Sinopsis Padiwarada Episode 3 - Part 6


 

Keesokan harinya, Duang berdandan dengan makeup tebal dan berkata pada dirinya sendiri di cermin. "Kau bilang kau terluka karena aku. Saat kau terluka, kau diam saja. Itulah kau, Saran. Tapi orang seperti aku, tidak akan pernah tinggal diam saat aku terluka."


Saat Rin terbangun, dia sontak shock mendapati Saran lagi-lagi sudah ada di sana sedang memperhatikannya tidur. Triknya Rin mengganjal pintu dengan lemari, gagal total.

"Eh, gila! Kau masuk ke kamarku lagi! Apa lagi sekarang?"

"Harus ada sambal untuk makan malam hari ini."

"Nggak mau."

"Semua orang di keluargamu penuh dengan dusta dan suka mengambil keuntungan."

"Hei! Ngomong yang bener! Dan apa maksudnya keluargaku berbohong padamu?!"

Alih-alih mengkonfrontasinya, Saran memutuskan mengalihkan topik dan mengklaim kalau dia sudah melaksanakan tugasnya sebagai suami dengan menyerahkan seluruh gajinya pada Rin. Lalu bagaimana dengan Rin? Apa dia sudah melaksanakan tugasnya sebagai istri?


Loh, Saran sendiri kan yang bilang kalau dia tidak suka? Dia bilang kalau dia cuma menyukai ibunya. Tapi berhubung beliau tidak ada di sini, maka Rin tidak perlu melakukan apapun.

"Walaupun aku tidak menyukainya, tapi aku tetap harus menghormatinya. Karena aku sudah melaksanakan tugasku, maka kau harus melaksanakan tugasmu. Baju dan makanan. Harus ada aturan di rumah ini. Semua itu adalah tugas istri. Karena itulah harus ada sambal saat makan malam nanti. Jika tidak, akan ada masalah." Saran lalu keluar tanpa mempedulikan protesnya Rin sama sekali.


Arun datang pagi-pagi ke rumah Saran dan langsung teriak-teriak menuntut siapapun untuk membukakan pintu untuknya. Sherm sampai keheranan melihatnya sudah datang sepagi ini.

"Aku datang untuk melindungi wanita yang kucintai. Aku datang kemari bukan untuk liburan. Aku mau tahu segala sesuatu tentang situasi tempat Rin tinggal, mulai dari pagi sampai malam. Aku harus melihat dengan mataku sendiri tentang kehidupannya di sini."


Terpaksalah Sherm mempersilahkannya masuk dan jadilah keempat orang itu makan bersama lagi. Tapi Duang malah menyatakan kalau dia tidak bisa kembali ke kota sekarang.

"Lihatlah dia, dia mau tinggal untuk selamanya." Sinis Mae Sai keras-keras yang jelas saja langsung mendapat tatapan tajam dari semua orang.

Duang ngotot mau tinggal untuk sementara waktu. Kapanpun Arun kembali, saat itulah dia akan pulang bersama Arun. Mungkin satu mingguan, iya kan Arun? Tanyanya pada Arun dengan nada penuh arti. Arun setuju-setuju saja.

Rin dan Saran bahkan tidak mengatakan apapun, tapi Duang langsung saja menganggap diamnya mereka sebagai persetujuan dan dia berterima kasih karenanya. 

Tapi Arun penasaran, dia dengar kalau Duang punya masalah dengan kehidupan pernikahannya. Memangnya apa yang terjadi?


Duang mengklaim kalau pernikahannya sama seperti Saran dan Rin, mereka menikah hanya karena tugas. Akan tetapi... berapa lama 'tugas itu' bisa mengikat kehidupan pasutri? Tanyanya dengan penuh arti.

Pokoknya kali ini dia tidak ingin melihat suaminya sama sekali. Dia hanya ingin pergi jauh... sejauh mungkin dari kehidupan pernikahannya.

