Sinopsis Padiwarada Episode 9 - Part 3


Duang masih ngambek setibanya kembali di ibu kota. Naris datang dan langsung membahas hubungan Duang dengan Saran, Duang pasti sangat mencintai mantannya itu.

Duang membenarkannya tanpa ragu. Dia bahkan bersedia menceraikan Naris dengan senang hati jika Naris tidak suka. Oh, hampir saja dia lupa. Mereka kan tidak pernah menandatangani akta pernikahan.

Tapi alih-alih marah, Naris tiba-tiba memeluknya erat-erat dan menolak bercerai dari Duang. Pokoknya dia tidak mau berpisah.

Dia meyakinkan Duang kalau dia sudah berhenti dari pekerjaannya sekarang dan mulai bekerja di perusahaan Ayahnya Duang. Duang jelas heran dengan reaksinya. Dia tidak marah?

"Tidak sama sekali. Aku mencintaimu dan selalu siap untuk memaafkanmu. Ayah dan ibumu bilang kalau Saran sudah menikah. Kenapa kau kembali padanya? Kembalilah padaku, yah?"


Duang galau mendengarnya. Apalagi orang tuanya datang saat itu dan langsung mendukung Naris. Mereka meyakinkan Duang untuk mempercayai Naris, karena takkan ada pria yang bisa memaafkannya lebih daripada Naris.

Ayah sudah membeli seluruh area untuk membangun departement store. Ia bahkan menginvestasikan segalanya pada bisnis ini. Naris akan membantu ayah menanganinya.

"Lupakan saja pria miskin itu dan kembalilah membantu bisnis kita di sini. Menjadi istri Khun Chai Naris, pemilik departement store adalah sesuatu yang bisa dibanggakan."

"Kumohon Khun Duang? Aku mengerti kalau melupakan mantan kekasih itu sulit, tapi aku bisa menunggumu. Mari kita mulai dari awal, yah, Khun Duang?" Pinta Naris sepenuh hati.


Karena Saran masih ngambek, Rin pun keluar. Dia berpapasan dengan Nuer di depan pintu yang datang membawakan sebaskom air untuk membasuh Saran. Rin mengeluh sedih kalau Saran marah padanya, pasti karena dia tidak menuruti perintah Saran.

"Dia tidak marah, dia mencemaskan anda. Kali ini dia tidak bisa melindungi anda, makanya dia cemas kalau-kalau White Tiger datang, dia tidak akan bisa melakukan apapun. Saya permisi dulu, saya harus membantu membasuh tubuh Khun Nu."


Tapi saat Nuer hendak membasuhnya, Saran bisa menduga kalau Rin masih belum pergi dari sana. Dia langsung menuntut Rin untuk masuk kembali dan membantunya menggantikan Nuer untuk membasuh dirinya.

Rin jelas galau mendengarnya. "Nuer mungkin bisa melakukannya lebih baik."

"Kau yang harus melakukannya."

Prihatin melihat kegalauan Rin, Nuer mencoba membujuk Saran agar dia saja yang melakukannya. Dia bisa membasuh Saran lebih bersih dan lebih menyenangkan, Saran pasti suka deh.

Nggak mau. Saran ngotot bahwa jika Rin mau tetap sini, maka Rin harus melakukan perintahnya. Jika tidak mau, maka sebaiknya dia pergi saja. Istri harus mengurus suaminya. Rin kan istrinya, makanya Rin harus membantunya membasuh tubuhnya sampai bersih.

"Khun Nu, biarkan aku yang melakukannya."

"Nggak! Pergi!"


Terpaksalah Nuer harus pergi dan menyerahkan tanggung jawab pada Rin yang gugup banget. Bahkan saat dia harus membuka kancing kemejanya Saran, dia langsung memalingkan wajahnya dengan malu.

"Kenapa kau malu-malu? Kau sendiri yang ingin tinggal. Aku menyuruhmu pergi, tapi kau malah tidak mau."

Rin tidak mengerti dengan kekhawatiran Saran. Kan ada polisi yang berjaga di depan. Lagipula White Tiger mengira kalau Duang lah istrinya sheriff, White Tiger mengira Rin cuma seorang pelayan. Jadi Saran tidak perlu cemas.


Mendengar itu, Saran mendadak menarik Rin ke dalam dekapannya dan menuntut apa sebenarnya yang Rin inginkan. Saat dia menyuruh Rin kembali padanya, Rin malah tidak mau. Saat dia menyuruh Rin pergi, Rin juga tidak mau.

"Lalu bagaimana denganmu sendiri? Saat aku tinggal di sini, kau membuliku. Tapi saat aku ingin pulang, kau malah menyusulku dan memintaku untuk kembali. Berapa kali sudah hal itu terjadi."

Saran sontak terdiam mendengarnya, teringat setiap kali dia selalu menyusul Rin atau membawanya kabur ke desa setiap kali Rin berniat meninggalkannya.

"*Sigh* Karma kita pasti saling terlilit."

"White Tiger memiliki kebencian sebagai energinya. Dia mungkin sedang berusaha pulih secepatnya untuk membalasmu. Kalau kau mencemaskanku dan masyarakat, maka kau harus segera sembuh sebelum dia. Karena itulah, jangan marah."

"Marah? Aku bahkan tidak tahu apakah aku marah padamu."

