Sinopsis Padiwarada Episode 11 - Part 2

  


Setelah selesai berdansa, Naris pergi ke kamar kecil sementara kedua wanita penggosip itu memutuskan untuk menyapa Duang untuk apa lagi kalau bukan untuk menyindirnya secara halus.

Bagaimana hidup Duang sekarang setelah menikah dan tinggal di istana?... Oh, lupa. Naris sudah menjual istananya, kan? Rasanya sulit dipercaya. Duang pasti tak pernah mengizinkan itu, kan?

Tak mau malu, Duang mengklaim kalau dia dan Naris sekarang bahu-membahu memulai bisnis baru. Mereka baru saja menginvestasikan beberapa juta. Dia juga sibuk membantu sampai tidak punya waktu untuk istirahat.

"Oh, pantas saja kami tidak pernah melihatmu di acara perkumpulan sosial. Kalau ada orang yang menyebar rumor tentangmu, aku mengoreksi mereka loh. Orang-orang itu cuma iri pada Duang dan Naris yang hidup bak puteri dan pangeran, makanya mereka mengada-ada."


"Bagaimana dengan hidup kalian? Kudengar kau baru saja main ski di Swiss."

"Aku pergi setiap tahun sampai bosan rasanya. Aku tidak berada di Thailand, makanya aku melewatkan banyak acara, seperti upacara pernikahannya Khun Braranee. Kau tidak menghadirinya?" (Waduh! Mereka kenal Braranee? Bahaya!)

Parahnya lagi, mereka kemudian nyerocos panjang lebar bahwa putrinya Tuan Bumrung itu cuma dua. 

Braranee dan Buranee, sementara yang satunya... cuma orang di rumah mereka yang sangat amat mereka puja.

Duang jelas antusias mendengarnya. "Seseorang di rumah itu? Pelayan, maksudmu? Namanya Braralee, kan?"

Temannya membenarkan. Dulu dia pernah datang ke rumah keluarga Tuan Bumrung. Dia ingat kalau yang menikah dengan jutawan dari Paktai itu namanya Braralee, tapi entah kenapa namanya berubah jadi Braranee.

"Jadi begitu. Aku sudah menduga. Dia cuma seorang pelayan." Nyinyir Duang

"Kau mengenalnya juga?"

Alih-alih menjawab mereka, Duang langsung pamit pergi saat itu juga. Dia bertemu Naris di tengah tangga yang jelas penasaran dia mau ke mana?

"Aku mau pulang. Aku tidak mau makan lagi. Aku tidak lapar, aku pulang sekarang juga." Kata Duang lalu pergi tanpa mempedulikan Naris lagi.


Sesampainya di rumah, dia langsung mengepaki baju-bajunya lalu melarikan diri lewat jendela. Dia bisa melarikan diri dengan mudah karena ternyata dia pura-pura sakit, jadi dia menyuruh Naris tidur di kamar lain. Dan Naris dengan lugunya mempercayainya begitu saja.


Di Paktai, Jim Lim memanfaatkan kesempatan untuk mencoba memakai baju-bajunya Duang... tepat saat Duang mendadak muncul di sana dan jelas langsung ngamuk-ngamuk melihat baju-bajunya berterbaran di ruang tamu. 

Berani sekali dia! Dia tidak punya hak memakai baju-bajunya! Ngerti, nggak! Jim Lim langsung ketakutan memohon maaf padanya.

"Ke mana perginya orang-orang di rumah sebelah itu?"

"Oh, mereka pergi ke kantornya Pak Sheriff. Ada pesta perayaan hari ini. Mereka semua pergi, makanya saya memakai baju anda. Saya juga ingin pergi ke sana."


Itu pesta perayaan untuk menenangkan dan menyemangati warga terkait White Tiger. Ada acara dansanya juga. Bagus, Duang mendadak punya ide licik.


Para tetua berkumpul di meja yang sama. Pak Gubernur senang melihat warga bisa bersenang-senang. Ibu Saran berdoa sepenuh hati agar Kao cepat mati biar daerah ini bisa tenang dan ceria kembali. 

