Sinopsis Kleun Cheewit Episode 7 - 4

 Sinopsis Kleun Cheewit Episode 7 - 4


Malas mendengarkan ocehan Pim, Chaiyan langsung pergi untuk mencari Jee dan meminta Piak untuk membereskan masalah di sini.

Piak jelas tidak terima, seharusnya yang Chaiyan pedulikan itu Pim dan bukannya si cewek nakal itu. Kalau dia tidak datang, seharusnya dia dipecat saja. Jangan bias hanya karena kegilaannya pada wanita itu.

"Kaulah yang bias. Jika tidak, kau pasti akan khawatir apakah Jee akan terluka atau apakah terjadi sesuatu padanya."

"Chaiyan!"

"Piak! Jika kali ini sampai terjadi sesuatu pada Jee, aku tidak tahu apakah kita bisa bertanggung jawab sepenuhnya."

Chaiyan langsung pergi meninggalkan Piak yang jelas tambah kesal dengan sikapnya. Dia sungguh tidak mengerti kenapa mereka yang harus bertanggung jawab atas hidup Jee?


Saat Jee siuman, dia mendapati dirinya berada di sebuah rumah asing dan langsung teringat kembali kilasan-kilasan kejadian hari ini, mulai dari saat dia diculik para anak buahnya Sitta hingga saat Sitta berusaha memperk**anya.


Ternyata waktu itu dia berhasil melarikan diri dari Sitta dengan cara pura-pura merayunya dan meminta Sitta untuk memberinya waktu untuk bersiap-siap dulu, dia ingin memberi kejutan istimewa untuk Sitta.


Sitta mempercayainya begitu saja. Tapi begitu Jee masuk kamar mandi, diam-diam dia membuka jendela dan kabur lewat sana. Dan begitulah bagaimana kemudian dia bertemu Thit.


Sementara itu, Thit meminjam ponsel salah satu warga untuk menelepon Way, tapi tidak diangkat. Tapi dia meminta Bibi untuk memberitahunya jika nanti Way menelepon balik.

Dia sedang melampiaskan frustasi dengan melempar bebatuan ke laut saat Jee datang. Thit langsung kesal menyuruh Jee enyah dari hadapannya.

Tapi jika Jee sampai memberitahu seseorang tentang tempat ini dan mempengaruhi warga, Thit bersumpah akan membongkar rahasia busuknya Jee dengan Sitta.

"Aku tidak... Aku tidak datang untuk mengekspos siapapun. Aku hanya ingin mengucap terima kasih. Terima kasih karena telah menyelamatkan nyawaku."

"Aku tidak menyelamatkanmu. Aku melakukannya... bukan karena aku ingin membantumu. Aku hanya tidak mau jadi pembunuh yang bertanggung jawab terhadap nyawa seseorang."


"Tapi jika aku mati, maka itu adalah kecelakaan. Bukan pembunuhan ataupun kesengajaan."

Thit langsung terdiam mendengarnya, teringat betapa takutnya dia saat dia berusaha menyelamatkan Jee.

"Dan kau juga pasti tak ingin aku mati. Sekarang kau tahu kan bagaimana rasanya menyebabkan kematian seseorang secara tak sengaja?"

"Aku tidak sepertimu!"

"Bagaimana bisa tidak? Kita sama-sama manusia. Saat kita melihat seseorang yang hendak meninggal dunia di hadapan kita, kita pasti akan shock dan hampir gila. Dan saat kita tidak bisa menyelamatkan nyawa mereka, kita pasti berharap yang mati adalah kita."


"Maksudmu kau lebih ingin mati sendiri daripada membunuh Tiw?"

"Aku hanya ingin bilang bahwa terkadang kita tidak sengaja membunuh seseorang. Siapapun pasti akan menyesal saat kecelakaan terjadi."

"Kecelakaan tidak bisa dijadikan sebagai alasan. Jika seseorang sungguh-sungguh menyesal, mereka tidak akan melarikan diri dari tanggung jawab seperti ini!" Kesal Thit lalu pergi.


