Sinopsis Kleun Cheewit Episode 5 - 4

Sinopsis Kleun Cheewit Episode 5 - 4

 

Benar saja, saat Jee hendak keluar, pintunya malah sudah terkunci. Dia berusaha berteriak-teriak, tapi tak ada seorangpun di sana.

Parahnya lagi, dia baru sadar kalau ponselnya tadi diambil Thit dan dia masukkan ke clananya. Jee jelas kesal menyadari Thit sengaja melakukan semua ini padanya.


Dao cemas karena ini sudah tengah malam, tapi Jee masih belum kembali juga. Dia berusaha menghubungi Jee, tapi tentu saja tak ada yang mengangkatnya.


Jee menangis teringat ucapan Thit tadi. Memikirkan orang-orang yang dia cintai menghilang darinya satu demi satu, benar-benar terlalu menakutkan bagi Jee.

Untung saja ada seorang satpam yang tiba-tiba datang saat itu. Dia mengaku barusan ada yang menelepon (Hmm... Thit?), orang itu bilang kalau dia sepertinya melihat Jee tadi, tapi tak yakin.

Makanya Pak Satpam bergegas datang kemari. Pak Satpam juga membawakan ponselnya Jee, ponsel itu tergeletak di pintu depan. (Pasti Thit deh)


Waktu Pak Satpam turun, dia langsung menelepon Thit dan memberitahunya kalau wanita itu ketakutan dan wajahnya pucat tadi. Untung saja dia tidak berniat untuk menuntut mereka. Thit puas banget mendengarnya, lalu menghapus semua percakapannya dengan Jee tadi.


Keesokan harinya, Jee kembali ke perkampungan dengan memakai samaran dan Pan langsung bercanda pura-pura tidak mengenalinya.

Tapi kenapa Jee kembali kemari? Katanya si pengacara itu membenci Jee? Kalau begitu, sebaiknya dia pergi saja. Pergi! Pergi!

"Oi! Aku datang kemari karena pengacara itu! Apa dia sudah datang?"


Pan menjawabnya dengan membawa Jee ke lapangan di mana semua warga sudah berkumpul bersama Thit, si pemilik tanah dan para anak buahnya.

Yang tidak Jee sangka, Thit memberitahu si pemilik tanah kalau dia akan membuat para warga pindah.

Jee jelas kesal dan hampir saja mau maju melabrak Thit, tapi Pan cepat mencegahnya dan memberitahu kalau warga sudah setuju untuk pindah.


Si pemilik tanah dan gengnya hampir saja senang. Tapi kemudian Thit menuntutnya untuk mengembalikan sisa uang kontrak para warga dan juga biaya 3 bulan untuk pindah ke tempat baru.

Si pemilik tanah menolak dan ngotot menuntut mereka pindah akhir bulan ini. Thit santai. Kalau begitu, si pemilik tanah harus membiarkan mereka tetap di sini selama 2 tahun ke depan sampai masa kontrak mereka berakhir.

"Kau tidak dengar. Kubilang pindah!"

"Kau sendiri punya telinga apa tidak? Itu telinga atau kuping anj*ng?" Bentak Nenek Jan. "Kau tidak dengar? Kami punya kontrak. Kalau kau tidak mau memberi kami waktu, maka kami akan tetap di sini selama 2 tahun lagi!"

Si pemilik tanah tetap bersikeras menolak, bahkan mengancam mereka untuk pindah akhir bulan ini atau dia akan membuat para anak buahnya untuk mengusir mereka.

Thit mengingatkan bahwa jika dia melakukan itu, maka dia bakalan harus menghadapi tuntutan invasi seperti yang waktu itu. Biarpun dia pemilik tanah, tapi para warga punya surat kontrak atas tanah ini juga.

"Apa kau sok pintar padaku?"

"Tidak. Aku hanya membantu demi keuntunganmu dan para warga. Silahkan kau pilih. Apa kau akan memberi warga biaya 3 bulan sebagai kompensasi pindah lebih awal dari masa kontrak, atau kau ingin mereka menuntutmu ke pengadilan?"

Kalau mereka sampai menuntut ke pengadilan, maka pengadilan mungkin akan menyuruh si pemilik tanah untuk membayar lebih tinggi daripada tuntutan mereka. Dan kasus ini mungkin bisa makan waktu bertahun-tahun. Sebaiknya dia memikirkannya baik-baik, mana yang jauh lebih berharga.


Para warga kontan bertepuk tangan kagum pada Thit, cuma Jee seorang yang kesal dan tidak terima. Tepat saat itu juga, Thit menoleh ke arahnya dan langsung tersenyum sinis melihat reaksinya.


Sukses dengan kesepakatan mereka, para warga langsung merayakannya dengan petasan. Satu per satu, warga menyalami Thit dan berterima kasih pada mereka. Mumpung para warga sibuk sendiri, Jee diam-diam bersembunyi di belakangnya Pan.

Pan heran, Pak Pengacara itu baik kok. Tapi Jee malah tidak menyukainya, itu karena Jee bikin Pak Pengacara itu kesal.

Nenek Jan juga berterima kasih pada Thit. Biarpun mereka tidak bisa tinggal sampai masa kontrak mereka berakhir, tapi setidaknya Thit memberi mereka waktu untuk bersiap-siap dan juga kompensasi.

"Tidak masalah. Saya hanya melaksanakan tugas saya."

"Apa yang kau lakukan bukan cuma sekedar tugas. Kau membuat para warga sangat bahagia. Biarpun tanah ini bukan milik kami. Tapi semua orang mencintai tempat ini seperti rumah kami sendiri."

