Ibu benar-benar kagum dengan rumah besar mereka. Ibu bangga dengan Suam, dia mendapatkan suami yang baik, tampan dan kaya. Dia memang putri Ibu yang Ibu besarkan dengan baik.
Pfft! Suam sinis mendengarnya. Dibesarkan dengan baik apanya, dia justru ditampar dan dimarahi setiap hari. Dia tidak mati dan panjang umur saja merupakan sebuah prestasi.
Aduh, iya deh, Ibu janji tidak akan memarahi Suam lagi mulai sekarang. Ibu berharap Suam akan cocok dengan status rumah ini dan status menantunya. Tapi sekarang Suam harus panggil dia 'Khun Mae' dulu. (Panggilan Ibu yang sopan)
"Baik. Khun Mae-ka~~~~"
Ibu senang. Eh, tapi... di mana menantu kesayangannya? Kok mendadak menghilang?
Suam langsung mencari Rut dan menemukannya sedang termenung di belakang, tampak sedang marah. Suam cemas, apa yang Aik katakan padanya tadi?
"Dia bilang akan datang dan meminta orangnya kembali."
"Lalu apa kau akan memberikannya padanya?"
Tapi pertanyaannya itu malah membuat Rut jadi emosi, mengira Suam mengakui dirinya adalah orangnya Aik. Kenapa? Suam ingin sekali kembali pada Aik?
Ujung-ujungnya Suam malah jadi salah paham juga, mengira Rut bicara seperti itu karena Rut ingin dia kembali ke Aik. Kenapa? Rut ingin segera kembali ke mantannya itu? Tunggu sebentar lagi, toh sebentar lagi mereka akan bercerai.
"Kau memberitahuku atau memberitahu dirimu sendiri?"
"Terserah saja. Percayalah apa yang ingin kau percayai. Mau aku kembali dengan Khun Aik juga terserah kau. Toh sejak awal kau sudah percaya kalau aku wanitanya Khun Aik."
"Lalu kenapa kau tidak membantahnya? Bantah saja!"
"Meskipun mulutku mengatakannya, tapi hatimu tidak mempercayainya. Jadi tidak ada gunanya."
Saat mereka semua duduk dan makan bersama, Suam dan Rut hanya diam sambil saling tatap-tatapan dengan sengit. Rut dengan sopan memanggil Ibu dengan sebutan 'Ibu Mertua', tapi Ibu malah geli sendiri mendengar panggilan itu. Panggil Ibu sajalah.
Suam sinis meminta Ibu untuk tidak membiasakan diri dipanggil begitu. Karena entah kapan dia akan diusir dari rumah ini.
"Diusir? Siapa yang diusir? Kau mau mengusir putriku?"
"Aku tidak akan mengusir putri Ibu, justru putri Ibulah yang ingin meninggalkanku."
Ibu sontak mengomeli Suam dengan kesal, bagaimana bisa Suam mau meninggalkan menantu kesayangan Ibu? Ibu tidak akan mengizinkan! Nat setuju1 Dia juga tidak akan mengizinkan.
"Nat benar. Menantuku sebaik ini. Kau harus ingat itu, kau harus merawatnya dengan baik."
Oil berusaha menyuruh Suam untuk menyajikan miang pla tu untuk Rut, tapi Suam menolak dengan alasan tangannya masih sakit. Tidak masalah, Ibu dengan senang hati menyajikan makanan itu untuk menantu kesayangannya.
Ibu benar-benar penuh perhatian padanya yang kontan membuat Rut terharu... teringat masa-masa kecilnya yang indah saat makan bersama kedua orang tuanya. Keluarga mereka benar-benar keluarga kecil yang bahagia dan saling menyayangi. Kedua orang tua Rut juga sangat romantis.
Kenangan itu membuat Rut jadi melamun dengan senyum lebar yang jelas saja membuat Ibunya Suam kebingungan. Rut benar-benar bahagia mendapatkan ibu mertua yang penuh perhatian seperti mendiang ibunya dulu.
Neung menemui seorang temannya yang dulu pernah menghasutnya untuk membenci Suam dan langsung to the point menyatakan tujuannya minta bertemu adalah untuk menanyakan tentang Suam.
Wanita sontak canggung. Tapi akhirnya dia jujur mengakui bahwa mereka menghasut Neung untuk membenci Suam adalah karena Ibunya Neung menyewa mereka. Ibunya Neung bilang kalau itu untuk kebaikan Neung. Tapi, dia yakin kalau Neung sendiri memang jengkel sama Suam, iya kan?
Neung canggung mengakuinya. Itu karena nilai-nilainya Suam selalu bagus dan juga... banyak orang yang menyukai Suam. Wajar sih itu terjadi antar teman dekat. Ibunya Neung pasti bisa melihat itu. Tidak ada ibu yang ingin melihat orang lain lebih baik daripada putrinya sendiri. Termasuk dengan masalah Aik.
