Sinopsis Padiwarada Episode 4 - Part 5


Di rumah, Ibu mengusir kedua tamu pengganggu itu dengan sopan. Tapi Duang terus celingukan kesana-kemari, bukan mencari Saran tapi mencari Rin. Dia di mana? Perasaan, Duang belum melihatnya sedari tadi pagi.

"Saran memaksa Braralee pergi ke desa bersamanya."

"Ke desa?" Duang dan Arun kontan kompak kaget.

"Saran pergi menangkap bandit, gengnya White Tiger. Dia akan pergi selama beberapa hari, makanya Saran membawa istrinya ke sana."

Arun cemas kalau Rin dalam bahaya, tapi Duang lebih penasaran mereka pergi ke mana. Tapi tentu saja Ibu menolak memberikan jawaban apapun. Lebih baik mereka mengakhiri perasaan mereka, pulanglah dan mulailah hidup baru.

Duang jelas kesal dan tak bisa menerimanya begitu saja, tapi tak ada yang bisa dilakukannya dan akhirnya dia hanya bisa mengepalkan tangannya dengan penuh amarah.


Ibu Kepala Desa membawa Saran dan Rin ke sebuah rumah kosong. Rumah ini sebenarnya dibangun Kepala Desa untuk putra tertuanya yang ditembak mati oleh Tiger Bang.

Ibu Kepala Desa berkaca-kaca teringat putranya dulu sebenarnya hendak menikah, tapi malah meninggal dunia. Saran penasaran apakah mereka tidak punya anak lain yang mendiami rumah ini?

"Mereka tidak berani. Kepala Desa sangat mencintai putra tertuanya karena dia anak yang baik. Waktu dia mati, kami tidak bisa makan dan tidur dengan baik. Setiap kali teringat dia, mataku langsung berkaca-kaca."

Prihatin melihat kesedihannya, Rin meyakinkan Ibu Kepala Desa bahwa jika orang baik meninggal dunia, maka mereka akan pergi ke tempat yang baik pula.

Ibu Kepala Desa terharu mendengarnya. "Nona, kau mengkhawatirkan orang tua sepertiku. Kau sangat manis. Kalian berdua tinggal saja di sini. Kalau butuh apa-apa, jalan saja ke rumah utama. Aku akan menyiapkannya untukmu."

"Baik."


Tapi saat Rin melihat ke dalam, dia malah cuma mendapati satu kamar dan satu kasur yang kontan membuatnya panik. Ibu Kepala Desa jelas bingung mendengar kepanikannya, masa Rin mau dua kamar?

Err... tidak. Tapi bolehkah dia meminta satu set kasur dan jaring nyamuk lagi? Tapi Saran cepat-cepat menyela dan mengklaim kalau mereka berdua bisa tinggal di sini. Oh, yah. Istrinya ini akan membuatkan sambal untuk mereka. Rasanya enak banget loh.

"Kapan aku bilang begitu?" Kesal Rin. Tapi kemudian dia punya ide bagus dan menyatakan kalau bukan dia seorang yang akan membuatnya... Saran juga akan membantunya. Pfft!

"Ini aturan kami. Siapapun yang ingin makan sambal, dialah yang harus membuatnya." Ujar Rin dengan senyum manis yang jelas membuat Saran sebal, tapi tak mungkin juga dia menolaknya di hadapan Ibu Kepala Desa.


Terpaksalah Saran harus masuk dapur tak lama kemudian. Rin dengan santainya menyodorkan bahan-bahan masakannya dan menegaskan kalau Saran harus membantuanya masak atau dia tidak akan bisa makan.

"Aku tidak tahu bagaimana melakukannya. Aku tidak pernah melakukannya."

"Kalau begitu... yah, tidak usah makan saja."

"Tunggu! Aku akan memasak deh."

Tapi dia bahkan tidak tahu macam-macam sayuran yang ada di hadapannya dan cuma membolak-baliknya dengan bingung. Rin sampai geli melihatnya, sepertinya Saran benar-benar ingin makan.

Dia jadi teringat saat Saran berbohong kalau dia tidak menyukai segala sesuatu yang Rin lakukan. "Bibirmu tertutup rapat sekali, yah?" Gumamnya.

"Kau bilang apa?"

"Tidak ada," sangkal Rin.


Dia lalu mengajari Saran bagaimana cara memotong sayuran-sayuran itu. Tapi saat Saran sedang serius memotong sayurannya, Rin teringat kembali ucapan Duang tentang awal mula Saran mulai suka makan sambal adalah karena Duang.