 

Suasana di antara mereka mendadak berubah makin intens saat Saran perlahan mendekat untuk menci~mnya... tepat saat Nuer masuk dan sontak menepok jidatnya sendiri karena sudah jadi pengganggu.

"Ada apa?"

"Khun Panit dan Khun Braranee datang."

 

Panit penasaran menanyakan keadaan mereka. Rin memberitahunya bahwa ada polisi yang bergantian menjaga rumah ini. Saran sedikit tenang karena yang perlu dijaga sekarang cuma sedikit. Nuer sendiri bisa bela diri dan bisa memakai pistol, dan dia juga akan mengajari Rin bela diri besok.

Rin jelas kaget mendengarnya. "Aku juga perlu belajar?"

Panit dengan ramah meyakinkan Rin untuk tidak cemas. Dia yakin kalau White Tiger tidak akan kembali dalam waktu cepat. Dia datang membawakan gitar yang sudah dia janjikan pada Saran dan juga beberapa jajanan untuk mereka. Saran benar-benar berterima kasih atas kebaikan Panit dan juga atas bantuannya waktu itu.


Tapi kedatangan Panit jelas ada maunya saat kemudian dia mulai mengajukan usul untuk mengajak Saran berbisnis bersamanya.

"Bisnis apa? Kurasa gaji sheriff tidak akan cukup untuk investasi."

"Tidak. Kau tidak perlu menandatangani apapun. Ini bisnis penjualan beras. Aku hanya butuh namamu. Kita bisa membicarakan keuntungannya nanti."

Braranee senang mendengarnya. Bisnis ini bisa menguntungkan bagi mereka, ini bisa jadi penghasilan tambahan untuk mereka. Braranee benar-benar berterima kasih pada Panit, dia baik sekali pada keluarganya dengan mengajak mereka bekerja sama.

Tapi Saran jelas curiga dengan maksud Panit itu. Panit cuma butuh namanya? Dia yakin namanya tidak akan berguna. Yang Panit maksud pasti posisinya sebagai sheriff.

Panit mendadak canggung beralasan kalau dia hanya menginginkan Saran untuk menjadi dewan direksi. Dia bahkan langsung menyodorkan sebuah dokumen untuk Saran pelajari. Dia bermaksud baik kok. Ini bisnis keluarga.

Saran tegas menolak. "Bawa kembali saja. Aku tidak tertarik."

Panit mulai kesal mendengarnya. "Menolakku seperti ini. Aku sedih."

"Gitar yang kau berikan padaku dan segala hal yang kau lakukan. Jika memintaku untuk balas budi dengan cara seperti ini, kurasa itu terlalu murahan."


"Kesempatan baik seperti ini tidak datang setiap hari. Ibumu sudah tidak muda lagi. Kau baru saja berkeluarga dan akan segera memiliki anak. Kau harus memikirkan masa depan."

Braranee langsung mendukung suaminya dan berusaha meyakinkan Rin untuk membujuk Saran. Kalau mereka punya anak nanti, mereka akan membutuhkan banyak uang. Gaji pegawai negeri tidak akan cukup.

Tapi Rin tidak berani bicara apapun. Saran langsung terang-terangan mengkonfrontasi maksud Panit yang sebenarnya. Panit jelas-jelas bermaksud untuk menggelapkan uang negara, menggelapkan uang rakyat.

Braranee bingung. "Menggelapkan? Siapa yang menggelapkan siapa? Bagaimana bisa perusahaan Khun Panit menggelapkan apapun?"

Tapi sindiran Saran jelas tepat sasaran karena Panit mendadak emosi mengklaim kalau dia sudah memberi Saran kesempatan dan mengancam Saran untuk tidak memohon padanya jika Saran menyesal nantinya.


Dia langsung pergi dengan penuh amarah. Braranee tidak mengerti kenapa dia marah. Panit tambah kesal merutuki Saran dan kebodohannya. Bisa-bisanya Saran menolak uang dan stabilitas yang ditawarkannya.

Sikapnya itu malah membuat Braranee jadi penasaran dengan pertanyaan Saran tadi. Apakah penggelapan uang itu benar? Apakah pekerjaannya Panit benar-benar menggelapkan uang negara? Kenapa dia tidak pernah mengetahui hal itu?

Panit menyangkal dan menuduh Saran bicara omong kosong. Tapi Braranee jelas mulai meragukannya sekarang.


Saat membawa Saran kembali ke kamar, Rin menuntut apa yang sebenarnya terjadi tadi. Dia benar-benar tidak mengerti.

"Perusahaannya Khun Panit menjual beras. Apa kau tahu kondisi industri beras belakangan ini?"

"Pemerintah melarang ekspor karena sekarang ini tidak ada cukup beras untuk masyarakat."

Betul sekali. Beras bisa dijual mahal jika diekspor. Kebanyakan kerabatnya Panit ada di Penang dan Singapura dan wilayah yang mereka tinggali ini ada di perbatasan negara.

 

Setibanya di rumah, Braranee langsung menggeledah meja kerjanya Panit hingga akhirnya dia menemukan dokumen kontrak itu. Dan begitu membacanya, dia sontak terduduk lemas saking shock-nya menyadari Panit memang berbohong. Itu bukan kontrak jual-beli beras biasa, melainkan kontrak ekspor beras.

Bersambung ke part 4

Post a Comment

0 Comments