Jee mengantarkan Khun Ying ke sebuah kuil karena dia ingin tinggal di sini dan menjauh dari segalanya. Jee ragu meninggalkannya sendirian di sini. Bagaimana kalau dia tinggal dan menemani Khun Ying di sini?
"Kau tidak perlu mengkhawatirkan ibu. Ibu berniat untuk bermeditasi. Kau juga harus memulai hidup baru. Jika nanti pengadilan memberi putusan, maka kau harus belajar hidup tanpa ibu."
"Tidak. Aku tidak akan membiarkan ibu dihukum. Kita harus bersama selamanya, Bu."
"Jee, kau harus belajar untuk menerima kenyataan. Jika pengadilan memutuskan aku bersalah, bisakah kau memulai dari awal dengan Sathit?"
"Ibu tahu sendiri apa yang kulakukan pada kekasihnya. Hubungan kami mustahil."
"Tapi kau mencintainya, kan? Kenapa kau tidak beritahu dia bahwa semua itu kecelakaan dan bukan kesengajaan? Jika kau tidak dibius, kejadian itu tidak akan pernah terjadi."
"Jika bukan obat bius itu, sekarang dia pasti sudah menikah dengan kekasihnya dan kami tidak akan pernah bertemu. Bu, segalanya ditakdirkan salah. Hubungan kami juga sama."
Khun Ying meyakinkan Jee bahwa walaupun semua itu adalah kebahagiaan di atas kesedihan, tapi itu cukup berharga.
Contoh saja mereka berdua. Jika kasus ini tak pernah terjadi, mereka berdua tidak akan pernah bicara baik-baik seperti ini.
"Ingatlah Jee, penderitaan hanyalah ujian kehidupan. Jika kita bisa melewatinya, maka akan ada ganjaran yang menanti."
Jee bertanya-tanya, apakah Khun Ying berpikir bahwa jika Khun Ying tidak pernah memilikinya, hidupnya mungkin akan lebih baik daripada sekarang?
Justru Khun Ying berpikir bahwa jika ia tidak memiliki Jee dalam hidup ini, ia pasti tidak akan punya kesempatan untuk hidup sampai hari ini. Jee lah yang membuat hidupnya memiliki tujuan dan memperjuangkannya.
"Suatu hari saat kau menjadi seorang ibu, kau akan memahamiku. Walaupun sulit, tapi seorang anak sangatlah penting dalam hidup seorang ibu. Ibu tidak pernah menyesal melahirkanmu. Kau sangat berarti dalam hidup ibu."
Jee terharu mendengarnya. "Aku mencintaimu, Bu. Dan aku sangat bangga padamu. Aku ingin memiliki setengah kekuatan Ibu."
Jane benar-benar perhatian pada Thit. Sesampainya di rumah Thit, dia memapah Thit sampai ke sofa dan menyatakan bahwa dia juga akan mengantarkan Thit pulang-pergi selama Thit belum bisa menyetir sendiri.
Thit tak enak merepotkan Jane, tapi tentu saja Jane tidak merasa keberatan sama sekali. Dia bahkan sudah membelikan ponsel baru untuk Thit dan menjadikan nomor teleponnya sendiri sebagai speed dial biar Thit bisa segera meneleponnya kalau ada hal penting.
"Tidak apa-apa, Jane. Aku jadi sungkan."
"Bisakah kau menghapus kata sungkan? Kau banyak mengajariku tentang pekerjaan. Kenapa aku tidak boleh melakukan sesuatu seperti ini untukmu? Ini."
Tak enak menolak, Thit terpaksa menerimanya. Jane lalu mengeluarkan semua obatnya Thit, sama sekali tidak menyadari ketidaknyamanan Thit padanya.
Diam-diam Thit mengecek daftar kontaknya. Begitu menemukan kontak yang dicarinya, dia langsung beranjak bangkit mau naik ke kamarnya dan berusaha menyuruh Jane pulang saja.
Tapi Jane sama sekali tidak ngeh dengan maksudnya, malah bersikeras mau mengantarkan Thit ke atas dan menolak meninggalkan Thit sendirian.
