Saat Sitta pulang, Khun Ying mendengar Sekretarisnya Sitta melapor bahwa Thit sudah ditangani dan Sitta memerintahkannya untuk membunuh Thit jika dia masih terus ngotot mencari bukti.
Dengan sok manis, Khun Ying bertanya apa yang terjadi?
"Kau masih berani tanya? Apa kau tahu berapa banyak masalah yang harus kutangani gara-gara putrimu? Aku harus terus membereskannya tanpa akhir. Dan mana permintaan maafnya? Hah?"
Khun Ying beralasan kalau Jee lagi sibuk dengan lakorn dan lain sebagainya. Tapi Sitta tak mau tahu. Jee harus meminta maaf padanya secepatnya.
Dia bahkan mengancam kalau Jee tidak datang besok, maka dia akan mengirim seseorang untuk menyeret Jee kemari. Khun Ying berusaha menarik tangan Sitta, tapi Sitta langsung menampiknya hingga Khun Ying tersungkur ke lantai.
Di lokasi syuting, Jee meyakinkan Chaiyan untuk tidak mengkhawatirkannya. Lagipula Jee sudah terbiasa dengan kesialan. Apa yang dilakukan Piak padanya, tidak akan mempengaruhinya.
Siapapun yang dekat dengannya, pasti akan kena sial juga. Jadi mending Chaiyan jaga jarak dengannya sebelum keluarganya Chaiyan hancur karena dia.
Chaiyan mau protes. Tapi belum sempat mengatakan apapun, Piak menelepon saat itu juga. Tapi dia menelepon untuk mengabarkan kabar buruk, Thit dihajar orang. Jee langsung cemas mendengarnya.
Thit terbangun di rumah sakit dan mendapati Bibi Wadee dan Chait sedang menjaganya. Chait memberitahu kalau beberapa warga setempat menemukan Thit tergeletak di jalanan dan melarikan Thit ke rumah sakit.
"Apa kau ingat siapa yang menyerangmu?"
Thit tidak tahu siapa mereka, tapi mereka mengancamnya untuk berhenti menginvestigasi sebuah kasus. Chait mengerti, kasus itu pasti bisa mempengaruhi keuntungan seseorang. Apa Thit punya dugaan akan kasus apa yang mereka maksud?
"Aku diserang setelah bicara dengan si petugas parkir. Menurutmu kasus apa yang seharusnya kucurigai?"
Tanpa mempedulikan kondisi dirinya sendiri, Thit ngotot keluar dari rumah sakit. Bibi Wadee dan Chait berusaha mencegahnya, tapi Thit tak peduli.
Piak dan Chaiyan baru datang saat itu dan langsung cemas. Thit mau kemana dalam kondisinya ini? Apa dokter sudah mengizinkannya pergi?
Thit tak peduli dan bersikeras mau pergi menangkap penyerangnya, orang yang berpikir kalau dirinya jauh lebih tinggi daripada hukum.
Chait sontak menghadangnya. "Penyeranganmu ini tidak ada hubungannya dengan Khun Jeerawat?"
"Bagaimana kau bisa yakin?! Huh?!"
"Karena kasus yang kau investigasi ini sudah tidak berpengaruh pada Khun Jee lagi."
Pengadilan sudah mendakwa bahwa Stefan lah yang menyetir dan menabrak Tiw. Dia tidak punya bukti atau apapun untuk menangkap Jee. Kasus ini sudah berakhir. Lebih baik Thit menerima kenyataan ini.
Thit menolak dan bersikeras mau tetap pergi sekarang. Bibi Wadee berusaha mencegahnya, tapi Piak mendukung Thit dan meminta Bibi Wadee untuk membiarkan Thit pergi. Dia bahkan berniat untuk mengantarkan Thit sendiri.
Chaiyan panik mencegahnya dan mengingatkan Piak akan kondisi Thit. Kalau Thit pergi dalam kondisi seperti ini, dia bisa mati sebelum tiba di kantor polisi.
"Hei, Chaiyan. Kau mengkhawatirkan P'Thit atau artismu? Hah?"
"Sekarang bukan saatnya membicarakan masalah itu!"
"BERHENTI!" Teriak Bibi Wadee. "Thit, tak ada lagi yang bisa kita lakukan. Jangan terlalu fanatik. Berhentilah."
"Aku tidak bisa, bi. Aku harus melakukannya demi Tiw. Aku harus melakukannya demi dia sampai akhir."
"Thit! Berhenti! Tiw sudah tidak bersama kita lagi. Seberapa keras pun kau berusaha, Tiw tidak akan pernah kembali kepada kita."
