Sitta menghajar sekretarisnya dengan kejam saking murkanya mendengar Thit lolos dari mereka, sementara Khun Ying mengintip ketakutan dari luar. Sitta yakin Thit pasti akan mencurigainya dan menangkapnya kalau begini.
Dengan ketakutan, Sekretaris berusaha meyakinkan bahwa Sitta tidak akan terlibat dalam masalah ini karena dia sudah memerintahkan kedua pembunuh itu untuk membunuh Thit.
Sitta tak percaya dan langsung menodongkan pistol padanya. Bukankah dia sudah bilang, kalau dia tidak bisa membunuh Thit, maka Sekretaris lah yang akan dia bunuh.
"Orang-orangku hampir membunuh Sathit, tapi dia berhasil kabur... seolah sudah tahu sebelumnya." Ujar si sekretaris.
Mendengar itu, Sitta jadi curiga dan langsung keluar mencari Khun Ying. Tapi Khun Ying sudah tidak ada saat dia membuka pintu. Dia malah mendapati Khun Ying lagi nyantai berendam di bathtub sambil menikmati segelas campagne.
Sitta curiga, kapan dia masuk bathtub? Bukankah biasanya jam segini dia sarapan? Khun Ying beralasan kalau dia kelelahan gara-gara pesta ultahnya dubes semalam, makanya sekarang dia berendam.
Sitta tampak jelas masih curiga, tapi dia tidak bertanya lebih lanjut lalu keluar. Khun Ying berniat mau menelepon setelah itu. Tapi dari pintu kaca, dia melihat Sitta masih berdiri di luar untuk mengupingnya.
Maka Khun Ying pun pura-pura menelepon teman sosialitanya sampai akhirnya Sitta berhenti curiga dan keluar dari sana.
Tapi di luar, si pelayan memperlihatkan rekaman CCTV yang jelas menunjukkan Khun Ying mengintipnya tadi sebelum kemudian bergegas masuk ke kamar mandi. Entah apa rencananya, tapi dia menyuruh pelayan untuk tidak melakukan apapun dan diam saja. Jangan sampai ibu dan anak itu tahu kalau dia mengetahui apa yang mereka berdua lakukan.
"Kenapa, Thun?"
"Siapapun yang mengkhianatiku, mereka harus disiksa sampai mati!"
Jee terbangun oleh bunyi telepon dari nomor asing yang ternyata pembantu rumahnya Piak. Entah apa yang dia katakan, tapi Jee langsung bersiap pergi saat itu juga.
Dia tidak melihat Thit saat dia turun. Ke mana Thit? Tanyanya. Guru Arie berkata kalau kalau Thit pergi mengunjungi Bibi Wadee.
Baguslah. Kalau begitu, Jee titip Thit dulu. Pokoknya jangan biarkan Thit pergi ke manapun sampai Chait datang. Jee harus pergi ke rumah Piak sekarang.
Barusan pembantunya meneleponnya gara-gara dia tidak bisa menghubungi Chaiyan dan Thit. Pembantunya Piak memintanya untuk membujuk Chaiyan pulang dan menyelesaikan masalah dengan Piak. Guru Arie penasaran, memangnya apa yang terjadi?
"Guru, jangan beritahu Khun Sathit tentang masalah ini. Aku tidak mau dia cemas."
Wah! Rahasia nih. Guru Arie langsung kedip-kedip lucu mendengarnya. Jee sampai sebel melihat reaksinya, dia kan lagi serius.
"Aku tidak mengatakan apapun tapi rahasia... errr... maksudku aku kelilipan. Memangnya ada apa dengan Khun Piak?"
"Dia bertengkar dengan P'Chaiyan jadi dia mengundang para pria untuk berpesta di rumahnya."
"APA?!" Thit tiba-tiba muncul dari belakang Jee entah sejak kapan.
Thit mau pergi saat itu juga. Tapi Jee cepat mencegahnya dan menyuruhnya tetap di sini saja. Dia sendiri yang akan menangani Piak.
Thit refleks menangkap tangan Jee. Dia sudah gila apa? Sudah jelas Piak dan Chaiyan bertengkar gara-gara Jee. Kalau Jee pergi... belum selesai dia bicara, Guru Arie mendadak ikutan nimbrung.
"Kalau Khun Sathit pergi, dia bakalan harus menghadapi situasi yang tidak menyenangkan. Tapi jika kau yang pergi, maka kau akan dapat tamparan dari si istri."
