Tiger Bang melaporkan hasil pantauannya semalam. Memang ada seseorang yang membuntuti Koon kemarin dan dia yakin kalau orang itu adalah si sheriff dan rekannya.
"Kau harus berhati-hati, Koon. Bagaimana bisa kau membiarkan mereka sampai kemari? Untung saja P'Kao sadar." Omel salah satu bandit.
"Maaf, P'."
"Terakhir kali, si sheriff baru itu menyalahkan kita. Aku ingin sekali melihat wajahnya. Dari mana dia mendapat keberanian untuk menantang White Tiger sepertiku?"
Bang menduga kalau mungkin karena si sheriff itu merasa hebat setelah berhasil menangkap para pencuri kerbau. Dan sekarang dia pasti ingin naik pangkat, makanya dia berani menantang mereka.
"Sekarang mereka sudah semakin dekat dengan markas kita. Mereka mungkin akan membawa lebih banyak orang."
Tapi Kao tetap tenang. Jalan masuk ke markas mereka penuh liku-liku. Dia yakin kalau para sheriff itu takkan bisa menemukan mereka.
Menurut Bang, masalah ini akan selesai sampai di sini jika mereka menyingkirkan si sheriff itu. Itu pekerjaan mudah baginya, biarkan dia yang menanganinya. Kao setuju.
Di rumah Kepala Desa, para wanita mendengarkan dari belakang sementara para pria mendiskusikan perkiraan letak markasnya geng White Tiger.
Menurut rumor, geng bandit itu mendiami sebelah utara Kao Kut. Tapi Kepala Desa yakin kalau mereka ada di selatan.
Chode memberitahu Saran bahwa tempat yang mereka tuju kemarin itu adalah Gunung Nam Yen. Dan jika mereka berjalan lebih jauh sedikit, mereka akan menemukan banyak sekali air terjun. Air di sana sangat dingin, makanya disebut Gunung Nam Yen (nam yen artinya air dingin).
Menurut rumor yang beredar dari generasi terdahulu, di hutan Gunung Nam Yen itu ada banyak hantu yang menakut-nakuti orang-orang.
Bahkan katanya, hantu-hantu di sana banyak membuat orang-orang terjun dari air terjun dan mati. Makanya para warga tak ada yang berani ke sana.
Saran menyimpulkan kalau tempat itu adalah tempat yang tepat sebagai tempat persembunyian para bandit. Kalau begitu, Chode menyarankan agar mereka membiarkan polisi menyelidiki tempat itu.
"Baiklah. Setelah rapat ini selesai, mari berkemas dan kembali ke kota."
Ibu Kepala Desa senang mendengarnya. Kalau polisi datang untuk menghancurkan markas geng bandit itu, maka putrinya akan kembali.
Saat mereka makan siang bersama hari itu, Saran sekali lagi mencoba menyelidiki Rin dengan meminta Rin bercerita tentang orang tuanya. Dia kan sudah bercerita tentang orang tuanya, jadi sekarang giliran Rin.
"Kenapa orang tuamu menjadikanmu sebagai pembantu?"
"Aku bukan pembantu, aku putri mereka!"
"Baiklah kalau kau memang putri mereka. Tapi tidak perlu meninggikan suaramu. Kau bilang kau dua adik, kan?"
"Iya. aku punya dua adik perempuan."
"Apa saat paling bahagia yang kau miliki bersama keluargamu?"
"Saling ngobrol aja dan menanyakan kabar masing-masing. Itu yang terbaik. Semua keluarga seperti itu."
"Suami dan istri... bisa bersenang-senang daripada sekedar ngobrol loh. Tugas yang harus dilaksanakan pada satu sama lain seperti yang Khun Chode bilang." Goda Saran yang jelas saja membuat Rin sebal mendengarnya.
"Maksudmu bersenang-senang seperti yang kau lakukan bersama Khun Duangsawat?"
