kau mengharapkanku untuk pergi?"

Khun Ying jelas cemas mendengarnya. Jangan bilang kalau dia juga mau tinggal di sini? Tentu saja tidak... tapi Arun membuka toko emas di kota. Pfft! Dia mati-matian membujuk ayahnya agar dia bisa membuka usaha di sini.


"Astaga. Yang satu menyewa rumah sebelah dan yang satu lagi membuka toko emas. Kenapa mereka keras kepala sekali?" Heran Mae Sai.

Rin juga heran. Bukankah Arun tidak menyukai bisnis dan lebih menyukai pekerjaan yang berhubungan pemerintahan? Apa dia benar-benar mau pindah kemari?

Arun menolak menjawab dan santai saja bagi-bagi kartu nama bisnisnya pada Khun Ying dan Saran. Tapi tentu saja Saran menolaknya mentah-mentah. Dia tidak punya uang untuk membeli emasnya.

"Tidak mau beli yah jangan beli. Tapi hari ini aku akan mengajak semua orang makan-makan di kota. Ayo kita pergi bersama, Khun Ying, Rin, Khun Saran."

"Dengan mobil ini, kau mungkin bukan cuma akan membawa kami keluar untuk makan. Kau mungkin ingin membawa lari istri seseorang kembali ke Phranakorn."

"Oh... kau sendiri loh yang bilang, Khun Saran. Khun Ying, aku tidak mengatakan itu. Putra anda sendiri yang mengatakannya."

"Pria macam apa yang bertingkah sepertimu, dasar cowok mulut besar!"


Kedua pria itu sontak saling serang, tapi untung saja ketiga pembantu sigap memegangi dan menjauhkan mereka. Ibu jelas kesal dibuatnya, bisa-bisanya para pria tampan dan berpendidikan seperti mereka, bertingkah seperti anak kecil. Apa mereka tidak malu?

Anehnya, Saran mendadak mengalah dan meminta maaf, bahkan berbaik hati mengundang Arun masuk walaupun raut wajahnya jelas-jelas masih emosi. Keheranan, Arun santai saja masuk rumah tanpa curiga.


Sherm dan Mae Sai juga heran dengan sikap Saran, mereka sungguh tidak mengerti kenapa Saran mendadak menyerah semudah itu. Tapi bahkan saat semua orang masuk, Saran malah tetap di luar dan menatap mobilnya Arun dengan senyum licik. Nuer heran melihatnya, apa dia tidak akan ikut masuk?

"Kita cari sesuatu untuk bersenang-senang." Ujarnya ambigu.


Di dalam rumah, Rin bertanya-tanya apakah orang tuanya Arun benar-benar mengizinkannya membuka usaha di sini? Arun membenarkan.

Toh pada dasarnya, orang tuanya memang tidak suka dia bekerja di pemerintahan. Makanya waktu dia bilang kalau dia mau buka usaha di sini, orang tuanya langsung setuju dan memberinya modal.

"Tokoku tepat di sebelah pasar. Aku akan tidur di lantai atas."

"Yang satu menyewa rumah sebelah dan yang satu buka toko. Sepertinya kalian tidak ada yang mau mengalah, yah?" Kesal Ibu


Ide liciknya Saran ternyata menyuruh Sherm dan Nuer untuk mengempeskan ban mobilnya Arun. Pfft! Sherm agak cemas. Di antara polisi dan sheriff siapa yang kekuasaannya lebih tinggi? Dia tanya begini karena siapa tahu kalau Arun malah melaporkan mereka ke polisi.

"Oi! Selesaikan saja cepetan sebelum mereka datang." Kesal Nuer.

Saran geram banget sama Arun. "Aku benci orang yang memamerkan kekayaan mereka."


Selesai mengempeskan ban, Nuer dan Sherm lalu menumpahkan err... itu apa yah? Minyak? Ter aspal? Apapun itu sebanyak mungkin di aspal.

Pada saat yang bersamaan, Mae Sai juga sedang sibuk mengemasi barang-barangnya Rin sambil ngedumel kesal menggerutui Arun. Gara-gara Arun nih sampai dia juga harus kerepotan begini.


Arun bersikeras beralasan kalau dia tidak bisa meninggalkan Rin, apalagi sekarang Duanga malah menyewa rumah di sebelah. Dia ini sudah seperti saudara Rin satu-satunya.