"Guru bicara seolah aku tidak pernah mengalaminya saja. Salah atau benar, aku selalu mengalaminya. Kau tetaplah di sini. Jika aku penyebabnya, maka akulah yang harus menyelesaikannya."
"Tunggu! Bagaimana kalau Sitta mengikutimu?"
"Jangan khawatir. Jika terjadi sesuatu padaku... itu lebih baik daripada sesuatu terjadi padamu. Aku tidak punya siapapun dalam hidupku, tapi kau masih punya. Jadi hidupmu lebih berharga daripada hidupku."
Setelah Jee pergi, Guru Arie meyakinkan Thit untuk tidak mengkhawatirkan Jee. Soalnya Jee sudah sering kena tampar, dimisuhi, dll sejak dia masih kecil. Bukankah Thit juga pernah melihatnya.
Tapi Guru Arie tak habis pikir melihat hubungan Jee dan Thit, bagaimana bisa singa dan harimau saling menyukai?
Pembantunya Piak jelas panik saat melihat Jee sendiri yang datang. Dia kan meminta Jee untuk menyuruh Chaiyan pulang. Bisa kacau kalau Piak melihat Jee datang.
Tapi Jee tak peduli dan terus masuk sampai dia menemukan Piak di halaman belakang, sedang menggila bersama para pria. Dia bahkan bagi-bagi cek dengan syarat mereka harus memperlakukannya seolah dialah orang yang paling penting di dunia ini.
Jee langsung memaksa Piak turun dan menyatakan pesta sudah usai. Piak jelas kesal melihatnya, ngapain Jee kemari. Dia kan sudah mendapatkan Chaiyan, jadi pergi saja bersamanya. Kenapa dia datang kemari?
"Dan sampaikan pada anj*ng pengkhianat itu, semoga beruntung dengan wanita murahan sepertimu!Bahkan sekalipun aku tidak memilikinya, aku bisa mendapatkan yang lainnya! Kau lihat?! Uangku bukan cuma bisa membeli Chaiyan, tapi juga bisa membeli semua pria ini!"
Kesal, Jee langsung menyiram piak dengan seteko air es. "Kau menyebut orang lain murahan dan kotor, tapi lihatlah apa yang kau lakukan. Ini juga murahan dan kotor! Kami cuma teman, tapi kau berusaha memaksa kami berselingkuh! Seseorang yang berpikir seperti itulah yang punya pikiran dan hati murahan."
Piak sontak melayangkan tangannya untuk menampar Jee, tapi Jee lebih kuat darinya dan mengingatkan Piak bahwa seseorang sepertinya tidak akan membiarkan siapapun menghinanya jika dia tidak bersalah.
"Kau ingin melihat betapa rendahnya aku? Oke, akan kutunjukkan."
Jee langsung menyeretnya ke pinggir kolam dan saat Piak mau menamparnya, dia langsung mundur yang sontak membuat Piak kehilangan keseimbangan dan akhirnya tercebur ke kolam.
"Apa kau sudah berhenti menggila? Jangan menyalahkan aku atas jatuhnya kau ke air karena kau jatuh sendiri. Sama seperti kehidupan cintamu. Kau bodoh dan dibutakan oleh kecemburuanmu sendiri hingga keluargamu hancur seperti ini."
"Bukan karena aku, tapi karena Chaiyan tidak mencintaiku lagi. Dia pikir aku jahat! Sangat jahat sampai menyewa seseorang untuk menembakmu!"
"Apa?"
"Di mata Chaiyan sekarang ini, kau adalah malaikat dan aku adalah iblis! Apapun yang kulakukan, Chaiyan tidak akan pernah menganggapku lebih baik daripada kau!"
"Apa rasanya sakit? Apa rasanya sakit dituduh melakukan sesuatu yang tidak kau lakukan? Sakit, bukan? Sama seperti tuduhanmu bahwa P'Chaiyan berhubungan denganku."
Chaiyan memang salah karena salah menuduh Piak, tapi Piak tidak bisa menyalahkan Chaiyan sepenuhnya karena Piak duluan yang menuduh Chaiyan melakukan sesuatu yang tidak dilakukannya hingga membuat mereka saling tidak memiliki kepercayaan seperti ini.
"Bicara apa kau? Kau pikir kau yang paling tahu..."
