Sementara Dao sedang melamun bahagia di dapur, Jee sedang menginterogasi Jade di beranda. Apa ada sesuatu di antara Jade dan Dao? Jade sontak menyangkal keras. Tapi Jee tak percaya. Kalau tidak, lalu kenapa Jade bicara keras-keras padanya?
"Aku memang selalu bicara seperti ini."
"Apa kau sedang mendekati temanku?"
Jade cuma diam yang malah membuat Jee makin curiga. Dugaannya pasti benar. Hmm... tapi sepertinya Jade diam karena dia berpikir Jee cemburu.
"Apa kau masih bisa jaga rahasia?" Tanya Jade.
"Jadi kau beneran mendekati Dao?"
"Ssst! Aku tahu kau tidak bisa jaga rahasia. Aku tidak akan memberiahumu kalau begitu."
"Hei! Khun Jade!"
"Posesif?"
"Aku memang posesif. Tidak boleh ada yang menyentuh temanku. Pernah dengar hal itu?"
"Kau posesif terhadap Khun Dao? Kukira kau posesif padaku. Aku nggak mau bilang deh."
"Hei! Khun Jade. Kau mendekati Dao atau tidak?"
"Suatu hari, aku akan memberitahumu siapa sebenarnya yang kudekati"
Nenek Jan akhirnya pulang juga dan langsung menghitung uang kompensasinya. Thit berusaha membujuknya untuk berkonsultasi dengan dokter, tapi Nenek Jan bersikeras menolak. Dia tidak mau menghambur-hamburkan uangnya untuk menyiksa dirinya sendiri.
"Lebih baik aku menggunakan uang ini untuk bersenang-senang sepanjang sisa hidupku."
"Tapi uang ini bisa membeli waktu. Nek, cobalah dulu."
Nenek Jan ngotot menolak. Jika dia mati karena kanker, maka penyakit itu akan ikut mati bersamanya. Thit tak menyerah begitu saja dan meminta Nenek Jan untuk setidaknya memikirkan orang yang akan dia tinggalkan nantinya.
"Tanpa aku, tidak akan ada seorangpun yang terbebani."
Ucapan Nenek Jan itu malah membuat Thit semakin yakin kalau Jee pasti membuat Nenek Jan merasa dirinya sebagai beban. Nenek Jan tegas menyangkal, dia dan Jee benar-benar tidak ada hubungan keluarga. Tapi Thit ngotot tidak mempercayainya, Nenek Jan tidak mau diobati pasti karena Jee.
Tapi perdebatan mereka tiba-tiba tersela saat Pan pulang. Seperti biasanya, Pan langsung bercanda menggodai neneknya. Tapi Thit sama sekali tidak mood menanggapi candaannya dan langsung membentaknya.
Dia hampir saja memberitahu Pan tentang penyakit Nenek Jan, tapi Nenek Jan dengan cepat menyelanya dengan memberikan uang untuk Pan dan menyuruh Pan pergi membeli lotre untuknya. Thit tidak mengerti kenapa Nenek Jan tidak memberitahu Pan.
"Pak Pengacara. Kematian bukanlah sesuatu yang perlu ditakutkan. Tapi (yang menakutkan adalah) menunggu kematian orang yang kita cintai. Biarkan cucuku bahagia selama sisa umurku."
Gerimis turun malam harinya. Saat Thit pulang, dia malah mendapati Jane sedang menunggunya di depan.
Dia tidak bisa menghubungi Thit sedari tadi, makanya dia datang untuk membawakan dokumen yang harus Thit pelajari.
"Terima kasih, dan maaf. Ponselku rusak hari ini."
"Sudah kuduga. Semua orang mencemaskanmu karena tiba-tiba kau menghilang."
Hujan mendadak makin deras. Thit dengan manisnya menggunakan dokumennya untuk melindungi kepala Jane sambil berusaha membuka pagar yang jelas membuat Jane terpesona padanya.
Tapi karena dia kesulitan melakukannya dengan satu tangan, Jane gantian melindungi Thit dengan dokumen itu sampai Thit berhasil membuka pagarnya.
Thit penasaran kenapa Jane tidak bawa mobil, malah berdiri di kegelapan seperti tadi.