"Setiap kali kau makan sambal, kau pasti teringat padanya, yah?"

Saran bingung. "Siapa yang kau maksud?"

Cepat-cepat mengalihkan topik, Rin mengaku pernah diberitahu oleh ayahnya kalau Saran sangat mencintai pekerjaannya. Apa dia benar-benar bertekad menangkap White Tiger? Saran heran mendengarnya. Ayah Rin tahu tentangnya?

"Ia selalu menganggapmu sebagai keponakannya. Jika tidak, ia tidak akan mengirimku kemari."

"Aku berusaha untuk mempercayainya. Maaf, tapi waktu ayahku meninggal dunia, aku tidak melihat siapapun, termasuk ayahmu."

"Waktu itu beliau berada di luar negeri. Pekerjaannya juga sedang tidak stabil kala itu. Maaf, kau bilang ayahmu jatuh bangkrut."

"Ayahku bunuh diri karena dia dikhianati dan jatuh bangkrut. Dan orang yang menipunya adalah seorang pegawai negeri sepertiku."


Nuer dengan senang hati mengantarkan Duang dan Arun ke stasiun kereta, bahkan meminta mereka untuk segera pergi dan jangan pernah kembali lagi. Dia lalu pergi meninggalkan mereka setelah memberikan tiket-tiket mereka.

Arun jelas kesal. Dia benar-benar tidak bisa berhenti mencemaskan Rin, terutama karena hubungan dekat Saran dengan Duang dan juga karena masalah bandit itu. Duang tidak terima. Apa Ibunya Saran pikir bisa segampang itu mengakhiri perasaan mereka

Arun menolak menyerah begitu saja. Begitu dia kembali ke ibukota, dia akan berusaha mencari cara untuk bisa kembali kemari. Mendengar itu, Duang sepertinya mulai memikirkan sesuatu.


Saran bercerita bahwa setelah semua harta mereka disita, teman-teman ayahnya langsung menjauhi mereka. Ayahnya jadi depresi hingga dia mabuk-mabukan dan akhirnya bunuh diri.

"Pasti karena masih ini kau ingin menjadi pegawai negeri, kan?"

"Garuda adalah kendaraan Dewa Wisnu - Dewa Bumi. Ia bertugas membawakan kedamaian pada dunia dan pada manusia. Jika tugas digunakan dengan cara yang salah, apa kau tahu apa yang akan terjadi?"

"Seluruh dunia akan kacau."

"Lalu bagaimana jika seseorang memikirkan kebutuhan orang lain lebih daripada dirinya sendiri?"

"Maka dunia akan damai." Rin mengerti. "Kau berlatih menembak dan bela diri demi memenuhi tugas itu?"

"Caramu memandangku... matamu... kau jatuh cinta padaku, kan?" Goda Saran.

"Udah gila apa?"

"Sebenarnya, pekerjaan ini menyenangkan juga. Pantas saja kau melakukannya seharian."


Dulu waktu Saran tinggal di biara, dia harus bekerja mencuci piring sepanjang hari. Awalnya membosankan, tapi lama-kelamaan menyenangkan juga.

"Kau mungkin stres saat latihan menembak. Tapi pekerjaan ini bisa mengurangi stresmu."

Saran senang dengan momen yang mereka miliki ini. Saling ngobrol sambil bekerja bersama. Rin tersenyum mendengarnya. Jadilah mereka bekerja sambil ngobrol akrab.


Arun dan Duang akhirnya naik kereta juga. Tapi Duang terus gelisah entah memikirkan apa sampai tidak mendengar Arun memanggilnya. Arun menyarankannya untuk ke toilet dulu sebelum kereta berangkat, tapi Duang menolak dan menyuruh Arun pergi sendiri saja.

Saat Arun kembali tak lama kemudian, dia malah tak mendapati Duang di sana. Di mana Duang? Tepat saat itu juga, kereta berangkat dan saat itulah Arun melihat Duang ternyata sudah turun dari kereta.

"Kau tidak bisa memikirkan apa yang akan kau lakukan, tapi aku tahu apa yang akan kulakukan." Sinis Duang.

Masakan Rin dan Saran pun jadi tak lama kemudian. Kepala Desa bisa maklum kenapa Suaminya Rin sangat mencintainya dan ingin selalu dekat dengan Rin setiap hari. Masakan Rin memang lezat.

