Sinopsis Padiwarada Episode 9 - Part 5

 


Jawaban Rin itu membuat senyum Saran memudar seketika. Dia penasaran, jika misalnya hubungan mereka tidak berhasil, apa Rin akan melarikan diri dan bercerai darinya semudah itu?

"Memiliki suami yang ternyata orang jahat seperti itu, mending tidak punya suami sekalian. Atau jika kita tidak benar-benar saling mencintai, aku rela kau kembali ke Khun Duangsawat."

Astaga, tega sekali. Rin pernah bilang kalau Duang itu cuek dengan omongan orang. Tapi ternyata Rin juga begitu. Apa orang tua Rin akan bisa menerimanya jika Braranee yang baru menikah satu bulan, malah pulang dalam keadaan bercerai?

"Orang tua kami mengajari kami untuk bersikap masuk akal. Mereka pasti akan setuju denganku. Percayalah padaku."

"Lalu bagaimana dengan Braranee? Dia akan dicemooh sepanjang hidupnya. Apa dia sanggup menanggungnya? di antara ketiga saudari, dia bukan yang terkuat."

"Kau benar."


Saat melihat lehernya Saran, Rin baru ingat dengan kalung Buddha miliknya yang dulu diberikannya pada Saran. Tapi... di mana kalung itu sekarang?

Saran canggung mengaku kalau dia sebenarnya tidak ingat di mana dia menaruh kalung itu. Dia tidak menemukannya sama sekali.

"Jadi maksudmu saat kau bertarung melawan para bandit itu, kau tidak memakai kalung itu?"

"Iya. Lihatlah, karena tidak mendapatkan restumu, aku jadi terluka. Kalung itu sangat penting bagimu, kan?"

Rin langsung terdiam teringat itu adalah kalung peninggalan orang tua yang membuangnya.

"Lupakan saja. Penting, tapi juga tidak penting. Yang penting adalah hidupku yang sekarang. Hidup bersama keluarga Bumrung Prachakit sampai aku mati."

Tapi ucapannya itu malah membuat Saran patah hati. "Karena kau Bumrung Prachakit, berarti kau bukan Sivavet."

"Kita tidak mendaftarkan pernikahan kita secara resmi. Aku masih menggunakan nama keluargaku."


Chalat benar-benar tekun mempelajari dokumen-dokumen di sana bahkan sampai tidak pulang ke hotelnya. Pun begitu, tetap saja dia belum bisa mendapatkan informasi apapun. Sepertinya dia benar-benar harus tanya pada orang-orang di desa.

"Menanyai mereka tentang istri kedua ayahmu?" Tanya si Bapak. "Bagaimana kita harus memulainya?"

"Itu dia. Kita harus mulai tanya dari mana?"

Di tengah kebingungan mereka, tiba-tiba saja terdengar sesuatu di luar jendela yang menarik perhatian mereka. Tapi tanpa mereka ketahui, ternyata ada seorang bibi yang tengah mengintip dan mencuri dengar percakapan mereka.

Chalat lalu mulai menjalankan misinya menanyai para warga desa tentang orang-orang yang dulu pernah bekerja di perusahaan kayu... tanpa menyadari si bibi yang membuntutinya ke mana-mana.


Saran mendapat surat dari Chalat yang menceritakan tentang misi besar yang tengah dijalaninya sekarang demi ayahnya. 

Dia mengaku kalau sebenarnya dia tidak ingin berbagi hartanya dengan saudara. Tapi saat dia teringat air mata ayahnya waktu itu, dia setulus hati memutuskan pergi ke Chiang Mai untuk menjalankan misinya mencari keberadaan adiknya. Dia bahkan brtekad tidak akan kembali jika dia tidak bisa menemukan adiknya.

Tepat saat itu juga, Rin masuk membawakan minuman hangat untuk Saran. Saran antusias memberitahunya tentang Chalat yang sedang menjalankan misinya. Tapi karena ini urusan pribadinya Chalat, dia menolak memberitahukan detilnya.

Sebelum Rin balik ke kamarnya, tak lupa Saran mengingatkannya untuk menutup rapat pintu dan jendelanya. Rin mengerti. Saran tidak usah khawatir, polisi yang berjaga di luar sangat kuat. Dan jangan lupa minum obatnya sebelum tidur.


Tapi begitu Rin kembali ke kamarnya, Saran malah nekat turun dari ranjang untuk melatih kakinya. Awalnya dia bisa dengan berpegangan pada ranjangnya, tapi ujung-ujungnya malah terjatuh dan suara teriakannya terdengar oleh Rin yang saat itu hendak tidur.

Cemas, dia sontak melesat ke kamarnya Saran dan mendapatinya tergeletak di lantai. Jelas saja Rin langsung ngomel-ngomel memarahinya saking cemasnya sebelum akhirnya membantu Saran kembali ke kasurnya.


Saran sampai sebal sendiri mendengar omelan Rin dan langsung mengusirnya. Tapi Rin menolak diusir, takut Saran nekat jalan lagi.

Karena itulah dia cuma balik ke kamarnya sebentar cuma untuk mengambil bantal dan selimut lalu menatanya di lantai. Pokoknya malam ini dia akan menjaga Saran di kamar ini.

"Kau tidak boleh jalan dulu. Dokter bilang kalau kau bisa berdiri dan berjalan, baru kau boleh jalan. Jika tidak, beginilah akibatnya."