Neung jadi merasa bersalah pada Suam. Wanita itu meyakinkan Neung bahwa dia sudah sangat baik pada Suam. Dia yakin tak ada orang lain selain Neung yang punya niat baik sebanyak ini terhadap Suam.
Wanita itu merasa lega juga bisa menjernihkan masalah ini. Sebenarnya Suam itu sangat menyayangi Neung, dia tidak pernah iri sama Neung dan tidak pernah pula membanding-bandingkan dirinya dengan Neung. Baguslah kalau mereka sudah berbaikan, teman baik itu susah dicari.
Neung lega juga. Setelah temannya itu pergi, Neung langsung menelepon Padet untuk mengajaknya makan malam bersama.
Malam harinya, mereka makan daging panggang bersama. Neung lebay banget pakai topi mandi hanya supaya rambutnya tidak bau asap. Dia bahkan mencoba membujuk Padet untuk ikutan pakai juga, tapi tentu saja Padet tidak mau.
Tapi saat Padet hendak mengambil satu daging yang sudah matang, Neung mendadak menghentikannya dan mengklaim daging itu miliknya. Ujung-ujungnya mereka jadi ribut memperdebatkan selembar daging itu sampai saat Padet mengingatkannya bahwa hari ini Neung mentraktirnya ulang tahunnya. Baru ingat, Neung terpaksa mengalah. Selamat ulang tahun.
Dia mengaku bahwa ini adalah kedua kalinya dia datang ke kedai ini. Pertama kalinya dia datang kemari bersama Suam. Suamlah yang memperkenalkan kedai ini.
Padet penasaran. "Apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian berdua?"
Neung malas membahasnya. Apapun yang terjadi, semua itu sudah berlalu, anggap saja semuanya sudah lebih baik sekarang. Tapi Neung masih belum mau membicarakan detilnya.
Padet tidak memaksa. Tapi dia yakin Neung pasti punya masalah lain yang mengganggu pikirannya selain masalah Suam. Iya kan?
"Hei... Bagaimana kau bisa tahu?" Heran Neung.
Karena jika Neung baik-baik saja, Padet yakin Neung tidak akan datang menemuinya. Neung akhirnya curhat tentang kencannya dengan si paman itu kemarin. Neung muak banget. Dia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
"Aku tidak mau pergi, tapi ibuku ingin aku punya pacar. Dan orang itu harus pilihan ibuku. Tapi semua pria pilihan ibuku, ya ampun... Bong banget!"
"Bong?"
"Maksudnya, ancur banget."
"Terus kenapa kau tidak bisa hancur saja? Kalau begitu, carilah pacar asli. Pilih yang bagus. Yang belum punya istri."
"Di mana aku harus mencarinya, Khun?"
Saat Neung bersama Rut, dia selalu berpikir kalau dia adalah Nang'ek (Female Lead). Tapi pada akhirnya, dia sadar kalau dia bukang Nang'ek. Kalau begitu, Padet menyimpulkan bahwa Rut bukanlah Pra'ek-nya Neung (Male Lead).
"Maksudnya?"
"Karena jika kau bertemu dengan Pra'ek-mu, kau tidak akan merasa tidak penting."
Ucapan Padet itu kontan membuat Neung membeku menatapnya, seolah dia baru sadar sikap Padet terhadapnya selama ini. Apalagi saat Padet begitu perhatian padanya dengan memberikan selembar daging untuknya. Dan fakta yang baru disadarinya itu membuat Neung mendadak tersenyum licik memikirkan sebuah ide.
Keesokan harinya, Suam memberikan derma pada seorang biksu. Tapi orang yang membantu biksu hari ini adalah Songkram yang menyamar untuk diam-diam berbagi informasi dengan Suam tentang tempat yang dimaksud ketiga preman itu.
"Mereka bilang tempatnya berada di perbatasan Ratchaburi. Itu pasti tempat mereka biasanya mengirim barang." Ujar Suam.
Para preman itu juga mengaku bahwa mereka harus memberi hormat pada sesuatu karena ada roh yang mengikuti mereka. Jelas ini informasi yang harus dibahas lebih jauh, Songkram pun menyuruh Suam untuk datang ke markas nanti.
Rut baru keluar dari dapur saat Suam kembali dan langsung penasaran dengan apa yang akan Suam lakukan hari ini. Suam secara ambigu mengaku kalau dia ada urusan.
"Bisakah kau tidak pergi?"
"Tidak bisa, ini sangat penting."
"Aku mau membawamu main."
Suam mendadak berubah pikiran. Oke! Urusannya itu tidak penting kok, akan dia batalkan sekarang juga. Rut menyuruhnya bersiap sekarang, mereka akan berangkat setengah jam lagi. Suam langsung semangat mau pergi sekarang juga sampai Rut harus mengingatnya untuk ganti baju dulu.
2 Comments
Lanjut
ReplyDeleteLanjut
ReplyDeleteHai, terima kasih atas komentarnya, dan maaf kalau komentarnya tidak langsung muncul ya, karena semua komentar akan dimoderasi demi menghindari spam