"Melarikan diri selamanya? Melarikan diri dari perintah orang tuamu? Melarikan diri dari masyarakat yang mengetahui pernikahan kalian? Apa kau benar-benar bisa melarikan diri?" Heran Rin

Tentu saja Duang sudah memikirkan berbagai pertanyaan yang Rin ajukan sekarang. Dia bahkan tidak bisa tidur beberapa malam gara-gara itu.

Tapi sekarang dia sudah memutuskan untuk menjalani hidupnya sesuka hatinya. Kalau dia menuruti keinginan orang tuanya atau masyarakat dan pada akhirnya hidupnya tidak bahagia, siapa yang mau bertanggung jawab?


Arun setuju dengan pilihan Duang. Kita hidup dan mati cuma sekali, jadi memilih kebahagiaan diri sendiri adalah pilihan yang tepat. Berhubungan Duang dan Arun sudah memutuskan apa yang terbaik bagi diri mereka masing-masing, Duang penasaran apa pilihan Rin dan Saran?

"Kalian memilih tugas yang membosankan dan penuh penderitaan, atau memilih kebahagiaan? Kebahagiaan yang hanya bisa kita dapatkan sekali seumur hidup." Tanyanya.

Tapi Saran dan Rin sama-sama tak punya jawaban dan hanya saling berpandangan dalam diam.


Chode datang untuk menyampaikan pesan Ibunya Saran bahwa lusa adalah hari baik bagi Saran dan Rin menandatangani akta pernikahan mereka. Tapi Saran malah galau mendengarnya.

"Kenapa ekspresimu begitu? Pengantinmu sangat cantik. Cepatlah ikat dia lebih dekat padamu."

Saran penasaran. Chode kan sudah menikah. Bagaimana perasaannya saat dia menandatangani saertifikat pernikahannya? Apakah hukum dan tradisi benar-benar bisa mengikat pasangan untuk saling mencintai?

Tentu saja tidak, tapi semua itu berguna sebagai penjamin. Penjamin bahwa pasangan akan bertahan menghadapi dan menyelesaikan masalah. Penjamin yang akan membuat cinta semakin besar setiap hari.


Di rumah, Rin meyakinkan Arun untuk tidak mencemaskannya. Sudah sebulan dia tinggal di sini. Yang dilakukannya cuma hal-hal remeh semacam berkebun, masak dan menjahit baju. Dia sama sekali tidak menderita kok.

"Lalu bagaimana dengan si sheriff itu? Satu bulan tidak berarti apapun, Rin."

"Lalu apa kau akan menjagaku sepanjang hidupmu?"

"Tentu saja. Jika kau memberiku izin."

"Izin apa?"
 

Tapi Arun malah mendadak jadi gugup sampai speechless lalu buru-buru kabur. Dia sungguh tidak mengerti dengan dirinya sendiri, kenapa dia tidak bisa menyatakan perasaannya.

"Jantungku berdebar kencang. Tarik napas-keluarkan! Tarik napas-keluarkan!" Entah apa yang dia pikirkan, tapi sepertinya dia memutuskan melakukan sesuatu untuk menenangkan jantungnya yang dag-dig-dug.


Saran baru pulang saat dia mendapati Duang sudah menunggunya di depan dan langsung menuntut pendapat Saran tentang pembicaraan mereka tadi pagi. Saran dan Rin kan belum menandatangani akta pernikahan.

Dia tahu kalau mereka belum melakukan hal itu. Dia tahu karena dia melihat mereka tidur di kamar yang berbeda. Saran belum mencintai Rin. 

Tak tahu harus bilang apa, Saran buru-buru menghindar dengan alasan mau istirahat yang jelas saja membuat Duang kesal.


Saran tengah latihan tinju saat Arun datang dengan langkah sempoyongan habis minum-minum dan langsung blak-blakan melabraknya. "Kau masih mencintai mantan pacarmu, kan? Lalu apa yang akan kau lakukan tentang Rin?"