"Baiklah, baiklah. Aku tidak akan jalan lagi. Kau kembalilah ke kamarmu."

"Aku tidak mempercayaimu."

"Hei! Lantainya sangat dingin. Naiklah dan tidur di ranjang sekarang."


Saat Rin masih diam saja, Saran sontak nekat mau turun lagi yang jelas saja langsung membuat Rin cemas. Saran ngotot menyuruh Rin naik ke ranjangnya saja. Lagian kakinya lagi sakit begini, dia tidak akan bisa melakukan apapun.

"Memang lebih baik tidur satu ranjang. Jadi aku tidak perlu khawatir. Jika ada orang yang menerobos masuk, maka mereka akan bertemu ini." Ujar Saran sambil menunjukkan pistol yang disembunyikannya di bawah bantal.

Saran meyakinkannya untuk tidak khawatir. Dia sudah sering kan tidur di dekat Rin dan malam ini tidak akan ada bedanya. Lagipula hari ini dia tidak demen melihat wajah Rin.


Walaupun masih agak ragu-ragu, tapi Rin akhirnya mau juga menurutinya dan berbaring membelakangi Saran dengan gelisah. (Akhirnya mereka tidur seranjang juga) Rin mencoba tidur dan santai saja berguling... tepat menghadapi muka Saran dan langsung berjengit mundur. Ha!

"Kenapa kau kaget? Aku bukan hantu."

"Anu... matamu besar."

"Mata yang mampu menaklukkan wanita." Goda Saran.

Gugup menghadapi tatapan menggoda Saran, Rin langsung beranjak bangkit untuk mengambil bantal tambahan lalu menggunakannya sebagai dinding pemisah di antara mereka. Pfft! Saran sampai geli melihatnya.


Braranee benar-benar tidak selera makan. Dia malah menyuruh pembantu untuk menghangatkan sayur labunya karena itu kesukaan Panit, siapa tahu nanti dia pulang.

Dia hampir saja putus asa,tapi tiba-tiba saja Panit datang. Senang, Braranee sontak menghambur ke dalam pelukannya. "Aku menunggumu setiap hari. Aku bahkan tidak bisa tidur. Aku takut terjadi sesuatu padamu."

Tapi Panit jelas pulang bukan karena merindukan istrinya. Dia mengklaim kalau dia pulang cuma untuk mengambil baju-bajunya. Dia akan tidur di kantornya di Penang.

"Kalau begitu, biarkan aku pergi bersamamu. Aku sangat merindukanmu. Aku tidak bisa hidup tanpamu."

Panit menolak. Dia beralasan kalau perusahaan yang bekerja sama dengannya ingin beras darinya sesegera mungkin, sementara dia tidak bisa memberi mereka beras. Dia bisa didenda dua kali lipat dan jatuh bangkrut karenanya. Karena itulah, Braranee harus membantunya.


"Pak Sheriff sangat mencintai istrinya. Kau harus bicara pada Rin dan dapatkan tanda tangan Sheriff untukku."

"Sheriff sudah bilang kalau dia tidak mau melakukannya. Dan lagi, itu adalah tindak korupsi."

Panit sontak emosi mendorong Braranee dan menyatakan kalau dia tidak bisa tinggal bersama Braranee kalau begitu. Kalau dia tidak bisa mengekspor beras, maka dia tidak akan bisa tinggal di Thailand. Partnernya akan datang untuk menuntut uangnya dan pada akhirnya dia akan bangkrut.

Pokoknya Braranee harus mendapatkan tanda tangannya Saran di dokumennya ini. Saat Braranee diam saja, Panit dengan kasarnya membanting dokumen itu dan meneriaki Braranee untuk membantunya karena Braranee adalah istrinya.

"Kau ingin negara ini menjadi negara yang ideal, lalu bagaimana dengan menjadi istri ideal?! Apa kau tega melihat suamimu tidak punya apa-apa, punya hutang dan jadi buronan? Kau tidak mencintaiku. Apa kau tidak punya rasa kasihan padaku?" Kesal Panit lalu pergi.

"Khun Panit! Kaulah yang tidak mencintaiku! Khun Panit! Kembali! Kembali!"


Braranee akhirnya pergi juga ke Rin dan menceritakan masalah itu. Tapi alih-alih mengeluhkan sikap suaminya, Braranee sekarang sudah benar-benar terpengaruh oleh cintanya pada Panit dan merasa kasihan padanya.

"Dia benar-benar putus asa. Dia pasti sangat menderita karena masalah beras, Rin."

"Aku mengerti kalau dia meninggalkan rumah untuk kabur dari hutangnya. Tapi kenapa dia meninggalkanmu? Kenapa dia tidak membawamu melarikan diri bersamanya ke Penang? Tugas suami adalah menjaga istrinya, tapi sekarang sudah seminggu dia meninggalkanmu seorang diri bersama para pembantu."

Parahnya lagi, Braranee malah benar-benar membantu Panit dengan menyodorkan dokumen itu ke Rin dan meminta Rin untuk bicara pada Saran agar Saran menandatanganinya. Dia berjanji tidak akan lagi mengganggu Saran setelah ini.

Rin galau, tapi juga tak enak menolak. Kedua wanita itu sama sekali tidak sadar kalau Saran sebenarnya ada di belakang dan mendengarkan percakapan mereka.

Bersambung ke episode 10

Post a Comment

0 Comments