Bibi tahu betapa besarnya cinta Thit pada Tiw. Bibi mengerti keinginan Thit untuk mencari kebenaran demi Tiw, tapi bibi ingin Thit mencintai dirinya sendiri juga. Jika Tiw ada di sini, dia juga pasti akan meminta Thit untuk berhenti.
"Aku sudah kehilangan seorang putri, jangan buat aku kehilangan seorang putra juga. Kumohon. Aku akan berlutut dan memohon jika perlu!" Tangis Bibi Wadee.
Thit sontak menarik Bibi Wadee berdiri sebelum ia benar-benar berlutut padanya. Bibi Wadee memohon sekali lagi agar Tiw menarik kasus ini dan jangan pernah terlibat lagi. Setidaknya, lakukanlah demi Bibi Wadee. Lakukan demi Tiw jika Thit masih mencintainya.
"Hentikan segalanya sampai di sini. Kumohon, Thit? Thit, berjanjilah padaku!"
Tak sanggup menolaknya, Thit akhirnya setuju untuk menyerah dan langsung terjatuh dalam plukan Bibi Wadee dan menangis.
Walaupun Thit memutuskan menyerah, tapi Piak memberitahu Chaiyan kalau dia tidak akan menyerah. Kalau Jee tidak berhenti terlibat dengan keluarganya, Piak tidak akan mengampuninya.
Thit merenung sedih di rumahnya sembari menatap foto-foto kenangannya bersama Tiw. Salah satu foto membuatnya membuatnya teringat kembali kenangan saat pertama kalinya dia memenangkan kasus.
Flashback.
Thit dengan riang memberitahu Bibi Wadee kalau dia berhasil memenangkan kasus pertamanya, kasus perceraian dan hak asuh anak.
Tapi Tiw sama sekali tidak bisa senang atas kemenangan Thit. Dia kasihan dengan pihak yang kalah dan anak-anak yang menangis karena tak ingin kedua orang tuanya berpisah.
"Thit... tidak bisakah kau mengalahkan kasus ini biar tidak menyakiti perasaan anak-anak?"
"Tiw, hukum tidak pernah menyakiti siapapun. Perbuatan orang-orang lah yang menyakiti diri mereka sendiri."
Contohnya dalam kasus ini. Jika suaminya tidak berselingkuh, maka istrinya tidak mungkin menggugat cerai. Thit tahu kalau Tiw menyayangi anak-anak. Thit pun sama dengannya.
"Aku menjunjung tinggi kemurnian hukum. Jika aku melanggarnya, maka siapa yang akan menghormati hukum, Tiw?"
"Kau benar. Pekerjaanmu adalah memastikan orang-orang mendapatkan keadilan. Sebagai pacarmu, aku harus mendukungmu agar tidak terlalu lunak dengan hukum."
"Karena itulah kau tidak akan pernah kecewa jika kau mau hidup bersamaku. Karena jika orang yang menyakitimu, aku tidak akan pernah melepaskan mereka."
Flashback end.
Thit mengepalkan tangannya penuh emosi teringat janji yang sekarang tak bisa ditepatinya. "Aku bisa memberikan keadilan untuk orang lain. Tapi aku tidak bisa memberikan keadilan untukmu, Tiw. Maafkan aku."
Frustasi dengan segalanya, Thit menutup mulutnya dengan bantal dan menjerit sekeras-kerasnya.
Beberapa waktu berlalu, Jee kembali mendatangi Guru Arie dengan membawakan banyak sekali makanan dan permen. Guru Arie langsung protes melihat permen-permen itu.
"Aku mengerti kalau aku terlihat seperti anak kecil, tapi kau tidak perlu membelikanku permen."
Jee mengoreksi, permen-permen ini bukan untuk Guru Arie, tapi untuk anak-anak terlantar yang dirawat Bibi Wadee.
Hmm... sepertinya Jee sudah lumayan sering mengirim snack untuk anak-anak itu dan kali ini dia meminta Guru Arie untuk membantunya mengirimkannya ke sana lagi seperti biasanya.
"Hei! Kau bisa menyetir sejauh ini, tapi begitu tiba di sini, kau mendadak jadi cacat dan nggak bisa jalan?" Protes Guru Arie
Tentu saja tidak. Tapi kalau Jee sendiri yang mengantarkannya, Bibi Wadee pasti tidak akan mau menerimanya.
Guru Arie kesal mendengarnya, ini sebenarnya karmanya Jee atau karmanya sendiri sih? Asal tahu saja, gara-gara dia sering membawakan permen-permen ke rumah Bibi Wadee, para tetangga jadi menggosip kalau dia suka Bibi Wadee. Malu, tahu!
"Itu karmamu. Kalau kau punya istri, mereka pasti tidak akan menggosip."
