Sinopsis Kleun Cheewit Episode 6 - 4

Sinopsis Kleun Cheewit Episode 6 - 4

 

Anak-anak kontan cemas. Jade pun langsung beraksi untuk menyelamatkan Jee. Tepat saat itu juga, Bibi Wadee baru pulang dari pasar dan langsung ikut membantu.


Thit datang tak lama kemudian, tepat saat dia melihat seorang wanita berjalan ke jemuran... dengan memakai bajunya Tiw.

Thit tercengang melihatnya. Perlahan dia mendekati wanita itu lalu memanggilnya. "Tiw!"

 

Tapi betapa kagetnya dia saat wanita itu menoleh dan ternyata dia Jee. Thit jelas marah, bukankah dia sudah memperingatkan Jee untuk tidak menyentuh barang-barangnya Tiw lagi?

Dengan tak enak hati, Jee terbata-bata meminta maaf dan menjelaskan kalau dia tidak sengaja. Tapi Thit tidak percaya dan menuduh Jee pasti sengaja. Apa melakukan semua ini, menyenangkan baginya?

Dia bahkan langsung berusaha menarik pakaian itu dengan kasar. Jee kontan menampar Thit lalu mengambil pakaiannya sendiri dari jemuran dengan kesal. Tapi sebelum dia sempat pergi, Thit lagi-lagi memperingatkannya untuk berhenti mengganggu Bibi Wadee.

Bibi Wadee dan Jade melihat mereka saat itu. Bibi Wadee berusaha menjelaskan kenapa dia meminjami Jee pakaian ganti dan meminta Thit untuk mengerti. Tapi Thit tidak mau.


Setelah Jee dan Jade ganti baju, Bibi Wadee dan Thit melihat kedua orang itu hendak berjalan ke arah mereka. 

Tapi kemudian Jade melihat sesuatu di rambut Jee. Sementara kedua orang itu berhenti di jembatan, Bibi Wadee kontan mengomeli Thit. Kapan Thit akan berhenti membenci Jee.

"Saat dia mengakui kesalahannya."

"Kalau kau tidak belajar untuk mengikhlaskannya, kaulah yang akan menderita."

"Aku rela menderita. Aku tidak ingin melihatnya bahagia. Dia harus membayar perbuatannya pada Tiw."

"Dan bagaimana jika aku sudah mengikhlaskan apa yang terjadi pada Tiw? Apa itu artinya aku berdosa besar?"

Semua orang berhak untuk berbahagia dengan cara mereka masing-masing. Thit tidak boleh egois, apalagi menggunakan dukanya untuk menghakimi Jee. Thit ingin menyakiti Jee seperti bagaimana dia terluka. Mau sampai kapan dia akan menyuruh Jee untuk bertanggung jawab atas perasaannya?

"Segalanya tergantung pada perasaanmu sendiri, dan bukannya membuatnya untuk menanggung bebanmu."

 

Jee dan Jade datang untuk pamit. Tapi Thit masih kesal dan tidak mau menatap Jee. Jade berjanji akan datang lagi lain kali untuk bermain dengan anak-anak lalu mereka pun pergi.

"Menurutku, kaulah yang berusaha menyiksanya. Kaulah yang berubah jadi pembnuh, bukan dia." Geram Bibi Wadee.


Jade penasaran, siapa pria itu tadi? Pacarnya anaknya Bibi Wadee, jawab Jee. Dan kenapa Jade merasa kalau pria itu tidak suka Jee datang kemari?

"Sepertinya dia tidak suka karena aku masih hidup."

"Sebentar. Ada orang yang benar-benar membencimu?"

"Kalau kau tahu bagaimana aku, kau mungkin akan merasakan hal yang sama dengannya."

"Tapi dari apa yang kutahu, kurasa aku akan jadi orang paling terakhir di bumi ini yang akan merasa begitu terhadapmu."


Nenek sedang mengepak barang-barangnya saat Pan ngomel-ngomel memarahinya karena Nenek masih saja ngotot tidak mau kemoterapi. 

Nenek pasti ingin pergi meninggalkannya, makanya Nenek tidak mau dirawat. Nenek Jan bersikeras kalau penyakitnya ini tidak akan bisa sembuh, ini hanya akan menguras semua uang mereka.

"Terus kenapa? Nenek membesarkanku! Aku akan menghemat uang untuk biaya perawatan Nenek."

"Hei! Simpan saja uang untuk masa depanmu sendiri. Bagaimanapun kau mencoba untuk memperpanjang hidupku, pada akhirnya aku tetap harus pergi. Kalau kau takut, jangan ikut. Anggap saja aku mati mulai hari ini."