Oh, itu karena Jane takut macet, makanya dia kemari naik ojek. Dia datang cuma untuk mendapatkan tanda tangan Thit lalu pergi, tapi ternyata Thit tidak ada di rumah dan tidak bisa dihubungi. Makanya dia menunggu di depan.
"Kalau begitu, aku akan mempelajari dokumen ini secepat mungkin lalu menandatanganinya untukmu. Kau bisa minum kopi sambil menunggu."
Dia mau membuatkannya kopi, tapi malah mendapati dapurnya penuh dengan piring kotor yang belum dicuci. Hee. Malu, deh.
Jadilah Jane yang akhirnya mencucikan piring-piringnya, sementara Thit sibuk mempelajari dokumennya.
Melihatnya bekerja keras seperti ini, Jane yakin kalau Thit pasti tidak punya pacar. Maka diapun berniat untuk membuang sampahnya Thit.
Thit tak enak dan berusaha mencegahnya, tapi Jane bersikeras. Dia mengerti kok kalau Thit seorang lajang pekerja keras dan tidak ada waktu untuk mengurus pekerjaan rumah tangga.
Dia bahkan sudah membuatkan kopi untuk Thit dan Thit bisa memanggilnya kalau Thit membutuhkan sesuatu.
Thit cuma diam tercengang, memperhatikan Jane mengurus rumahnya... yang kontan membuatnya teringat akan Tiw.
Flashback.
Dulu, Tiw selalu mengurus rumah Thit yang kotor berantakan, sementara Thit sibuk dengan pekerjaannya.
Saat Tiw mengomelinya, Thit dengan gaya imutnya membujuk Tiw untuk tinggal bersamanya di rumah ini dengan alasan biar Tiw bisa mengurus rumah ini setiap hari.
"Kalau kau tinggal bersamaku, hidupku akan menjadi lebih baik daripada sekarang ini. Kumohon, yah?"
"Kalau kau mau aku pindah kemari untuk jadi pembantumu, aku nggak mau!"
"Oh, kenapa kau tidak bilang? Kau mau tinggal di sini sebagai istriku?"
Flashback end.
Thit masih melamun menatapnya saat Jane memergokinya. Jane heran, ada apa? Kenapa Thit menatap wajahnya? Apa ada sesuatu di wajahnya?
"Tidak... aku cuma... memikirkan sesuatu."
Dia lalu meminum kopinya, tapi malah tak sengaja menciprati bajunya. Jane bergegas mengambilkannya tisu lalu membantu menyeka noda kopinya dalam jarak yang cukup dekat sambil menyuruh Thit untuk merendam bajunya di air hangat.
Dia tidak menyadari kedekatan jarak di antara mereka awalnya. Tapi begitu dia menengadah dan kontak mata dengan Thit, mereka berdua kontan terdiam canggung. Thit buru-buru mundur dan berkata kalau dia akan menanganinya sendiri.
Jane lalu membantu memunguti beberapa buku yang berserakan di lantai. Tapi saat dia membacanya, ternyata itu buku panduan kemoterapi. Jane kontan cemas, siapa yang sakit?
"Seorang klien. Dia tidak punya uang dan cucunya juga tidak peduli."
"Apa ini... nenek yang diusir itu?" Duga Jane. Thit membenarkannya.
Keesokan paginya, Jee langsung mengecek berita-berita di internet dan semua tabloid, tapi ternyata tak ada berita apapun tentang dirinya. Jee lega, tapi ucapan Thit kemarin masih terngiang dalam benaknya.
Dao keluar dari kamarnya tak lama kemudian lalu pamit mau ke perpus (Hmm... pasti mau ketemu Jade nih). Tapi Jee langsung menghentikannya dengan curiga, soalnya belakangan ini Dao sering sekali pergi ke perpus.
"Aku mau ke perpus dan kau curiga? Aku tidak akan kelayapan kemana-mana. Jangan coba-coba tangkap aku! Aku pergi."
Sayangnya saat Dao keluar lewat parkiran, dia tidak tahu kalau Jade baru saja tiba di lobi dengan membawa sekantong makanan. Dan jadilah dia bertemu Jee yang saat itu hendak keluar dengan membawa sebuah kotak.