"Sepertinya istrimu membiarkanmu kelaparan. Kau haus, kan? *wink-wink*" Goda Kepala Desa.

Rin sontak cemberut malu-malu yang jelas saja membuat Kepala Desa makin getol menggodainya. "Lihatlah. Dia tidak senang. Dia tidak mau aku ngomong keras-keras. Dia imut juga, yah?"


Malam harinya, Rin terkantuk-kantuk menunggu kedatangan Saran yang belum kembali. Dia hampir saja ketiduran di meja saat akhirnya Saran datang tak lama kemudian.

"Aku kan sudah bilang kalau aku akan pulang larut malam. Kenapa kau belum tidur?"

"Kau... tidur duluan saja."

Melihat tempat tidur mereka yang agak berjauhan, Saran langsung mengerti maksud Rin. Rin tidak mau tidur duluan pasti karena Rin takut kalau dia akan melakukan sesuatu pada Rin saat dia tidur, kan? Rin langsung canggung mendengarnya, ingin menyangkal tapi bingung harus ngomong apa.


Saran meyakinkan kalau dia tidak akan memaksa Rin. Khun Chode kan tadi memberitahunya bahwa tugas seorang suami adalah baik pada istri. Tapi bagaimana dengan Rin sendiri? Apa dia sudah melakukan tugasnya sebagai istri?

"Bisa tidak kau berhenti membicarakan masalah ini? Kita berdua tahu kalau kau tidak bisa melupakan Khun Duangsawat dan kau juga tidak bisa menganggapku lebih daripada yang seharusnya."

Saran kan pernah bilang kalau dia tidak mau lagi jadi bunga matahari dan tidak akan pernah lagi hidup demi matahari manapun. Masa dia sudah lupa?

"Kalau itu benar, apa kau akan menjadi istrinya Arunlerk suatu hari nanti?"

"Aku akan kembali ke kampung halamanku. Di sana lah matahariku berada. Aku di sini karena orang tuaku menyuruhku melakukannya demi mereka. Di hatiku tidak akan ada kau atau pria mana pun. Kau tidak akan menjadi bunga matahariku dan aku tidak akan menjadi bunga mataharimu."


"Kalau begitu, kita bisa jadi teman."

Rin langsung antusias mendengarnya. Tentu saja dia akan sangat senang kalau mereka bisa jadi teman. Terus, apa yang bisa mereka lakukan sebagai teman? Tanya Saran.

"Ngobrol seperti ini saja... atau sarapan bersama sebelum sebelumnya. Tapi tidak boleh saling melihat satu sama lain di tempat tidur setiap pagi."

"Oh, kalau begitu aku boleh melakukan ini?" Saran langsung gemas mencubit pipi Rin.

"Khun! Lepasin!"

"Kita kan teman. Teman saling bermain bersama. Hei! Kau itu sudah menikah sekarang. Seharusnya kau tahu pria itu bagaimana. Lihatlah."


Saran dengan lembut mengambil tangan Rin lalu meletakkannya di pipinya sambil menatap Rin dengan senyum manis. Kesal, Rin langsung memanfaatkan kesempatan untuk balas mencubit pipi Saran keras-keras.

"Arrgh! Sakit! Kena kukumu. Sakit tahu!"

"Rasain! Makanya jangan main-main denganku lagi."

"Hei, kau... tidurlah. Jangan khawatir. Aku tidak akan memaksa wanita mana pun tanpa izin. Itu bukan sikap seorang pria sejati."

"Sungguh?"

"Aku akan menunggu."

"Menunggu apa?"

"Menunggu sampai hatimu siap. Menunggu sampai tiba waktunya kau bersedia membuka hatimu untukku dan untuk dirimu sendiri juga."

Rin tersentuh mendengarnya. "Terima kasih. Terima kasih banyak."


Rin akhirnya bisa berbaring di kasurnya dengan dengan hati tenang. Saran langsung tidur begitu kepalanya menyentuh bantal tanpa menyadari Rin yang masih memandanginya dengan ragu.

Ragu akan perasaan Saran terhadapnya, karena dia yakin masih ada Duang di dalam hati Saran. Dia yakin takkan pernah ada hari dimana mereka saling mencintai. Tapi setidaknya, pertemanan yang Saran tawarkan hari ini, bisa membuatnya tidur tenang.

Bersambung ke episode 5

Post a Comment

0 Comments