Pan kontan menangis mendengarnya. Dia langsung memluk Nenek dan terus berusaha membujuknya untuk dirawat. "Kumohon, jangan tinggalkan aku."

"Pan! Kau ini kenapa? Ngapain nge-drama sih? Lepasin! Aku sedang berkemas."

"Tidak mau! Aku tidak tahu kapan aku bisa memleuk Nenek lagi. Aku ingin memluk Nenek selama mungkin."

Nenek sedih mendengarnya. Tapi ia terus bersikeras menyuruh Pan melepaskannya. Tepat saat itu juga, teleponnya Pan berbunyi dari Jee.

Tapi sebelum dia sempat mengangkatnya, Nenek Jan mengancamnya untuk tidak memberitahu Jee. Jika tidak, Pan tidak perlu bersamanya lagi.

"Jangan ganggu dia. Biarkan dia menjalani hidupnya. Mengerti."

Terpaksa Pan tidak mengangkat teleponnya Jee dan hanya bisa menangis dan menggerutu frustasi.


Jane membantu Thit mendapatkan ponsel baru, dia bahkan sudah memasukkan semua nomor telepon penting ke dalamnya. Dia bahkan sudah menyimpan nomornya sendiri di speed dial. Jadi Thit bisa meneleponnya setiap saat jika dia membutuhkan sesuatu.

Thit sampai tidak enak hati karena sudah merepotkannya. Tidak masalah. Jane mengerti kok. Thit sangat sibuk dan tidak punya waktu untuk mengurusi hal-hal seperti ini.

Satu lagi, berhubung Thit sering menyimpan makanan beku yang tidak baik untuk kesehatannya, jadi Jane membawakan makanan dari rumahnya untuk Thit. Dia cuma perlu menghangatkannya saja.

"Jane, kenapa kau membawakannya? Aku bisa makan apa saja."


"Aku tidak bisa banyak membantu pekerjaanmu. Tapi aku bisa membantu mengurusi urusan rumah tangga. Anggap saja ini pelayanan ekstra dariku."

Dan satu lagi. Dia sudah berusaha membujuk Nenek Jan untuk dirawat, tapi tidak berhasil. Tapi dia janji akan mencoba lagi besok.

Thit terkejut mendengarnya. "Kau menemui Nenek Jan di rumahnya?"

"Iya. Besok aku harus mencoba lagi."

"Tapi..."

"Aku jamin kalau aku pasti akan sukses kali ini!"

 

Tapi keesokan harinya, Jane malah diberitahu kalau Nenek Jan dan Pan sudah pindah. Mereka bahkan sudah menyewa mobil ke Hua Lamphong. Jane sontak panik dan cepat-cepat menelepon Thit untuk melaporkan masalah ini.


Jee dan Pim sedang didandani untuk pemotretan drama terbaru mereka. Piak juga ada di sana, membantu memilihkan kostum untuk Pim seorang.

Tapi Pim heran, kenapa Piak tenang banget. Dia malah membiarkan apinya terlalu dekat dengan minyak, apa dia tidak takut apinya akan terbakar di sini?

"Coba saja dia menyalakannya, akan kuhancurkan karirnya!" Kata Piak lantang. Tapi kemudian dia beralih menyindir Pim. "Dan untuk orang-orang yang menunggu orang lain terbakar, berhati-hatilah jangan sampai terbakar juga."

Setelah Piak keluar, Managernya Pim berkomentar kalau Piak itu seperti tanki gas yang siap meledak setiap saat. Baguslah, jika Piak adalah tangki gas, dia bisa membakar Jee sampai hangus tak bersisa.


Suki datang setelah kedua nang'ek itu selesai didandani. Pastinya yang dia puji-puji cuma Jee seorang dan menasehati Jee untuk tidak dekat-dekat dengan segala sesuatu yang rendahan, itu bisa merusak image Jee.

"Karena beberapa hal tidak bisa diubah."

"Dan apa yang kau ubah dari seseorang yang terlibat dengan suami orang lain? Elastisitas wajahmu?" Balas Pim.

Jee sontak kesal dan hampir saja melakukan sesuatu ke Pim. Tapi Suki cepat mencegahnya dan balas menyindir Pim. Jika elastisitas wajah Jee perlu diubah, berarti dia punya cukup banyak elastisitas. Tidak seperti seseorang yang perlu menutupi wajahnya yang tidak punya elastisitas.