Tapi bagaimanapun, mereka tetap tidak boleh lengah. Kepala Sheriff akan membentuk pasukan malam ini.


Di luar, para warga termasuk Rin dan Saran sedang menikmati acara drama panggung (semacam ludruk). Rin tampak sangat menyukai acara itu, apalagi ini pertama kalinya dia melihat pertunjukkan semacam itu.

Tapi tiba-tiba para fansgirl-nya Saran muncul dan langsung jejeritan heboh melihat Saran sampai membuat Saran panik menyembunyikan dirinya di balik punggung Rin. LOL!

"Pak Sheriff bermata manis, sudah lama aku mencarimu. Kami ini para wanita dari kejadian ledakan bis waktu itu, apa kau ingat?"

"Err... iya, apa kabar? Apa kalian kemari untuk jalan-jalan?"

Betul sekali. Mereka naik mobil kemari untuk jalan-jalan. Mereka senang Saran sudah sembuh. Seorang wanita bahkan terlalu antusias mau memeluk Saran. Saran jelas panik dan buru-buru memperkenalkan Rin sebagai istrinya.


"Kami sudah tahu kok. Ada rumor yang mengatakan bahwa Pak Sheriff yang tak bisa mengalihkan pandangannya dari Naree, punya dua istri."

"Kenapa nama itu sama dengan karakter di buku?" Heran Rin.

"Itu karena tatapan matanya, makanya kami memanggilnya... Pak Sheriff si penakluk wanita, punya dua istri!"

Rin sontak melempar tatapan mengerikan pada Saran. Saran langsung tegang dan buru-buru menyangkal, dia cuma punya satu istri kok, dia tidak punya istri lain.


"Aduh, Pak Sheriff. Kau itu gagah, kuat dan punya postur berwibawa. Tidak masalah berapa banyak istri yang kau miliki. Nyonya, anggap saja hari ini melakukan amal. Biarkan aku memeluk suamimu untuk memuaskan hatiku sekali saja!"

Rin santai saja, malah Saran yang panik ketakutan. "Tidak boleh! Aku sudah punya istri. Anda tidak boleh memelukku. Kenapa kau malah ketawa? Apa kau rela berbagi suamimu dengan orang lain?"

"Dia tampan sekali. Sempurna banget untukku. Peluk aku, dong!" Heboh seorang bibi-bibi ganjen yang ngebet pengen meluk Saran.

"Nggak mau! Nggak mau! Rin, tolong aku!" Panik Saran,  tapi Rin malah cuma ketawa geli.


Sementara itu, Arun dan Bu sedang berusaha menghibur Braranee. Tapi Braranee masih saja menolak semua kebaikan mereka dengan muka jutek. Dia bahkan langsung menjauh untuk menghindari mereka. Arun langsung pergi mengejarnya.


Tinggallah Buranee sendirian di sana. Saat dia tengah menikmati pemandangan orang-orang di sekitarnya, Chalat mendadak muncul dan langsung sok romantis membahas sebuah puisi cinta dengan gaya dramatis yang dia klaim karyanya Shakespeare.

"Itu bukan (karya) Shakespeare, tapi Soontone (seorang penyair Thai)." Santai Bu. Pfft! Malunya Chalat.

Berusaha menutupi malunya, Chalat langsung nyerocos tentang puisi cinta lain. Kali ini Bu membenarkan kalau itu memang puisinya Shakespeare sambil nyindir ilmu pengetahuan Chalat. 

Chalat beralasan kalau dia ketiduran karena kecapekan waktu mempelajari karya-karya sastra itu. Bu hebat juga, tapi... mereka harus mulai dari mana?

"Mulai apa?"

"Cinta lah."

Bu sebal mendengarnya. Chalat bahkan tidak belajar dengan benar, ilmu pengetahuannya sangat kurang, dan yang dilakukannya cuma menyia-nyiakan waktu untuk ngerayu cewek. Dia langsung pergi dengan kesal.

