Saat Padet keluar, Suam langsung mengikutinya. Mereka akhirnya ngobrol di mini market di mana Padet masih makan mie padahal mereka baru saja makan. Suam bertanya-tanya cemas apakah Rut akan dipenjara.
Dia sungguh tidak mengerti kenapa dunia jadi seperti ini. Jelas-jelas mereka melihat orang jahat melakukan sesuatu yang buruk, tapi mereka tidak bisa melakukan apapun.
"Jadi apa kau masih ingin melanjutkannya?" Tanya Padet.
"Tentu saja. Aku akan melanjutkannya. Jika orang lain mengejarku, aku tidak akan lari. Tunggu dan lihat saja. Aku akan membagikannya di medsos sampai seluruh unit hancur."
"Kau tidak takut?"
"Aku tidak takut, Sara."
Suam sudah melihat hantu sejak dia masih kecil. Saat dia beranjak dewasa, dia juga suka adegan pembunuhan. Dia tidak takut biarpun sekarang. Dia hanya takut jika dia harus menyaksikan orang jahat menang.
"Kau mengkhawatirkan Deputi, kan?"
"Lalu pernahkah kau mengkhawatirkan orang lain?"
Tapi Suam menduga Padet pasti tidak pernah mengkhawatirkan siapapun, Padet kan zombie yang tidak takut mati. Jika dia tidak takut kematian, maka tak ada siapapun yang dia khawatirkan biarpun dia tiada.
Hmm... Benarkah tak ada seorangpun yang Padet khawatirkan? Tapi saat Padet pulang ke rumahnya yang gelap dan sepi, dia tampak gelisah memikirkan Neung. Padet pun dia langsung menelepon Neung dan cemas menanyakan keaadaan Neung.
"Aku baik-baik saja. Aku sudah bilang kalau aku sudah tidak punya hati lagi untuk siapapun."
"Kau yakin tidak perlu mengobati lukamu? Atau besok mau kubelikan obat dan hansaplas?"
Neung tersenyum mendengarnya. Tidak perlu. Setelah dimarahi seperti tadi, Neung jadi tida berani untuk kembali ke rumah Padet lagi. Dia lupa kalau dia sudah banyak merepotkan Padet belakangan ini.
Tapi yang tak disangkanya, Padet justru menginginkannya untuk datang saja kapanpun Neung mau. Padet tidak keberatan kok.
"Jinjaro?"
"Apa artinya?"
"Aku beneran boleh datang lagi?"
"Boleh. Anggap saja kau datang untuk numpang ke toilet karena kau masih sembelit."
Iiih! Menjijikkan. Tapi Neung senang dan akhirnya mereka lanjut ngobrol ngalor-ngidul sepanjang malam kayak orang pacaran.
Keesokan harinya, puluhan reporter sudah menunggu kedatangan Rut di depan kantor polisi. Letnan cemas melihat mereka. Tapi Sersan dengan santainya mengaku bahwa dia sudah nge-chat Suam tadi, Suam bilang kalau dia akan menangani semua ini. Jadi tidak usah khawatir.
Tapi Letnan dan Sersan Dan malah tambah cemas mendengarnya. Bagaimana bisa Sersan malah nge-chat Suam? Apa Sersan tidak ingat betapa tidak masuk akalnya si Suam itu? Bisa tambah kacau!
Tapi tak ada yang bisa mereka lakukan sekarang. Suam datang saat itu juga bersama Padet dengan dandanan heboh ala-ala nyonya konglomerat mau kondangan.
Dengan penuh sopan santun dia menyapa para reporter itu dan mengklaim bahwa Deputi tidak masuk kerja karena lagi sakit. Jadi dia sebagai istrinya Rut datang untuk mengambil cuti suaminya.
Para reporter itu langsung saja menargetnya dan menanyainya tentang insiden itu, apa isi surat bunuh diri korban itu dan alasan kenapa Rut dan Suam menikah secara tiba-tiba.
Suam santai saja mengklaim kalau dia akan menjawab pertanyaan mereka. Padet kontan panik menegurnya, tapi Suam santai mengabaikannya. Dia mengklaim kalau dia akan memberitahu mereka, tapi sebelum itu...
Tiba-tiba saja dia berubah haluan menanyakan berapa gaji bulanan mereka lalu mulai berkampanye mengajak mereka semua untuk melakukan pekerjaan nggak jelas yang bisa menghasilkan untung puluhan juta per bulan dengan hanya rebahan di rumah. Wkwkwk! Dan ide nyelenehnya itu sukses membuat para reporter itu mundur teratur. Padet dan para polisi lainnya kagum sama Suam.
Saat Suam masuk tak lama kemudian, Rut ternyata sudah ada di ruangannya, baru masuk dari belakang dan jelas langsung protes melihat dandanan Suam.
"Jangan tanya!" Suam lagi sebal dan langsung duduk di sofa.
"Ini pertama kalinya kau datang ke kantor polisi dengan martabat penuh, Nang Suam." Puji Sersan.