Bagaimana bisa dia meninggalkan Thit sendirian, Thit bahkan belum bisa jalan dengan benar. Makanya dia akan tetap tinggal untuk menjaga Thit. Untunglah tepat saat itu juga, Piak datang.
"Ah, kau datang tepat waktu. Baru saja aku mau meneleponmu." Ujar Thit sambil diam-diam memberinya kode dengan tatapan matanya untuk membantunya menyingkirkan Jane. "Kau datang untuk menemaniku makanya kau terlambat, kan?"
Oh, Piak mengerti maksudnya. "Jangan khawatir, P'Thit. Aku datang untuk merawatmu."
Piak meyakinkan Jane untuk tidak mengkhawatirkan Thit. Mereka berdua bisa saling menjaga satu sama lain. Terpaksalah Jane akhirnya pamit pergi.
Begitu mereka sendirian, Piak langsung kesal memprotes Thit. "Kau menggunakanku sebagai tameng? Cewek jaman sekarang berani banget, kau hebat juga."
Saat Piak mau mengambil minum di dapur, tiba-tiba dia melihat sebotol selai yang kontan membuatnya teringat akan kenangan indahnya bersama Chaiyan.
Flashback.
Suatu hari, Piak kesulitan membuka tutup botol selai. Chaiyan tiba-tiba memluknya dari belakang dengan mesra hanya untuk membantunya membukakan tutup botol selai.
"Jika dalam hidup ini aku tidak ada, apa kau akan mati kelaparan?" Goda Chaiyan.
"Aku punya pembuka kaleng di sini." Balas Piak sambil memberinya hadiah kcupan manis di pipi. Tapi saat Chaiyan mau mendekat untuk menc**mnya, Piak langsung usil mengoles selai ke bibirnya. Jadilah mereka kejar-kejaran keliling dapur dengan penuh kegembiraan.
Flashback end.
Sakit hati dengan kenangan itu, Piak sinis kalau dia pasti bisa membuka tutup botol itu sendiri. Tapi tetap saja dia kesulitan membukanya sampai jadi kesal sendiri. Thit cemas melihatnya, ada apa dengannya?
"Botol bodoh ini menyiksaku!" Dia terus berusaha membukanya dengan kesal, tapi tetap saja gagal.
Thit cepat-cepat menghentikannya dan membantunya membuka botol selai itu. Piak sontak menangis karenanya. Kalau Chaiyan melihatnya, dia pasti akan menertawainya. Sesuatu seperti ini saja Piak tidak bisa melakukannya sendiri. Lalu bagaimana bisa dia hidup tanpa Chaiyan.
"P'Thit, aku takut. Aku takut tidak bisa membesarkan anakku seorang diri. Jika dia punya istri baru dan seorang anak, bagaimana aku akan hidup?"
"Aku ada di sini. Kau punya aku. Kau tidak perlu takut apapun."
Tapi bahkan sesuatu seperti ini saja Piak tidak bisa melakukannya. Dia tidak bisa hidup tanpan Chaiyan. Chaiyan jahat sekali. Chaiyan membuatnya tidak bisa hidup tanpanya lalu pergi meninggalkannya
"Aku baru menyadari bahwa ketergantungan bisa membunuh seseorang. Tapi kenapa dia begitu jahat? Apa pernah, semenit saja dia tidak lupa bahwa ada seseorang yang sangat mencintainya di sini?"
Ucapannya itu membuat Thit sedih memikirkan perasaannya sendiri terhadap Jee.
Jee pergi menemui Bibi Wadee untuk mengembalikan akta tanahnya. Bibi Wadee menolak karena ia tidak mampu membeli tanah ini kembali. Tapi Jee meyakinkan bahwa Bibi Wadee tidak perlu membelinya kembali.
"Tanah ini dilelang karena Bibi tidak memiliki putri yang bisa meringankan beban Bibi. Aku mengambilnya dari Bibi... aku hanya ingin mengkompensasi dengan cara melakukan tugas ini demi putri Bibi. Itu saja."
Jee memohon agar Bibi Wadee tetap tinggal di sini dan jangan pindah ke mana-mana. Tapi Bibi Wadee bersikeras menolak akta tanah ini, ini terlalu berlebihan untuknya. Jika Jee ingin mengkompensasi, maka Bibi Wadee tidak menginginkan tanah atau rumah ini.