"Jawaban-jawabannya jleb banget. Dia bahkan tidak malu sama sekali. Belum pernah sebelumnya aku bertemu wanita seperti itu. Aku harus terus berjuang!"


Tak menyerah begitu saja, Chalat berusaha sok menunjukkan kepintarannya dengan menyebutkan berbagai nama kesenian tradisional yang sedang ditampilkan di panggung, tapi Bu langsung sinis dan dengan mudahnya mengoreksi semua kesalahan Chalat sampai Chalat malu.

"Kau sepintar ini, siapa yang berani merayumu?"

"Seseorang yang pintar sepertiku dong, pastinya."

"Mulutnya tajem banget."

"Kalau kau tahu itu, jangan buang-buang waktu denganku. Tuh, lihat di sana. Putri dan keponakan Pak gubernur, semuanya cantik-cantik."

Chalat ngotot kalau dia masih punya banyak kelebihan biarpun dia kurang pintar. Seperti misalnya... dan mendadak dia bingung memikirkan apa kelebihannya. Wkwkwk! 

Tapi biarpun sekarang dia tidak bisa memikirkan apa kelebihan dirinya, tapi suatu hari nanti, Bu pasti akan bisa melihatnya. Lihat saja nanti.

"Baiklah, akan kutunggu. Aku bahkan akan membantumu mencarinya." Sinis Bu.


Di dalam gedung, Kepala Sheriff mengaku bahwa ia mengundang para tetua kota ini agar mereka bisa melihat Saran karena dialah sang aktor utama di pesta ini. Acara lalu dilanjutkan dengan acara dansa. Satu per satu, Chode mengundang beberapa tetua secara berpasangan dan pastinya Saran dan Rin.


Tiba-tiba seorang Nyonya menyapa Braranee. Ternyata si Nyonya dulu pernah menghadiri pernikahannya Braranee dan sekarang dia penasaran kenapa Panit tidak bersamanya. Braranee canggung beralasan kalau Panit ada pekerjaan di Penang.

Tapi si Nyonya terus saja tanya ini-itu tentang kehidupan pernikahan Braranee sampai membuat Braranee tak nyaman. 

Untunglah Arun bertindak cepat menyelamatkannya dengan membawa Braranee ke panggung lantai dansa.


Begitu Bu tertinggal sendirian di meja, Chalat langsung mendekatinya lagi untuk mengajaknya berdansa juga. Bu menolak. Kalau dia berdansa bersama Chalat, maka Chalat mungkin akan berkata kalau mereka berdua adalah pasangan di kehidupan mereka yang sebelumnya.

Chalat beralasan kalau ini cuma demi kesopan-santunan. Dia tidak akan berkata begitu kok. Di meja ini kan sudah tidak ada pria yang bisa mengajaknya berdansa. Jadi atas dasar kesopan-santunan, tugas Chalat lah untuk mengajaknya berdansa. Bu akhirnya menerimanya dengan kesal.


Rin geli melihat Saran yang menari asal-asalan. Saran mengaku kalau dia sudah tidak pernah lagi mengikuti acara-acara seperti ini sejak dia keluar dari rumah Sivavet dan pindah ke biara.

"Tapi kepribadianmu tampak seperti orang ningrat. Bagaimanapun, kau tetaplah Sivavet. Jadi, lebih percaya dirilah dengan dirimu sendiri."

"Sivavet yang puas menjadi sheriff yang miskin, aku tidak akan pernah bisa kembali menjadi ningrat. Kalau tidak banyak tetua di sini, aku pasti akan membawamu pulang sekarang. Kita bisa tidur saling berpelukan, itu lebih menyenangkan daripada ini."

Pfft! Dasar Saran. Rin sampai malu dibuatnya. Tapi sayang, ditengah kebahagiaan mereka, tiba-tiba muncullah si pelakor Duangsawat yang pastinya datang untuk merusak kebahagiaan mereka.

Bersambung ke part 3

Post a Comment

0 Comments