Jee janji deh, kalau Guru Arie membantunya, maka Jee akan melakukan segala macam pekerjaan rumah tangga untuk Guru Arie seperti: Ngepel, cuci baju, cuci piring, setrika, masak, bahkan mencabuti ubannya Guru Arie.
"Kumohon, guru? Yah? Kumohon?" Pinta Jee setulus hati dengan wajah melas hingga Guru Arie tak sanggup lagi menolaknya.
Thit datang lagi mengunjungi Bibi Wadee walaupun kondisinya belum sepenuhnya pulih. Dia tidak ingin tinggal di rumah terus. Sendirian di rumah, membuatnya serasa mau gila. Makanya dia datang mengunjungi mereka semua.
Bibi Wadee bersikeras agar Thit istirahat dulu, tapi Thit juga bersikeras meyakinkan Bibi Wadee kalau dia sudah baikan.
Kalau begitu, Bibi Wadee meminta Thit untuk jaga anak-anak dulu sementara Bibi Wadee mau mengantarkan apel ke rumah Guru Arie sebagai ungkapan terima kasih atas kiriman permen-permen dan buku dari Guru Arie.
"Kalau begitu, aku saja yang mengirimnya." Ujar Thit
Guru Arie sedang mengajari Jee nge-dance. Tapi lama-lama dia capek sendiri dan protes, tak mengerti kenapa Jee ngebet banget latihan nge-dance.
"Konser untuk presenter sudah dekat. Kalau aku tidak latihan dan lupa langkah-langkahku, maka mereka akan menyalahkanmu karena tidak mengajariku."
"Hei, aku akan mengajarimu. Tapi... kalau kau ngedance, lakukan saja sendiri. Aku ingin segelas lemon campur madu. Oke?" Pinta Guru Arie dengan penuh arti.
Tapi Jee tidak mau membuatkannya dan dengan santainya menyuruh Guru Arie untuk membuatnya sendiri, dapurnya di situ tuh. Kesal, terpaksa Guru Arie pergi sendiri ke dapur.
Jee lalu memutar lagu lain dan nge-dance lagi tanpa menyadari Thit yang baru saja datang dan jelas kesal melihat Jee malah asyik menari-nari. Jee santai saja menari dan berputar-putar... hingga dia tak sengaja menubruk Thit.
"Kau sudah keluar dari rumah sakit?"
"Kau mendengar beritanya dengan cepat, atau kau memang tahu apa yang terjadi padaku?" Sindir Thit
"Kalau kau datang kemari cuma untuk cari perkara, maka aku pergi saja."
"Kau kan memang pintar melarikan diri."
"Apapun yang ingin kau katakan, katakan saja. Aku banyak beramal dengan memberi makan untuk kucing dan anjing. Jika aku bisa tahan mendengarmu dan itu bisa membuat hidup dan perasaanmu jadi lebih baik, maka aku akan melakukan amal itu untukmu."
"Aku tidak mau mengutuk seseorang sepertimu, tapi aku ingin membunuhmu!" Geram Thit
Jee tak gentar, bunuh saja. Kali ini Thit mau pakai cara apa? Menenggelamkannya seperti waktu itu? Atau mau mencekiknya sampai mati? Kalau Thit pikir hidupnya bisa menggantikan hidup pacarnya, lakukan saja.
Dia bahkan langsung meletakkan kedua tangan Thit melingkar di lehernya, dan Thit tanpa ragu mempererat cekikannya kuat-kuat.
"Pasti akan kulakukan... jika saja Bibi tidak memintaku berhenti."
Jee terkejut dan berkaca-kaca mendengarnya. Thit memperingatkan Jee bahwa dia bebas hari hari ini bukan karena kekuatan uangnya, tapi karena belas kasihan seorang wanita, wanita yang kehilangan putrinya.
"Lanjutkan saja menarimu, silahkan berbahagia di atas tangisan seseorang yang kehilangan putrinya! Teruslah menari! Kenapa tidak kau saja yang mati!" Kesal Thit sembari mencekik Jee kuat-kuat.
Tapi Jee bahkan tidak berusaha melawannya. Berusaha menguasai dirinya, Thit akhirnya melepaskan Jee. Baguslah Jee masih ada. Sekarang dia akan tahu bagaimana rasanya kesepian dan tak punya siapapun di sisinya.
"Ingat Jeerawat. Bahkan sekalipun aku tidak bisa menggunakan hukum untuk menahanmu, tapi ada hukum karma dan kau akan jauh lebih menderita daripada masuk penjara. Kau akan tersiksa lebih daripada dihukum. Tunggu saja balasanmu!"
0 Comments
Hai, terima kasih atas komentarnya, dan maaf kalau komentarnya tidak langsung muncul ya, karena semua komentar akan dimoderasi demi menghindari spam