"Aku lebih menginginkan seorang putri. Jika kau mau jadi putriku, maka itu bisa membantu Tiw."
Jee tercengang mendengarnya. "Bibi tidak membenciku?"
"Keluarga kita sama-sama tidak memiliki siapapun lagi. Aku juga sangat kesepian, makanya aku ingin memiliki seorang putri. Maukah kau menjadi putri ibu ini?"
Terharu, Jee langsung menjawabnya dengan memluk Bibi Wadee dan bersujud hormat padanya. "Terima kasih karena Bibi begitu baik padaku."
Thit gelisah tidak bisa tidur. Apalagi saat dia melihat ke sisi sebelah yang membuatnya merindukan Jee. Tapi kemudian dia teringat ucapan Piak bahwa Jee hamil dengan Chaiyan yang sontak membuatnya kesal dan semakin gelisah.
Keesokan harinya, Jane mengantarkan Thit ke rumah Bibi Wadee yang menyuruhnya untuk tinggal di sini dulu selama masa pemulihan agar Bibi Wadee bisa merawatnya, tidak baik kalau Thit sendirian di rumahnya.
"Aku jadi membebani Bibi."
"Kenapa kau sungkan? Anggap saja kau menemaniku di sini. Duduklah."
Kalau begitu, Jane akan memindahkan barang-barangnya Thit ke kamarnya. Thit lagi-lagi tak enak dan berusaha menolak bantuannya, tapi Jane bersikeras mau membantunya lalu cepat-cepat naik untuk menyiapkan kamarnya Thit.
"Sepertinya Nong Jane sangat mengkhawatirkanmu makanya dia merawatmu dengan baik."
"Bi, sebenarnya aku tinggal di sini itu cuma alasan."
"Jadi kau tidak suka seseorang memanjakanmu?" Goda Bibi Wadee.
Canggung, Thit pun cepat-cepat pergi. Bibi prihatin melihatnya. "Orang yang ingin kau lihat tidak berani datang. Tapi orang yang tidak ingin kau lihat, kau malah tidak berani menolaknya. Sampai kapan kau akan terus bungkam?"
Jane lalu menemani Thit jalan-jalan. Menurutnya bagus juga ganti suasana tempat tinggal, apalagi tempat ini rindang dan ada banyak tempat untuk jalan-jalan.
Tiba-tiba anak-anak berlarian melewatinya dengan sangat cepat. Thit penasaran mereka mau ke mana?
"Cari uang!" Teriak anak-anak.
"Uang? Uang dari mana?"
Ternyata anak-anak itu disuruh Chaiyan untuk mencuci mobilnya dengan imbalan uang. Dia ada di sana untuk mengantarkan Jee yang memutuskan untuk tinggal di rumah Guru Arie.
Saat Jee keluar, Chaiyan langsung menyuruh Jee berdiri di belakangnya lalu menyerang anak-anak itu dengan semprotan air. Jadilah mereka semua perang main air dengan penuh kegembiraan.
Thit yang penasaran, cepat-cepat pergi menyusul anak-anak itu, tapi malah menemukan Jee sedang bersama Chaiyan. Saat anak-anak menyerang balik, Jee sontak mundur... tepat mengenai Thit.
apakah sathit akan tau kebenarannya kalo kecelakaan yang merenggut nyawa tunangannya itu dikarenakan jee sedang dibius?? ahhh makin penasaran dan sebentar lagi kelar. tx mba sinopsisnya
3 Comments
apakah sathit akan tau kebenarannya kalo kecelakaan yang merenggut nyawa tunangannya itu dikarenakan jee sedang dibius?? ahhh makin penasaran dan sebentar lagi kelar.
ReplyDeletetx mba sinopsisnya
Lanjut lanjut truz mb....sampai end
ReplyDeleteHeemmm nggak sabar dengan lanjutannya...bagaimana akhirnya... Semangaaatt min
ReplyDeleteHai, terima kasih atas komentarnya, dan maaf kalau komentarnya tidak langsung muncul ya, karena semua komentar akan dimoderasi demi menghindari spam