Sinopsis Padiwarada Episode 2 - Part 3

 Sinopsis Padiwarada Episode 2 - 3



Malam harinya, Saran menulis pesan balasan untuk Chalat. Teringat ucapan Rin, dia mengaku dalam suratnya bahwa dia merasa sangat menderita karena perasaannya ini, perasaan tak diinginkan oleh seseorang.

"Aku merindukan Duangsawat. Walaupun dia menolakku, tapi aku masih merindukannya."

Dia bahkan tak sanggup lagi melanjutkan tulisannya lebih jauh saat teringat kenangan-kenangan indahnya bersama Duang dulu. Kenangan yang kontan membuatnya menangis sedih.


Keesokan harinya, Saran mendapati Rin sedang menjahit kain untuk dijadikan tirai dan tampak begitu mempesona di bawah sinar mentari hingga membuat Saran kesengsem. Ibu jelas senang saat memperhatikan ekspresi Saran.

"Dia sangat cantik, kan?"

Kaget mendengar suara Ibu, Saran buru-buru menormalkan ekspresinya dan pura-pura bodoh. "Apa, Bu?"

"Beberapa wanita hanya cantik luarnya saja, memenuhi penampilan luarnya saja. Tapi beberapa wanita lainnya cantik dari dalam, memenuhi hati kita. Dan mana yang lebih kau sukai, Nak?"

"Ibu bicara apa? Aku tidak mengerti sama sekali."

"Tentu saja kau mengerti. Jangan pura-pura. Lihatlah betapa nyamannya rumah ini sekarang. Semua ini berkat dia."


Rin baru selesai memasak saat tiba-tiba Ibu muncul di belakangnya. Ibu memang sudah menduga kalau Rin lah yang memasak belakangan ini.

Bahkan saat mengecek nasi, Ibu melihat Rin menambahkan daun pandan yang membuat nasinya jadi wangi. Lagi-lagi, Rin hampir saja keceplosan menyebut ibunya sebagai Khun Ying. Tapi untung saja dia cepat mengoreksi, ibunya lah yang mengajarinya. Ibunya bilang bahwa jika kita makan makanan yang baik, maka hidup kita pun akan baik.

"Terima kasih. Terima kasih banyak. Saran tidak akan bisa lari. Ibu yakin itu."


Saat mereka makan bersama, Saran benar-benar menghabiskan makanannya dengan sangat lahap dan memuji kelezatan sambalnya.

Tapi berhubung dia mengira ini masakan Mae Sai, dia jadi menyuruh Mae Sai untuk membuatnya setiap hari. Mae Sai cuma bisa tersenyum kecut mendengarnya.  Nuer dan Sherm pun harus berusaha keras menahan senyum geli mereka.

Sherm hampir saja mengatakan yang sebenarnya, tapi Rin dengan cepat memberinya isyarat untuk diam. Ibu senang, belakangan ini Saran makan dengan baik dan menghabiskan makanannya.


Keesokan harinya, Rin dan Sherm sedang berusaha memasang tirai saat tiba-tiba saja Saran muncul. Rin sontak panik melempar tirainya, takut Saran menganggapnya pembantu lagi.

"P'Rin, kenapa kau melepaskannya? Tirainya bisa kotor." Protes Sherm.

Rin langsung bersikap sok songong, menyuruh Sherm untuk minta bantuan Mae Sai saja, dia kan sudah mengajari Sherm bagaimana cara melakukannya.

"Kalau begitu aku akan segera kembali, P'."

"Aku kan sudah menyuruhmu untuk memanggilku Khun dan bukannya P'."

"Hah? Tapi P' bilang..."

"Aku menyuruhmu memanggilku Khun!"

"Baiklah, Nona. Kami memang sudah memanggilmu begitu kok karena kau adalah istrinya Pak Sheriff."


Rin sontak malu mendengarnya. Tapi Sherm malah terang-terangan menggodai pipinya yang memerah yang jelas saja membuatnya makin gelagapan bingung.

Berusaha tetap menguasai diri, Rin  buru-buru kabur dengan menyatakan kalau dia mau menikmati pemandangan di luar saja.

Dia langsung pergi dengan kepala terangkat tinggi-tinggi dan... kesandung. Wkwkwk! Untung saja dia tidak jatuh dan cepat-cepat pergi dengan penuh harga diri, mengacuhkan tawa geli Saran.


Tapi Saran malah langsung mengejarnya dan menghadangnya di kebun lalu memandangnya dengan tatapan maut sampai Rin jadi canggung dibuatnya. Apa ada sesuatu di wajahnya sampai Saran menatapnya seperti itu?

Nuer kebetulan lewat di sana dan langsung bersembunyi di balik pepohonan untuk mengintip mereka dengan antusias. Dia jelas senang melihat Saran yang tampak begitu terpesona menatap Rin.

Tak nyaman dengan tatapan Saran, Rin berusaha menghindar. Tapi Saran terus menerus menghalangi jalannya sambil terus menatapnya.

"Kenapa kau menatap wajahku terus?"

"Terakhir kali kau bilang kalau aku tidak menatapmu. Jadi mulai sekarang, aku akan menatap wajahmu setiap kali aku punya kesempatan." (Pfft!)


Rin malu mendengarnya. Kedua ayah mereka menjodohkan putra dan putri mereka sebagai tanda persahabatan. Tapi Saran penasaran, Ayah Rin sekarang menganggapnya sebagai apa? Apa Ayah Rin mengasihaninya?