Saat dia kembali, Bibi pemilik rumah sudah cemas mencarinya. Tapi Bibi penasaran, apa wanita itu pacarnya? Thit sontak menyangkal keras. Dia tidak mungkin pacaran dengan wanita semacam itu, mereka tidak punya hubungan apapun.

Bibi lalu memberinya obat demam. Ini untuk Jee, soalnya waktu Bibi mengganti baju Jee tadi, Bibi merasa bdannya agak hangat. Thit menolak, sebentar lagi juga wanita itu akan pergi. Tapi Bibi tidak peduli dan tetap memaksanya untuk menerima obat itu untuk jaga-jaga.


Teringat ucapan Thit tadi, Jee kontan menangis dan menyalahkan dirinya sendiri karena masih hidup, seharusnya dia mati saja agar bisa membalas dosanya pada Tiw.

 

Sitta ditelepon anak buahnya yang telah mengangkat mobil itu dari dasar sungai dan melapor bahwa Thit dan Jee tidak ada di dalamnya. Jee pasti selamat.

Sitta geram memperingatkan mereka untuk menemukan Jee dan kedua pria yang menerobos masuk ke tempatnya dengan cara apapun, bahkan sekalipun mereka harus menjungkirbalikkan setiap bebatuan di pulau ini.

"Jeerawat! Kau tidak akan bisa lari dariku!"


Di tempat lain, Jade dan Dao pergi mencari Nenek Jan. Jade berusaha bertanya pada para warga, tapi tak ada seorangpun yang pernah melihat Nenek Jan. Dao jadi berpikir kalau Nenek Jan mungkin tidak ada di sini, mungkin ia cuma pernah lewat saja.

"Sayang sekali kita tidak bisa mengetahui di mana tepatnya Nenek Jan berada. Tempat ini terlalu luas. Jika tidak, kita pasti bisa menemukan Nenek Jan dengan mudah."

Jade akan coba cari lagi. Siapa tahu mereka melewatkan informasi penting. Dia lalu mengambil peta yang berada di bawah sebuah kardus dan tak sengaja membuat kardus itu terjatuh dan membuat kertas-kertas di dalamnya berhamburan.


Kertas-kertas itu kontan menarik perhatian Dao, karena semuanya dilipat jadi pesawat kertas dengan disertai pesan harapan yang tertulis di atasnya.

Jelas saja semua itu langsung mengingatkan Dao pada Jee dan ucapannya tentang seseorang yang menyuruhnya untuk menulis harapannya di pesawat kertas. Jade mengaku kalau dia melipat kertas-kertas itu sendiri. Dia berniat memberikannya pada Jee.


"Sejujurnya ini hanya kepercayaan masa kecilku. Jika aku melempar pesawatnya dan membuat harapan, maka pesawat manapun yang mencapai targetku, maka harapanku yang tertulis di pesawat itu akan menjadi kenyataan."

"Jadi kau yang memberitahu Jee? Jee juga melakukan ini."

Jade jelas senang mendengarnya. "Sungguh? Apa kau bercanda? Jee mempercayai apa yang kukatakan?"

"Jadi kau melipat pesawat kertas ini untuk Jee?"

"Iya. Aku hanya ingin membuat Khun Jee bahagia. Makanya aku membuat doa-doa ini untuk Nenek Jan." Aku Jade dengan malu-malu... tanpa sama sekali menyadari kekecewaan Dao.

Tapi sekarang Jade merasa pesawat kertas ini sudah tidak berguna karena dia bertekad untuk menemukan Nenek Jan untuk Jee secepat mungkin. Karena inilah yang pastinya akan membuat Jee sangat bahagia.


Jade lalu keluar lagi untuk melanjutkan pencariannya. Teringat dengan pesawat kertas yang pernah Jade selipkan di dalam buku, Dao patah hati menyadari kalau orang yang ingin Jade lihat setiap hari ternyata Jee.