Saran langsung kecut mendengarnya. Mengalihkan topik kembali ke keluarganya, Rin ingat suatu waktu saat teman-teman adiknya mengadakan pesta dansa. Butuh waktu satu bulan untuk menjahit baju-baju mereka sampai mereka hampir tidak bisa tidur.
Total semuanya 4 baju, untuk ayah, ibu dan juga kedua adiknya. Jelas saja Saran semakin heran mendengarnya, lalu bagaimana dengan Rin sendiri? Canggung, Rin beralasan kalau dia tidak pernah suka menghadiri pesta.
"Dan selama mereka pergi ke pesta..."
"Aku harus masuk dapur dan menyiapkan makanan untuk keesokan harinya."
"Sendirian?"
"Iya."
"Apa kau benar-benar putri mereka?"
"Tentu saja!"
"Dan apakah ini kebahagiaanmu?"
Rin mengiyakannya, tapi jelas-jelas tidak tampak raut kebahagiaan di wajahnya. Melihat itu, Saran berkata bahwa jika lain kali Rin harus sendirian di dapur saat yang lain pergi ke pesta, Saran akan menemaninya memotong sayuran.
"Teman tidak mencampakkan temannya. Mulai sekarang, kau punya aku." Ujar Saran. Rin terharu mendengarnya.
Di sebuah pesta, Chalat sedang tebar pesona pada para gadis-gadis dengan bermain sulap untuk mereka. Braranee, Panit dan Buranee juga datang ke pesta yang sama.
Bu langsung tak senang saat melihat Chalat yang jelas-jelas sedang menggodai para cewek-cewek itu. Tak ingin mengganggu momen romantis antara Braranee dan Panit, Bu memutuskan untuk keluar ke dermaga. Chalat melihatnya saat itu dan langsung keluar menyusul Bu.
Panit sudah tidak sabaran ingin menikahi Braranee. Dia tidak mau menunggu 2 tahun dan karena itulah dia ingin mengubah acara pertunangan mereka jadi upacara pernikahan.
Lagipula pesta pertunangan mereka nantinya akan diadakan besar-besaran dan tidak akan ada bedanya dengan pesta pernikahan. Braranee ragu, apakah ayahnya akan mengizinkan?
"Kau harus membantuku membicarakan hal itu pada beliau. Cintaku padamu begitu menyesakkan hingga terasa ingin melompat keluar dari dadaku."
"Tapi pesta pertunangan kita akan diadakan akhir bulan ini. Apa kau akan punya waktu untuk mengubah acara itu?"
"Aku punya waktu. Apapun yang terjadi, itu harus dilakukan tepat waktu. Aku punya uang kok. Bantu aku membicarakannya dengan Ayah, yah, Khun Braralee?"
"Baiklah. Aku akan mencoba menanyakannya ke ayahku."
Bu sedang asyik membaca bukunya dengan tenang saat tiba-tiba saja Chalat datang mengganggunya.
"Tempat ini bukan untuk membaca."
"Kulihat ini tempat di mana kau bisa berbincang dengan gadis-gadis." Balas Bu
Chalat beralasan kalau para wanita itu tadi adalah temannya. "Namaku Chalat Rapeepan. Apa kau ingat aku? Aku mengingatmu dengan baik, Khun Buranee Bumrung Prachakit."
"Sudah kuduga kita akan bertemu lagi, makanya aku mengembalikan ini." Ucap Bu sambil mengembalikan saputangannya Chalat.
Canggung, Chalat langsung pura-pura seolah dia tak tahu bagaimana ceritanya saputangan itu bisa ada di tangan Bu. Tapi Bu jelas tak percaya. Awalnya juga dia bingung.
Tapi setelah dipikir-pikir, dia yakin kalau Chalat memang sengaja memasukkan saputangan itu ke tasnya. Chalat akhirnya mengakuinya. Waktu itu dia bahkan datang keesokan harinya dan menunggu Bu, tapi Bu tidak datang.