"Kau mabuk."

"Kau dan aku... mari kita adu jotos. Siapapun yang menang, akan mendapatkan Rin."

"Aku tidak berkelahi dengan orang mabuk."

"Tapi aku gangster. Braralee mu adalah Rin-ku! Aku akan membawanya bersamaku."

"Kau sudah mabuk. Kembalilah ke hotelmu."

"Duangsawat sedang menunggumu. Kasihan dia. Kau harus kembali padanya dan menjaganya dan kembalikan Rin padaku. Kita selesaikan kekacauan ini dengan duel secara jantan."


Arun sontak melayangkan tinju mabuknya ke Saran. Tapi tentu saja Saran berhasil menghindarinya dengan mudah lalu mendorong Arun ke tanah. Tak menyerah begitu saja, Arun terus berusaha menyerang dengan sempoyongan tanpa hasil.

"Kau bagus juga. Tunggu dan lihat saja gerakan pertamaku. Jurus panah bayangan!" Arun sontak maju menyerang Saran... dan langsung tersungkur ke tanah. Wkwkwk!

"Jurus panah bayangan? Lebih seperti jurus nyium tanah."

Arun pantang mundur dan terus berusaha menyerang dengan berbagai macam jurus, tapi ujung-ujungnya dia sendiri yang terjengkang ke tanah.


Kesal, dia mencoba melayangkan tinju mautnya, tapi ujung-ujungnya mukanya sendiri yang kena tinjunya Saran padahal Saran cuma mengangkat tangannya tanpa benar-benar menyerang. Arun pun KO. Rin dan Nuer baru tiba saat itu. Rin jelas kesal dan langsung memarahi Saran.

Saran tidak terima. "Dia duluan yang ngajak berkelahi. Dan dia bilang kalau dia mencintaimu di hadapanku! Dan bagaimana denganmu? Apa kau mencintainya?"

"Aku..."

"Aku tidak tahu tentang kalian berdua. Tapi dia menggangguku. Ini tidak benar. Dia juga bilang kalau dia mau membawamu bersamanya! Kau mau pergi bersamanya, kan? Pergi saja sana!" Kesal Saran lalu pergi.


Duang yang menguping dari balik pohon jelas senang dan langsung pergi menyusul Saran. "Kau marah pada Arunlerk, yah? Aku sudah sangat lama mengenalmu. Aku tahu bagaimana perasaanmu."

"Gila! Aku tidak bisa berhenti merasa kesal."

Duang dengan sengaja mengompori Saran dengan memberitahunya bahwa berhubung sepupunya sedang tidak ada di rumah, jadi dia mungkin akan pergi ke Chiang Mai. Dan berhubung Arun ingin membawa Rin kembali, sebaiknya Saran jangan menghalangi mereka.

"Itu dia. Dia itu gila."

"Pikirkan baik-baik. Pria gila ini tidak akan membuatmu merasa buruk terhadap Braralee. Dia tinggal bersama pria tanpa perasaan seperti ini, dia pasti tidak bahagia."


"Siapa bilang aku tidak punya perasaan?"

"Karena hatimu bersamaku, dan hatiku bersamamu." Ucap Duang sambil menggenggam tangan Saran mesra.

"Kau sangat egois sejak kita masih kecil."

"Ran, gajimu sebagai sheriff sangat kecil dan sangat berbahaya. Berhentilah dan ikutlah bersamaku ke Chiang Mai. Mari kita habiskan hidup kita di sana bersama-sama. Bukankah itu yang kau inginkan?"

Saran sontak galau mendengarnya, apalagi saat dia teringat betapa tidak bahagianya dia saat menikah dengan wanita lain dan bukan dengan Duang.


Sementara itu, Rin membawa Arun ke klinik dan termenung sedih teringat ucapan kasar Saran padanya tadi.

Bersambung ke episode 4

Post a Comment

0 Comments