Sinopsis Padiwarada Episode 5 - Part 2

Flashback.

Ibu memberitahu Saran bahwa pasutri harus memiliki 4 kualitas: Som Sata (memiliki keyakinan yang sama), Som Sila (sama-sama menjadi orang baik), Som Jaka (sama-sama murah hati), dan Som Panya (memiliki kecerdasan yang sama).

Mendengar itu, Saran mengaku kalau Duang selama ini tak pernah menyukai pekerjaannya, sementara dia sendiri memiliki keyakinan penuh demi melayani masyarakat.

"Tidak salah jika sendok berpasangan dengan pena. Masing-masing punya jalannya sendiri. Yang penting kalian adalah manusia dan bukannya kertas atau pena. Manusia bisa berubah."

"Berubah untuk memiliki keyakinan yang sama?"

"Benar. Berubah karena saling memahami. Meletakkan hati kita pada mereka dan sebaliknya (saling memahami satu sama lain)."

"Bukankah itu membutuhkan cinta?"

"Betul sekali. Pasangan yang memiliki keyakinan yang sama. Ketika sendok bertemu garpu, kalian harus saling membantu satu sama lain untuk mengambil makanan. Saat pena bertemu kertas, maka kalian harus saling membantu menulis kata-kata yang baik. Siapapun yang memiliki pasangan seperti ini, sangatlah beruntung."

Tapi Saran masih pesimis. Biarpun dia dan Rin memiliki keyakinan yang sama, tetap saja mereka butuh cinta. Walaupun dia dan Duang saling mencintai selama 10 tahun lebih, pada akhirnya hubungan mereka gagal. Sementara tentang Rin, entah bagaimana ke depannya nanti.

Flashback end.


Tapi sekarang Saran mulai yakin kalau Rin adalah pasangan yang tepat untuknya. Dia sontak menggenggam tangan Rin dan berkata ambigu. "Kau adalah kertasku."

Rin jelas bingung apa maksudnya. Tak nyaman juga dengan genggaman tangan Saran, Rin langsung protes dan melepaskan tangannya.

"Kita kan teman? Teman bermain dengan teman." Ujar Saran sambil gemas mencubit pipi Rin.

Kesal, Rin sontak balas mencubit tangan Saran keras-keras sampai Saran kesakitan. Ini kedua kalinya Rin menyakitinya, bagaimana bisa cubitannya sesakit ini?

"Jempol dan jari telunjuk menyentuh daging lalu diputar sekuat tenaga lalu cubit keras-keras dan tinggalkan jejak kukumu."

"Kau ahli juga. Lihat, nih. Kulitku jadi lebam."

"Aku bukan mainanmu. Jangan pernah menyentuhku lagi. Aku tidak suka!" Rin langsung pergi dengan muka cemberut, meninggalkan Saran yang masih mesam-mesem bahagia.


Suwantra - sepupunya Duang baru kembali dari liburannya saat dia ditelepon Ibunya Duang dan menanyakan keberadaan Duang. Apa dia di sana? Ibu sudah bertanya pada para pembantunya, tapi mereka tidak tahu menahu.

Suwantra sontak canggung beralasan kalau dia dan Duang pergi bersama. Apalagi kemudian Ibu minta bicara dengan Duang. Terpaksalah dia harus berbohong kalau Duang tidak ingin bicara dengan orang tuanya saat ini, tapi Duang berpesan agar mereka tidak usah mengkhawatirkannya. Dia akan kembali ke ibukota begitu dia sudah merasa lebih baik.

Ibunya Duang percaya-percaya saja dengan kebohongannya. "Kenapa dia keras kepala sekali? Tapi baiklah. Bibi merasa tenang mengetahui dia bersamamu. Bagaimanapun, suruh dia untuk menghubungi bibi secepatnya, yah?"

"Baik, Bi." Tapi begitu menutup teleponnya, Suwantra sebenarnya merasa bersalah juga karena sudah berbohong. Tapi dia terpaksa melakukannya karena dipaksa Duang.


Ayahnya Duang penasaran kapan tepatnya 'Duang akan menghubungi mereka kembali saat dia merasa lebih baik nanti'? Mereka tidak boleh membiarkan masalah ini begitu saja. Mereka bisa malu kalau sampai ada orang yang tahu kalau Duang melarikan diri padahal baru menikah satu bulan.

Ibu mengingatkan Ayah bahwa mereka tidak boleh membiarkan siapapun tahu. Kalau ada orang yang tanya, bilang saja kalau Duang ada di istananya.

Naris juga aneh banget. Dia bahkan tidak mengatakan apapun atau menanyakan apapun tentang Duang. Bisa-bisanya dia bersikap acuh padahal istrinya menghilang. Orang macam apa dia itu sebenarnya?


Setelah sekian lama melakukan pengintaian, Saran dan Chode akhirnya melihat seseorang mendatangi Ayahnya Tiger Bang untuk membawakannya makanan.

Pria itu tanya apakah ada seseorang yang pernah mendatangi Ayah, soalnya Bang bilang akan ada polisi yang akan mendatangi tempat ini.

"Siapa juga yang peduli denganku? Sudah lama aku tidak diganggu siapapun gara-gara anak durhaka itu." Sinis Ayah.

"P'Bang sangat mencemaskan Ayah. Makanya dia membawakan semua makanan dan obat-obatan ini."

"Semua ini barang curian. Kalian berdosa dengan melakukan itu pada warga desa. Orang-orang seperti kalian tidak akan mati dengan baik. Lihat saja nanti."