"Aku sudah mengembalikannya, jadi kita sekarang impas. Oke?"
Bu langsung pergi menghindarinya. Tapi tentu saja Chalat langsung mengejarnya sambil nyerocos memuji-muji tekad Bu untuk mendapatkan gelar sarjananya.
"Apa kau tidak kuliah?" Tanya Bu.
"Oh, aku lulus di Phranakorn lalu melanjutkan studiku di Inggris. Orang tuaku ingin aku kuliah, tapi aku merindukan teman-teman dan rumahku, makanya aku kembali."
"Oh, jadi kau belum menyelesaikan kuliahmu?" Ejek Bu. (Pfft!)
Chalat sontak memalingkan muka dengan malu. Baru kali ini dia merasa begitu buruk di hadapan wanita.
"Kau orang pertama yang membuatku menyesalinya."
"Kau keturunan konglomerat dan punya banyak uang, itulah yang membuatmu berpikir kalau sekolah itu tidak penting. Bukankah begitu?"
"Dan bagaimana denganmu? Kau itu wanita. Sekolah tidak penting bagimu, jadi kenapa juga kau bersekolah?"
"Memiliki ilmu pengetahuan jauh lebih penting daripada uang. Jika kau punya ilmu, maka kau bisa menghasilkan uang sekaligus menyimpan uang. Tapi jika kau punya yang tanpa ilmu, maka orang-orang akan menghina setiap kata yang kau ucapkan. Besok aku ada ujian, permisi." Ujar Bu lalu pergi.
Panit pergi ke toilet saat Chalat baru kembali ke pesta. Mumpung Braranee lagi sendirian, Chalat langsung memanfaatkan keadaan untuk melakukan perintah Saran.
Dia langsung menghampiri Braranee dan mencoba memanggilnya sebagai Braralee. Awalnya Braranee tidak dengar, tapi saat kedua kalinya Chalat memanggilnya, Braranee refleks menoleh yang jelas saja membuat Chalat semakin curiga.
Braranee berusaha menegaskan kalau namanya adalah Braranee, Braralee adalah kakaknya. Tapi tentu saja Chalat tidak mempercayainya begitu saja. Barusan Braranee menoleh saat dia memanggilnya Braralee.
"Aku menoleh untuk melihat siapa yang memanggil."
Chalat tampak jelas tidak mempercayainya, tapi dia akhirnya dia memutuskan untuk tidak mempermasalahkannya lagi lebih lanjut. Dia berniat pergi tepat saat Panit baru kembali dan jelas penasaran dengannya.
Chalat pun memperkenalkan namanya. Begitu mendengar nama Rapeepan, Panit langsung mengenali nama itu. Apa Chalat adalah pemilik dari perusahaan kayu terbesar yang ada di Chiang Mai itu?
"Oh, itu ayahku. Bukan aku."
"Kau sangat rendah hati. Senang bertemu denganmu."
Panit pun langsung memperkenalkan dirinya dan memberitahu Chalat kalau dia punya bisnis ekspor-impor di Songkra.
"Baiklah. Barusan aku tidak ingat nama Khun Ying. Jadi namanya Braranee atau Braralee?"
Braranee menegaskan kalau namanya adalah Braranee, pakai 'N'. Walaupun masih belum bisa mempercayai Braranee, tapi Chalat memutuskan mengakhiri percakapan mereka sampai di sini lalu pamit.
Braranee jelas cemas dengan pria itu. Dia aneh sekali, tampaknya tidak bisa dipercaya. Panit mengingatkan Braranee bahwa menjaga rahasia tentang Rin tidak mudah, karena itulah dia harus memberitahu ayahnya untuk berhati-hati.
0 Comments
Hai, terima kasih atas komentarnya, dan maaf kalau komentarnya tidak langsung muncul ya, karena semua komentar akan dimoderasi demi menghindari spam