"Kau ini bicara apa?"

Tak mendapat jawaban, Saran beralih topik dan tanya apakah dia punya nama lain. Nama panggilannya di rumah. Nama Braralee terlalu panjang untuk disebut.

"Kalau begitu, kau bisa memanggilku Rin."

"Rin. Kau ingin aku memanggilmu Rin? Itu terdengar sangat biasa."

"Iya. Sangat sederhana dan biasa sepertiku."

Nuer makin antusias menyaksikan semua itu. Bagus sekali. Dia harus segera memberitahu Ibu kalau mereka masih punya harapan. Canggung ditatap terus oleh Saran, Rin buru-buru melarikan diri dari sana.


Keesokan harinya, Mae Sai sedang mencincang daging saat Rin muncul lagi di dapur dengan membawa sayuran yang baru saja dicucinya.

Habis sudah kesabaran Mae Sai. Dengan penuh amarah dia membanting pisaunya lalu melabraknya Rin.

"Kau mau mencuri pekerjaanku, kan? Apa maumu? Kalau kau terus begini, aku akan berhenti!"

Rin jadi tak enak mendengarnya. "Ma-maaf. Kau masak sendiri saja kalau begitu. Aku tidak akan masuk dapur lagi." Ujar Rin lalu bergegas pergi.

"Cuma sambal, keciiiilll! Lihat saja, aku juga bisa membuatnya!" Dengan tekad baja, Mae Sai santai saja memasukkan semua bumbu asal-asalan lalu menumbuknya sambil ngedumel. "Apa susahnya? Aku bisa kok membuatnya sendiri dan rasanya pasti lezat!"


Saran antusias mencicipi sambal buatan Mae Sai. Tapi baru sampai mulut, ekspresinya langsung berubah aneh.

Heran, dia mencoba mencicipi lagi dan ekspresinya jadi semakin suram. Mae Sai sudah mesam-mesem kepedean, tapi Saran malah protes. "Kenapa rasanya beda?"

Mae Sai jelas sakit hati dibuatnya. "Tapi saya sudah membuatnya persis seperti bagaimana Nona membuatnya."

Rin sontak panik mendengarnya. Saran lebih kaget lagi, apa maksudnya 'Seperti bagaimana Nona membuatnya'?

"Tak peduli bagaimana kau membuatnya, rasanya takkan sama, Mae Sai. Kau melakukannya dengan niatan memasak saja dan bukan dengan hatimu." Kritik Ibu.

Saran tercengang. "Jadi... masakan yang sebelumnya..."


Nuer membenarkan. Nona bukan cuma berkebun, tapi juga memberi wewangian pada baju-bajunya Saran dan membuatkan sambal kesukaan Saran. Bahkan seluruh pekerjaan rumah tangga di rumah ini diurus oleh Nona.

Mae Sai kesal menuduh Rin melakukan semua itu untuk mencuri pekerjaannya. Dia pasti berniat menendangnya dan Sherm keluar dari rumah ini. Rin menyangkal, dia tidak pernah berniat begitu. Sama sekali tidak.

"Pak Sheriff, mengaku saja. Anda suka dengan makanan buatannya dan semua hal yang dia lakukan, bukan?" Tuntut Mae Sai.


Saran sontak galau menatap Rin. Nuer malah tambah getol menggoda ekspresinya yang kontan membuat Saran tambah kesal.

Dia berusaha menghindar, tapi Rin dengan cepat menghadangnya dan menuntut jawabannya atas pertanyaan Mae Sai.

"Tinggal di suatu tempat di mana tak ada seorang pun yang menginginkan kita, siapa juga yang suka tinggal di sana. Jawabanmu sangat penting bagiku."

Saran terus berusaha menghindar, tapi Rin tak gentar menghadangnya dan menuntutnya menjawab sekarang juga.

"Aku tidak menyukai semua yang kau lakukan. Aku tidak suka!" Bentak Saran.

(Ah, bo'ong) Nuer jelas tidak percaya. Dia bisa melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau Saran suka. Tapi Rin jadi sakit hati mendengar jawabannya itu.

"Terima kasih banyak atas jawaban jujurmu." Geram Rin lalu pergi. Saran jelas bohong, dia bahkan terlihat semakin galau saat menyadari kekasarannya barusan.


Semua orang diam-diam mengintip dari luar kamar dan melihat Rin mengepak semua barang-barangnya. Nuer cemas, apa yang harus mereka lakukan sekarang? Apa mereka benar-benar akan membiarkan Rin pergi? Lalu bagaimana dengan pernikahan dan undangan yang sudah terlanjur tersebar?

Tapi alih-alih memikirkan masalah itu, Ibu Saran justru tak enak pada Rin karena telah membawa Rin kemari hanya untuk menderita. Dia benar-benar malu karenanya.

Karena itulah Ibu akan membantu Rin kembali ke ibukota dengan menyuruh Nuer menyiapkan mobil untuk mengantarkan Rin.

Nuer dan Sherm sontak mengomeli Mae Sai, semua ini gara-gara dia sampai Rin diusir. Tapi Mae Sai menolak disalah-salahkan. Bukan dia yang mengusir Rin, Pak Sheriff lah yang mengusirnya!


Tanpa mereka semua sadari, Saran sebenarnya juga sedang memperhatikan Rin dari jendela rumah sebelah dengan raut wajah penuh penyesalan.

Bersambung ke part 4

Post a Comment

0 Comments