"Jika Rin tidak bahagia, saya tidak bisa tidak mencemaskannya. Tolong izinkan saya keluar-masuk rumah ini seperti biasanya. Tolong kasihanilah saya."

Ibu bahkan tak tahu harus menjawab apa saat Saran tiba-tiba datang dan menarik Rin sambil menyatakan kalau dia mau membawa istrinya ke desa sekarang juga.

"Tunggu! Apa-apaan ini?"

"Meeting-ku sudah selesai dan kepala sheriff sudah mengeluarkan persetujuan untuk mengirim tentara untuk membantu kita. Kita harus menghancurkan markasnya White Tiger. Ayo, cepetan."

Rin menolak. "Kau pergi saja sendiri."

"Kau kan sudah janji pada Mae Neung dan Mae Noy untuk membantu membawa kembali putri dan keponakan mereka. Apa kau tidak ingat?"

"Itu..."

"Kenapa kau ragu dan kebanyakan berpikir? Menyebalkan."


Saran langsung saja mengucap sampai jumpa ke Ibu lalu menggotong Rin kayak karung beras. Arun jelas tidak terima melihat itu. Tapi saat dia berusaha mengejar, Mae Sai mendadak muncul menghalanginya.

"Lihatlah, lihatlah. Cinta mereka semakin hari semakin dahsyat. Khun Saran memang pria sejati!"


Nuer pun langsung kagum melihat Saran menggotong istrinya. "Oi, dia menggotongnya di pundak. Aduh, Khun Nu. Gitu dong!"

Dia langsung membantu membukakan pintu mobil untuk Saran dan memegangi pintu itu biar Rin tidak bisa kabur. Rin jelas kesal, apalagi dia melihat kopernya sudah ada di mobil entah kapan dan bagaimana.

"Aku kan sudah bilang kalau aku tidak mau pergi!"

"Kau harus membantuku menangani masalah di desa."

"Nuer!"

"Cepetan, Khun Nu! Cepetan! Cepetan!"


Saran pun pergi tepat saat Arun baru keluar bersama Mae Sai yang terus berusaha menghalanginya. Arun langsung kesal mengadu ke Ibu Saran. Tapi Ibu tidak mau peduli dan langsung masuk lagi.

Kesal, Arun tiba-tiba meminta maaf duluan lalu mendorong Mae Sai dari hadapannya. Tapi saat mau masuk mobil, dia malah mendapati ban-bannya sudah kempes semuanya.

Tak mau menyerah, Arun langsung lari mengejar mobilnya Saran. Di tengah jalan, Nuer dan Sherm dengan sengaja memberi arahan ke Arun untuk lari ke arah mereka.

Arun langsung saja menuruti mereka tanpa curiga. Tapi begitu melewati mereka, kakinya sontak terpelesat dan terjungkal ke aspal. Nuer dan Sherm bahkan langsung menindihnya biar dia tidak bisa bergerak lagi.


Saran terkikik geli mendengar keributan di belakangnya itu. "Dia pantas mendapatkannya. Bagaimana perangkap pencuriku?"

"P'Arunlerk bukan pencuri!"

"Dia berusaha mencuri istriku. Kalau dia bukan pencuri, terus apa? Si cowok mulut besar itu. Kalau ibuku tidak mencegahku, aku pasti sudah menonjok mukanya!"

"Kadang kau bersikap seperti orang dewasa, tapi kadang bersikap seperti anak kecil. Kenapa kau membulinya?"

"Dan bagaimana dengan apa yang dia lakukan padaku? Kau itu sudah menikah. Pria baik macam apa yang mencoba mencuri istri pria lain?"

"Kalau sampai terjadi sesuatu pada P'Arun, aku akan melarikan diri bersamanya. Lihat saja nanti."

"Langkahi dulu mayatku. Ini masalah harga diri pria. Aku tidak akan membiarkan siapapun menginjak-injaknya semudah itu."


"Dan bagaimana dengan perlakuanmu padaku? Aku menyuruhmu untuk tidak menyentuhku. Caramu menggotongku tadi itu... aku malu. Ada orang-orang di rumah dan Ibu juga ada di sana. Bagaimana bisa aku menatap mata mereka sekarang? Semakin aku memikirkannya, semakin aku kesal!"

Rin sontak menghajar dan mencekik Saran dengan ganas dan sontak membuat Saran panik tak bisa mengendalikan mobilnya.

Bersambung ke episode 6

Post a Comment

0 Comments