Kedatangannya membuat Jee semakin yakin kalau Jade sedang mendekati Dao. Tapi Jade masih saja menolak memberi jawaban pasti dan cuma mengajak Jee makan bersamanya.
"Maaf, aku ada urusan, Aku mau mendonasikan beberapa buku."
Kesempatan, Jade langsung memanfaatkannya dengan membantu Jee. Jelas-jelas dia ingin bersama Jee, tapi Jee berpikir kalau Jade melakukan ini supaya dia merestui hubungan Jade dengan Dao. Jade sama sekali tidak menjelaskan apapun dan cuma diam sambil senyum.
Jane mendatangi rumah Nenek Jan dan kebetulan Pan sedang ada di rumah. Pan langsung terpesona melihat kecantikan Jane dan langsung ngegombal sampai Jane canggung dibuatnya.
Dia datang mencari Nenek Jan, tapi Pan bilang kalau Nenek sedang tidak ada di rumah. Cuma ada dia seorang di rumah. Jadi kalau Jane ada pesan untuk Nenek, mereka bisa tukeran nomor telepon *wink-wink*.
Berusaha menahan geli, Jane menjelaskan siapa dirinya dan tujuannya datang kemari adalah untuk mengantar Nenek Jan perawatan kanker ke rumah sakit.
Tapi Pan nggak nyambung maksudnya, malah kepedean mengira Jane sedang merayunya. Jane sampai harus menegaskan kalau yang dia maksud adalah kanker penyakit, kanker yang diderita Nenek Jan.
Pan jelas terkejut mendengarnya. Jane menjelaskan kalau dia punya cara untuk membantu biaya perawatannya, makanya dia datang untuk membicarakannya dengan Nenek.
Pan shock. "Nenek menderita kanker? Kenapa dia tidak memberitahuku?!"
Buku-buku yang dibawa Jee ternyata berbagai majalah yang ada berita-berita tentang dirinya. Semuanya dia sumbangkan biar anak-anak bisa menjualnya.
Jade penasaran, anak-anak mengumpulkan majalah dan koran untuk dijual? Jee membenarkan. Guru mereka mengajari mereka menjual koran untuk membeli mainan.
Tapi Jack memberitahu kalau sekarang guru mereka menyuruh mereka mengumpulkan uangnya untuk biaya sekolah, mereka jadi tidak bisa membeli mainan sekarang.
Melihat Jee tidak tahu harus menjawab apa, Jade dengan cepat mengambil alih situasi dan menasehati mereka untuk tidak buang-buang uang membeli mainan. Semua majalah dan koran-koran ini kan bisa jadi mainan.
Anak-anak menatapnya dengan bingung. Jade memberitahu kalau koran-koran ini bisa jadi pasukan pesawat dan botol-botol bekas ini bisa jadi kapal. Apa mereka mau membuatnya? Anak-anak sontak ribut dengan antusias.
Tak lama kemudian, mereka semua pun asyik bermain dengan koran-koran yang sudah dijadikan pesawat. Melihat keakraban Jade dengan anak-anak, Jee bisa melihat kemiripan Jade dengan Dao.
Jade heran. "Kenapa kau berusaha membuka jalan bagi Khun Dao dan aku?"
Loh, bukankah itu tujuan Jade membantunya hari ini? Geli, Jade berkata ambigu kalau dia suka bermain dengan sesuatu yang tinggi, dia tidak suka cuma sekedar menatap pesawat. Jee bingung, apa maksudnya.
Tapi Jade sama sekali tidak menjelaskan apapun dan langsung kembali bermain bersama anak-anak. Dia lalu melempar pesawat kertasnya sejauh mungkin. Jee antusias mengejar pesawat itu.
Tapi dia berjalan mundur sampai tidak sadar kalau dia terlalu dekat dengan sungai dan akhirnya tercebur ke air.
1 Comments
Lanjuuuttt min...makin seru...ayo senangaat
ReplyDeleteHai, terima kasih atas komentarnya, dan maaf kalau komentarnya tidak langsung muncul ya, karena semua komentar akan dimoderasi demi menghindari spam