Bibi memanggil Thit untuk makan. Tapi di mana Jee? Tanya Bibi. Thit sinis, mungkin Jee sudah menemukan jalan untuk meninggalkan desa ini.

Tapi tiba-tiba terdengar suara teriakan seorang gadis. "Tolong! Tolong! Seseorang pingsan!"

Thit dan Bibi sontak melesat keluar dengan cemas, tapi malah mendapati Jee yang berjalan lemah dengan dipapah seorang gadis remaja.

Melihat Thit di sana, Jee langsung melepaskan diri dari gadis itu dan bersikeras untuk jalan sendiri. Tapi baru berjalan selangkah, Jee langsung terjatuh lemas sampai membuat Bibi khawatir.


Walaupun kesal tapi Thit langsung mengambil alih keadaan lalu membopong Jee. Jee menolak dan berusaha melawan, tapi Thit langsung mengguncangnya dengan kasar dan memperingatkan Jee untuk tidak menyusahkan warga desa. Jee akhirnya diam dan membiarkan Thit membopongnya.


Hmm... kelihatannya romantis yah, tapi begitu sampai rumah, Thit langsung melempar Jee ke kasur lalu melemparkan obat demam itu padanya.

"Minum obatnya kalau kau tidak mau terserang pneumonia."

Tapi Jee diam saja sampai membuat Thit makin gregetan. Apa Jee ingin dia menyuapinya? Jee biasa dimanjakan para pria, kan?


"Yang pasti bukan (dimanja) darimu. Bukankah kau bilang kalau kau tidak mau membantuku. Lalu kenapa kau memaksakan diri?"

"Hei! Apa kau mengejekku?"

"Karena aku setuju denganmu. Seseorang yang berhati dingin, tidak pantas mendapatkan belas kasihan ataupun simpati. Jangan memaksakan dirimu untuk melakukan apapun untukku. Jika aku mati, maka aku tidak akan menyalahkanmu. Kau masih baik. Orang baik yang belum pernah ternoda"

"Bagus kau tahu. Mulai sekarang, lakukan apapun yang kau inginkan dan jangan pernah berpikir kalau aku akan menaruh perhatian atau memanjakanmu seperti orang lain yang terjatuh dalam perangkapmu!"


Dao melihat Jade benar-benar berusaha keras bertanya kesana-kemari pada setiap pedagang di pasar. Tapi tetap saja hasilnya nihil sampai dia kecapekan sendiri. Walaupun kecewa mengetahui Jade ternyata menyukai Jee, tapi Dao sungguh berterima kasih padanya atas apa yang Jade lakukan demi Jee.

"Khun Jee juga melakukan banyak hal demi membuat orang lain bahagia. Makanya aku ingin melakukan sesuatu untuknya. Itu saja."

Penasaran, Dao langsung tanya blak-blakan. "Khun Jade, kau menyukai Jee?"

Jade sampai tersedak saking kagetnya, tapi kemudian dia tersipu malu mengakuinya. Dia bahkan ingin menanyakan pendapat Dao tentang apakah Jee juga menyukainya.

Tapi Dao langsung menghentikannya sebelum dia sempat mengatakan apapun, dia menolak berpendapat karena dia tidak punya hak untuk memutuskan apapun demi siapapun.

"Baiklah. Kalau begitu, anggap saja kau. Apa kau akan menyukai pria sepertiku?"


Dao cuma diam menatapnya dengan sedih, tapi itumalah membuat Jade jadi berpikir kalau Dao tidak menyukainya. 

Tepat saat itu juga, ponselnya Dao berbunyi dari Suki yang memberinya kabar buruk: Jee menghilang. Dao dan Jade kontan cemas mendengarnya.

Bersambung ke part 5

Post a Comment

2 Comments

Hai, terima kasih atas komentarnya, dan maaf kalau komentarnya tidak langsung muncul ya, karena semua komentar akan dimoderasi demi menghindari spam