Thit langsung canggung mendengarnya, menyadari ucapan Jee kemarin benar.


Tapi lamunannya buyar dengan cepat saat Nenek Jan tiba-tiba bercanda. "Kalau aku lebih muda 10 ata 20 tahun, aku pasti akan menawarkan diriku sebagai istrimu sebagai balas jasa."

Thit sampai malu mendengarnya. "Saya kan sudah bilang bahwa saya hanya melaksanakan tugas. Saya tidak mengharapkan imbalan apapun."

"Oh, tidak bisa. Bagaimanapun, kau harus membiarkan kami membalasmu. Dengar! Dengar! Hari ini, aku akan mentraktir makan Pak Pengacara dan semua warga!"

Dan bukan cuma itu saja. Karena hari ini Pak pengacara sudah memberikan kebahagiaan yang begitu banyak untuk mereka, maka mereka juga harus membuat Pak Pengacara bahagia.

"Pan! Nyalakan musik!"


Pan antusias menyalakan lagunya dan para warga sontak joget-joget sambil mengelilingi Thit yang canggung sendiri di sana. Jee sampai heran melihatnya. Apa dia salah lihat? Si raksasa itu bisa senyum?

"Raksasa tersenyum? Cobalah tersenyum." Kata Pan. Jee asal saja menurutinya dan langsung nyengir.

"Tuh! Raksasa bisa senyum."

Kurang ajar! Jee sontak mau mengejarnya, tapi malah tak sengaja menendang kabel dan membuat musik terhenti seketika. Nenek Jan sontak marah-marah... sampai saat dia melihat Jee.


Pan cepat-cepat memutar kembali musiknya. Sementara yang lain joget-joget lagi, Nenek bergegas masuk untuk menemui Jee. Thit memperhatikan mereka dengan penasaran. Menyadari Thit melihat mereka, Jee langsung menyeret Nenek Jan masuk rumah.

"Apa pengacara itu memaksa Nenek dan para warga untuk pindah dari sini?" Tuntut Jee "Nenek masih punya hak sewa untuk tinggal di sini. Dia itu membenciku. Makanya dia menipu kalian untuk pergi dari sini. Aku akan membantu Nenek tetap di sini."

"Aku memang ingin pindah." Aku Nenek Jan

"Lalu kalian mau pindah ke mana?"

Nenek Jan mengklaim kalau dia punya saudara. Tapi sepertinya ia berbohong. Pan bahkan tak tahu kalau mereka punya saudara, tapi Nenek Jan sontak menjewernya agar dia diam.


Kalau Nenek tidak mau tinggal di apartemennya, Jee akan membantunya mencari tempat tinggal baru. Tapi Nenek Jan bersikeras menolak dan mengklaim kalau ia sudah melihat-lihat tempat lain kok. Nenek akan pindah ke Chiang Rai.

"Kapan Nenek pergi ke Chiang Rai?" Heran Pan (Pfft!)

Nenek kontan mencengkeram wajahnya keras-keras. "Kau tidak perlu tahu kapan aku pergi! Yang perlu kau tahu adalah jika kau menyelaku lagi, akan kubelah tengkorakmu!"


Jee tak rela berpisah dengannya begitu saja dan berusaha membujuk Nenek Jan agar dia bisa mengantarkan Nenek Jan. Dengan begitu, dia akan tahu ke mana Nenek Jan pergi dan dia bisa selalu mengunjungi Nenek.

"Justru karena aku tahu kau akan mencariku. Jangan biarkan aku dan Pan membebanimu lagi."

"Nek, berapa kali sudah kubilang kalau Nenek dan Pan sama sekali bukan beban. Nenek dan Pan adalah keluargaku satu-satunya."

Neneklah satu-satunya orang yang selalu menunggu Jee pulang sekolah dan memasakkan makanan untuknya. Nenek bahkan menjual periuk Nenek untuk membelikan Jee seragam baru.

"Neneklah satu-satunya orang yang membuatku merasa kalau aku punya keluarga. Tanpa Nenek, siapa yang akan mem*lukku?"


Thit mengintip mereka saat Jee menangis dalam pel*kan Nenek Jan. Pan ikut sedih melihat mereka. "Sudah, kalian berdua. Jangan menangis lagi. Kita akan pindah ke tempat baru. Ke tempat yang lebih baik. Seharusnya kita bahagia dan merayakannya, bukan?"

"Pan benar, Jee. Sudah, jangan menangis lagi. Tersenyumlah untuk kami. Dengarkan aku, baguslah kami pergi agar kau tidak lagi datang kemari."

Apa Jee tidak ingat? Waktu dia kecil, dia sangat menginginkan banyak uang agar dia bisa pindah jauh dari tempat ini. Sekarang Jee berhasil mewujudkan keinginannya. Dia punya uang dan reputasi, dia seorang aktris terkenal dan bukan lagi anak kampung kumuh.

Pan sependapat. Jika Nenek dan dia tidak ada di sini, maka takkan ada seorangpun yang akan mengetahui masa lalu Jee.

"Gunakan hidupmu untuk mengikuti impianmu. Jangan mengkhawatirkanku. Rahasiamu akan kubawa sampai aku mati."

Bersambung ke part 5

Post a Comment

1 Comments

Hai, terima kasih atas komentarnya, dan maaf kalau komentarnya tidak langsung muncul ya, karena semua komentar akan dimoderasi demi menghindari spam