"Hati kita seperti batu. Cinta sekuat apapun akan patah jika terus menerus dihancurkan. P'Chaiyan masih mencintaimu. Kau masih punya kesempatan untuk menyelamatkan kehidupan cintamu. Saat kita mencintai seseorang, kita tidak akan berhenti mencintai mereka semudah itu. Tapi sekali cinta itu hilang, walaupun kau sangat menginginkannya kembali, cinta itu tidak akan pernah kembali. Kuharap kau bisa memperbaiki segalanya sebelum terlambat, Khun Piak."
Di rumah sakit, Dao datang membawakan bunga mawar putih untuk Jade yang saat itu masih tidur. Saat kepala Jade bergerak dari bantalnya, Dao dengan lembut memperbaiki posisinya... tepat saat Jee datang.
Melihat Jee membawa buket bunga juga, Dao langsung berusaha menyembunyikan bunga mawar putihnya di belakang punggungnya. Dengan sengaja dia mengambil buket bunganya Jee lalu meletakkannya di meja untuk menyembunyikan bunga mawar putihnya. Dao memberi tahu bahwa kondisi Jade sudah stabil, tapi dia butuh banyak istirahat.
"Aku tidak khawatir kalau kau yang menjaganya."
Dia lalu mendekat ke Jade membisikan janji bahwa dia akan menjaga Jade sebagai balas budi saat dia sudah sadar nanti. Dao sedih mendengarnya, tapi dia tetap berusaha menyembunyikannya di balik senyum.
Saat Jane datang tak lama kemudian, Jee mengembalikan mobilnya Jane dan berterima kasih padanya. Tapi saat Jane tanya Thit di mana, Jee menolak memberitahu dan hanya meyakinkan Jane kalau Thit berada di tempat yang aman sekarang. 'Mereka' tidak akan bisa menemukannya.
"Mereka? Apa maksudmu... anak buahnya ayah tirimu? Kau tahu kalau P'Thit sedang menginvestigasi kasus korupsi ayah tirimu, kan?"
"Ya. Aku tahu."
"Maaf. Tapi aku penasaran, kenapa kau membantu P'Thit alih-alih ayah tirimu?"
Chait datang menemui Thit. Sama seperti Jane, Chait juga heran kenapa Jee malah membantu Thit dan bukannya ayah tirinya sendiri? Atau jangan-jangan ini memang rencana mereka?
Chait juga tidak ingin berpikir buruk sih, tapi dia tidak bisa menahan pikirannya ini, bahwa mungkin Jee bekerja sama dengan Sitta dengan mendekati Thit untuk mendapatkan kepercayaannya. Dengan begitu, Jee bisa menyelidiki Thit lalu melaporkan hasilnya pada Sitta.
Jee dan Dao pulang bersama dari rumah sakit, tapi malah mendapati Chaiyan lagi mabuk di depan apartemen mereka. Terpaksalah kedua wanita itu harus bersusah payah memapahnya masuk.
Jee berusaha menyuruhnya pulang, tapi Chaiyan ngotot tidak mau pulang. Dia tidak mau melihat istrinya. Bisakah dia tinggal di apartemennya Jee ini saja?
"Tidak boleh! Satu-satunya tempat yang harus kau tuju adalah rumahmu!"
"Nggak mau."
"Harus!"
"Enggak... mau!"
"Kalau kau tidak mau pulang, kutampar kau!"
"Kau boleh menamparku, menendangku atau meninjuku sesukamu. Tapi aku tetap tidak akan pulang. Aku mending tidur di jalan kayak anjing daripada pulang."
"Kau mau tidur di jalan bersama anjing, apa kau bahkan sudah tanya ke anjingnya apakah mereka mau tidur bersamamu? Berhentilah merana dan pulang ke istrimu sana!"
"Kali ini aku tidak merana dan tidak marah. Tapi aku sedih dan kecewa. Jee... Piak menyuruh orang untuk menembakmu. Aku tidak bisa terima itu!"
Mendengar itu, Jee langsung mengeplak kepala Chaiyan sampai dia pening. Chaiyan bingung, siapa yang mengeplaknya barusan dan Dao langsung menjawabnya dengan mengarahkan Chaiyan ke Jee.
"Kenapa kau mengeplakku?"
"Biar kau sadar dan mendengarkanku, Khun Piak tidak menyewa para penembak itu, orang lain lah pelakunya."
"Hah?"
Gregetan, Jee langsung menjewer kuping Chaiyan dan menegaskan bahwa Piak tidak terlibat dalam penembakan itu. Pulang sana!