Tak mau kalah, Pim balas menyindir Jee. Apa Jee setenang ini karena Jee takut jati dirinya yang sebenarnya akan ketahuan?

"Sayangnya aku tidak palsu seperti seseorang." Balas Jee.

Suki sontak bertepuk tangan sambil ngakak puas. "Bahkan hinaannya sangat baik. Pantas sekali dia memainkan peran seorang Khun Ying."

"Baik? Seperti mencuri suami orang lain misalnya?"

"Bukan cuma mencuri suami orang lain. Bahkan peranmu pun bisa kucuri. Aku bahkan bisa mencuri pekerjaanmu sebagai presenter yang bayarannya sangat tinggi itu. Tapi tak ada apapun yang layak kucuri darimu."

Pim jelas tersinggung dan Suki puas banget melihat reaksi Pim itu. Jee lalu pergi tanpa membawa ponselnya yang saat itu berbunyi. Jadilah Suki yang mengambil ponselnya lalu keluar meninggalkan Pim yang cuma bisa mencak-mencak kesal.


Suki pergi lobi untuk menerima teleponnya Pan. Sayangnya, dia tidak melihat Managernya Pim lagi sembunyi di balik tiang dan mendengar pembicaraannya.

Pan memberitahu Suki bahwa nenek sekarat. Suki jelas bingung nenek siapa yang dimaksudnya, malah dengan santainya menyuruh orang di seberang untuk memanggil ambulance saja, kenapa juga dia malah menanyakan Jee.

Tapi kemudian, Pan yang saat itu sedang menunggu kereta di stasiun, memberitahu Suki bahwa nenek yang dimaksudnya adalah Nenek Jan. 

Suki langsung kaget mendengarnya, Nenek Jan sekarat? Pan membenarkan, bisakah Jee datang sekarang?

"Kalau Jee tidak datang hari ini, dia tidak akan bisa melihat Nenek lagi. Hanya dia satu-satunya orang yang bisa mencegah Nenek pergi. Kedatangannya 2-3 menit saja, bisa memperpanjang hidup Nenek sampai 2-3 tahun. Kumohon, biarkan Jee datang dan bicara padanya."


Belum selesai bicara, Nenek Jan kembali saat itu dan langsung ngomel-ngomel memarahi Pan. "Aku kan sudah bilang jangan beritahu dia! Kenapa kau malah merepotkannya?!"

Kesal, Nenek Jan langsung membawa tiketnya dan pergi sendiri. Pan kontan panik berusaha mengejar Nenek sambil meminta Suki untuk menyampaikan pesannya ke Jee. Jika dia tidak datang hari ini, maka mereka akan berpisah selama-lamanya.

Dia berusaha bergegas mengejar Nenek Jan, tapi Jane menemukannya saat itu dan langsung mencegahnya pergi sambil menuntut keberadaan Nenek Jan. Pan langsung kesal, justru dia sedang buru-buru menyusul Nenek, ia melarikan diri.


Sayangnya saat Suki hendak memberitahu Jee, pemotretan sudah dimulai. Terpaksalah dia galau sampai pemotretannya selesai. Chaiyan akhirnya menyudahi sesi pemotretannya Jee lalu memanggil Pim.

Suki cepat-cepat menyeret Jee keluar, tapi malah tak sengaja bertubrukan dengan Managernya Pim. Tapi Suki mengacuhkan mereka dan bergegas menyeret Jee pergi 

Heran, Managernya Pim pun memberitahu Pim tentang apa yang didengarnya tadi. Pim curiga, mungkin nenek yang dimaksud adalah nenek dari pihak keluarga ibunya Jee. Tapi karena dia harus pemotretan, Pim pun menyuruh Managernya untuk menyelidiki masalah ini sendiri.


Pan dan Jane berusaha berpencar mencari Nenek, tapi tak menemukannya di mana-mana. Jane mendadak punya ide, bagaimana kalau mereka membuat pengumuman? Ide bagus! Tapi saat mereka hendak pergi, Pan tiba-tiba melihat Nenek Jan di dalam kereta yang berjalan.

Jane langsung panik menelepon Thit lalu buru-buru mengecek tujuan kereta itu dan mendapatinya menuju Chiang Mai.


Dalam perjalanan, Nenek Jan membuka sebuah album foto yang penuh berisi foto-foto kenangan Jee sejak dia masih kecil. Nenek Jan tersenyum sendu melihat semua foto-foto itu. Ia bahkan menyimpan sebuah label air mineral yang ada fotonya Jee.

Bersambung ke part 5

Post a Comment

0 Comments