"Sersan! Bagaimana bisa kau memanggilnya Nang Suam. Panggil dia Khun!" Tegur Letnan.
Aduh, Suam tidak mempermasalahkannya kok. Terserah mereka mau panggil dia apa. Rut juga tidak mempermasalahkannya, panggil saja dia Suam.
Letnan Kom datang tak lama kemudian, mengabarkan ada orang yang datang untuk menemui Rut. Menyadari sekarang jam kerja, Suam langsung pamit, dia sendiri lagi kebanjiran proyek yang kalau tidak segera diselesaikan, bisa-bisa akan menjadi beban bagi suaminya.
Tapi begitu mendengar yang datang adalah orang tuanya Bell, Suam sontak balik duduk lagi dan minta izin ikut.
"Katanya kau lagi kebanjiran proyek?"
Suam langsung terduduk lemas dengan wajah kecewa. Rut jadi tidak enak juga melihat wajahnya dan langsung mengizinkannya ikut. Tapi... Suam harus tetap diam dan tidak boleh ikut campur. Dan juga... Ganti bajunya dulu.
Pada saat yang bersamaan, Cuchai juga diberitahu entah siapa tentang kedatangan orang tua Bell itu dan dia langsung melaporkannya pada Sia Ha. Dia tanya apakah mereka perlu mengirim orang-orang mereka untuk mengawasi, tapi Sia Ha santai saja. Sepertinya segalanya sudah dia atur.
Di kantor polisi, kedua orang tua Bell kali ini sangat berbeda dari sebelumnya. Penampilan mereka pun sangat berbeda dan tampak lebih mewah dengan memakai perhiasan emas. Dan tiba-tiba saja mereka meminta kasus ini ditutup dengan alasan tidak ada gunanya diteruskan, toh putri mereka tidak akan pernah bisa hidup kembali.
Rut jelas heran mendengarnya. Bukankah mereka sudah sepakat tentang kasus ini? Apa mereka tidak ingin mengetahui kebenarannya? Ayahnya Bell dingin mengklaim kebenaran tidak akan bisa menghilangkan kemiskinannya.
Jika mereka mengetahui kebenarannya lalu orang-orang jahat itu membalas dendam pada mereka, bagaimana polisi akan melindungi mereka? Sekarang bukan cuma Bell yang mati, tapi juga Bee. Ini sudah bukan masalah kecil lagi. Sekarang hanya Pee yang mereka miliki, karena itulah mereka tidak ingin berurusan dengan kasus ini lagi. Rut benar-benar kesal. Tapi tak ada yang bisa dilakukannya.
Tiba-tiba dia melihat robot mainannya Pee yang ketinggalan, Rut pun langsung mengembalikannya. Pee dengan sopan berterima kasih padanya.
"Manis sekali. Kau tahu cara mengucap terima kasih."
"Ibuku mengajariku untuk berterima kasih jika seseorang melakukan sesuatu untukku."
Melihat kesedihan Pee, Rut memberitahunya bahwa orang tuanya juga meninggal dunia saat dia seumuran Pee. Karena itulah dia bisa memahami Pee. Dia boleh merindukan ibumu. Rut pun selalu merindukan ibunya. Tiba-tiba Suam melihat penampakan arwah Bell yang hanya bisa menangis menatap putranya.
Setelah mengantarkan kepergian orang tua Bell, Rut dan Padet langsung memikirkan hal yang sama. Kalung emas yang dipakai ibunya Bell itu, pasti bukan cuma sekedar emas.
"Maksudnya orang-orang itu sudah datang untuk membuat kesepakatan?" Duga Suam.
Rut benar-benar kesal dengan semua ini. Apalagi saat dia teringat ucapan Pee tadi. Berbeda dengan kakek-neneknya, Pee justru memprotesnya karena tidak bisa menangkap penjahat yang membunuh ayah dan ibunya.
Frustasi, Rut langsung melempar semua dokumen kasus itu dengan kesal. Pada saat yang bersamaan, Sia Ha justru sedang disambut dengan meriah bak artis oleh para warga desa karena hari ini, dia lagi-lagi sok baik hati bagi-bagi sembako untuk mereka.
Suam juga gelisah memikirkan kasus ini. Akankah dia bisa membantu Bell? Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk. Suam sontak kesal mengira Rut yang datang dan langsung saja merutukinya, tapi malah mendapati Teerak yang ada di depan pintu.
Dia benar-benar sedang cemas dan langsung mengajak Suam turun untuk melihat Rut yang sedang termenung sedih dalam kegelapan. Rut duduk di situ seja sore tadi, dia bahkan tidak mau makan. Suam meyakinkan Teerak untuk istirahat saja, biar dia yang mengurus Rut.
1 Comments
Semangat min...
ReplyDeleteHai, terima kasih atas komentarnya, dan maaf kalau komentarnya tidak langsung muncul ya, karena semua komentar akan dimoderasi demi menghindari spam