"Jee... kapan aku tiba di sini? Ruangan ini... berputar..." Dan Chaiyan pun pingsan. LOL! Bahkan kedua wanita sudah tak sanggup lagi membangunkannya.
Jee jadi tak enak pada Dao, sepertinya mereka harus membiarkan Chaiyan tidur di sana malam ini. Dao sih tidak masalah. Tapi Piak lah masalahnya, apalagi Jee masih bermasalah dengannya. Kalau Piak sampai tahu, masalah bisa tambah runyam.
Piak merenung sedih memikirkan ucapan Jee tadi. Tapi saat dia teringat nasehat Jee untuk berusaha memperbaiki hubungan mereka sebelum terlambat, Piak berubah keras kepala lagi dan menyatakan pada dirinya sendiri kalau dia masih bisa hidup dengan baik bahkan tanpa Chaiyan sekalipun.
Jee baru saja menyelimuti Chaiyan saat ponselnya berbunyi dari Guru Arie, tapi yang bicara ternyata Thit yang menelepon untuk menanyakan Chaiyan.
"Jika mereka berdua saling belajar, pasti akan lebih baik."
"Dan bagaimana dengan Khun Jade?"
"Aku tadi menjenguk, tapi dia sedang tidur. Tapi Dao bilang tak ada yang perlu dikhawatirkan. Dia bisa pulang dalam beberapa hari ke depan."
Chaiyan tiba-tiba menggumamkan nama Piak dan Thit bisa mendengar suaranya. Chaiyan ada di apartemennya Jee? Jee mengiyakannya, Chaiyan mabuk dan sekarang tidur. Terus kenapa Jee tidak mengantarkan Chaiyan pulang?
"Hei, Khun. Dia bahkan tidak bisa bangun sendiri. Kenapa? Apa kau takut akan menahan adik iparmu? Aku tidak akan melakukan apapun pada adik iparmu."
"Bukan begitu. Aku mempercayaimu, tapi aku tidak mempercayai orang mabuk. Aku ingin kau mengantarkan Chaiyan pulang karena sebaik apapun seseorang, tapi mereka bisa melakukan apapun tanpa berpikir saat mereka mabuk. Kau tetaplah seorang perempuan dan aku tidak mau kalian berduaan."
"Cemburu?" Gumam Chaiyan tiba-tiba (Pfft!). Tapi yang dia maksud Piak. "Piak, kenapa kau cemburu?"
Jee meyakinkan kalau dia tidak berduaan dengan Chaiyan kok, Dao juga ada di rumah. Chaiyan tidur di luar dan Jee tidur di dalam kamar. Jadi Thit tidak perlu khawatir.
"Oke. Kalau begitu masuk kamar, kunci pintu lalu tidur."
"Apa kau memerintahku?"
"Err, nggak. Aku cuma... anu... sekarang kan sudah larut malam."
"Kalau begitu kau tidurlah. Dan jangan lupa mengecek semua pintu sudah terkunci atau belum, soalnya Guru biasanya pelupa."
"Sudah kulakukan. Tidurlah."
"Kalau begitu... aku pergi."
Tapi tetap saja tak ada satupun dari mereka yang menutup teleponnya seolah tak ingin berpisah tanpa menyadari kalau Guru Arie lagi nguping dari belakang.
"Kenapa kau tidak menutup teleponnya?"
"Kau yang bilang mau menutup telepon."
"Aku tutup, deh."
Tapi tetap saja tak ada yang mau menutup telepon duluan. Guru Arie sontak pura-pura bersin dan beralasan kalau dia cuma mau mengecek pintu. Silahkan dianjutkan! Thit jadi salting dan buru-buru menutup teleponnya.
"Di sini dingin. Tapi ada beberapa orang yang merasa hangat. Bukankah menurutmu begitu?" Goda Guru Arie.
Setelah percakapan mereka di telepon itu, Jee dan Thit sama-sama merenung menatap langit, saling memikirkan satu sama lain dengan hati berbunga-bunga.
2 Comments
Siiippp lanjuuttt min makin bapeeerr nie...dr benci jdi cintaa...semangaat ya min jng lama2 lanjutannya
ReplyDeleteLanjut....
ReplyDeleteHai, terima kasih atas komentarnya, dan maaf kalau komentarnya tidak langsung muncul ya, karena semua komentar akan dimoderasi demi menghindari spam