Malas mendengar omelan Ayah, pria itu langsung pergi meninggalkannya. Saran dan Chode pun bergegas membuntutinya. Siang berganti malam, pria itu terus berjalan cepat tanpa menyadari orang-orang yang membuntutinya. Chode bingung, ini bukan arah menuju Kao Kut. Di mana sebenarnya geng itu?

"Pokoknya kita harus tahu markas mereka dulu. Jangan biarkan mereka tahu."


Di markasnya, Kao sedang bersemedi sambil komat-kamit baca mantra. Hmm... ternyata dia memang punya ilmu hitam. Tapi tiba-tiba matanya membuka dengan cemas.

Oh, sepertinya ilmu hitamnya membuatnya bisa merasakan kehadiran orang-orang yang sedang membuntuti anak buahnya. Dia bahkan langsung menyuruh Bang untuk mengirim seseorang menjemput anak buahnya itu secepat mungkin.

"Memangnya ada apa, P'? Koon pergi membawakan perbekalan untuk ayahku seperti biasanya. Mungkin tidak ada apa-apa."

"Malam ini ada sesuatu yang salah. Kita mungkin akan mendapat masalah. Lebih baik menamengi diri daripada harus mengatasi masalahya nanti. Kita tidak boleh membiarkan mereka tahu keberadaan kita."


Bang dan seorang rekannya akhirnya pergi menyusul Koon. Koon sendiri sedang membasuh dirinya di sungai saat tiba-tiba saja dia mendengar kicauan burung yang sepertinya merupakan pertanda dari anggota gengnya.

Koon sontak menempelkan kupingnya ke tanah dan saat itulah akhirnya dia menyadari dua orang yang sedang membuntutinya itu. Koon pun cepat-cepat membunyikan dirinya di balik bebatuan besar sambil bersiap dengan senjata mereka.


Saat Saran dan Chode tiba di sungai, mereka sudah tidak melihat orang itu lagi. Chode berniat mau mencari pria itu dan menyuruh Saran untuk melindunginya dari sini.

Tapi Saran sontak melarangnya. Chode baru punya anak, jadi dia harus tetap aman di sini. Chode harus paham aturan kerjanya, dialah yang harus memimpin di depan. Chode di sini saja, biar Saran sendiri yang mencari pria itu.

Wah, Chode kagum mendengarnya. "Itulah yang kusebut pria sejati."


Saran pun pergi menyusuri sungai itu dengan hanya berbekal pistolnya. Dia sudah hampir mendekati persembunyian Koon saat tiba-tiba saja dia melihat Bang dan rekannya muncul untuk menyusul Koon dan bergegas membawanya pergi. Untung saja Saran cepat-cepat menyembunyikan dirinya sebelum mereka sempat melihatnya.


Di markas mereka, Kao sedang menggambar entah apa, mungkin semacam mantra-mantra. Dan begitu dia selesai menggambar, dia langsung tahu kalau anak-anak buahnya selamat.


"Mereka menuju ke selatan. Haruskah kita mengikuti mereka?" Tanya Chode

Tidak. Mereka ada tiga orang dan sepertinya mereka tidak bisa dianggap remeh. Lebih baik jangan mengambil resiko sekarang. Chode ngotot kalau mereka pasti akan menemukan markas mereka jika mereka membuntuti orang-orang itu.

Tapi Saran bersikeras melarang. Yang paling penting sekarang adalah mereka tidak boleh sampai lengah. "Jika aku tidak melihat jalan menuju kemenangan, maka tidak mungkin aku terus maju."


Rin terbangun keesokan harinya tapi mendapati tempat tidurnya Saran masih kosong. Dia jadi semakin cemas dan gelisah menunggu Saran.

Saat akhirnya dia melihat Saran berjalan dari kejauhan, senyum Rin sontak mengembang lebar dan bergegas turun untuk menyambutnya.

"Kau mau lari ke mana? Berhati-hatilah, kau mungkin bisa jatuh dari tangga."

Rin tak peduli omelannya dan langsung mengeceknya dari atas ke bawah, memastikannya kembali dalam keadaan utuh dan aman. Dia benar-benar lega Saran pulang.

"Kau berlari dari sana karena kau mencemaskanku?"

"Nggak tuh. Aku mau membantu para ibu-ibu memasak. Aku sudah antusias seperti ini sejak pagi."

"Antusias sejak pagi? Bagaimana bisa kau berkata begitu? Kenapa tidak bilang saja kalau kau mungkin disentuh gara-gara kau tidur terlalu lelap?" Goda Saran.


Duang antusias mencicipi masakan Jim Lim (pembantu barunya), tapi malah mendapati masakannya tidak enak.

"Saya kan sudah bilang kalau saya tidak cocok dengan pekerjaan ini."

"Kalau kau tidak bisa melakukan pekerjaan rumah tangga dan memasak. Lalu kau bisa apa?"

"Err... saya pandai menjilat." (Pfft! Pembantu nggak berguna)

Jelas saja jawabannya itu sontak mendapat pelototan tajam dari Duang. Kalau begitu begini saja, Jim Lim tahu sebuah restoran yang menyediakan makanan enak dan mewah. Dia akan memesankan makanan untuk Duang dari sana.

Baiklah. Tapi sepertinya Jim Lim tahu banyak hal. Apa dia juga bisa memberitahunya tentang orang-orang di kota ini? Karena sekarang dia tinggal di sini, maka dia harus mengenal orang-orang di kota.

Bersambung ke part 3

Post a Comment

0 Comments