Sinopsis Kleun Cheewit (Waves of Life) Episode 1 - 4

Sinopsis Kleun Cheewit (Waves of  Life) Episode 1 - 4


Piak langsung menelepon Chaiyan dan menyuruh Chaiyan untuk bilang ke Managernya Jee untuk mengadakan konferensi press yang benar. Jika tidak, Jee akan berakhir di penjara karena membunuh seseorang.

Chaiyan terkejut mendengarnya. "Membunuh seseorang. Jangan-jangan Tiw..."


Thit menggenggam erat tangan Tiw untuk yang terakhir kalinya dengan berlinang air mata dan teringat kenangan-kenangan indah mereka selama ini. Dengan lembut dia mengecp kening Tiw. "Beristirahatlah dengan tenang, Tiw."


Dao baru kembali tepat bersamaan dengan Jee yang mau keluar. Jee mengaku sudah ingat semuanya. Itu bukan sekedar mimpi, dia benar-benar menabrak seseorang.

Karena itulah, dia mau pergi untuk menyerahkan dirinya ke polisi. Dia tidak akan membiarkan Stefan disalahkan. Dao berusaha menghentikannya, tapi Jee tidak mau dengar.

Belum juga sampai pintu, Khun Ying tiba-tiba datang dan langsung menariknya dengan kasar sampai Jee terbanting ke kursi lalu melempar koran hari ini ke padanya.

Gara-gara Jee, hari ini Khun Ying terpaksa harus membatalkan semua acaranya dan berkeliaran kesana-kemari untuk membereskan masalah ini! Dan sekarang Jee mau memperumit masalah dengan menyerahkan diri?

"Aku tidak pernah meminta ibu untuk membantuku!"


Jee langsung beranjak pergi. Saat Dao terus berusaha menghentikannya, Khun Ying sinis menyuruh Dao untuk membiarkan Jee pergi.

Kalau Jee menyerahkan dirinya, maka bukan cuma dia yang akan dipenjara. Suki dan Stefan pun akan dipenjara karena memberikan kesaksian palsu.

"Mengacaukan hidupmu sendiri masih belum cukup. Kau masih harus mengacaukan hidup orang lain juga. Dan ini masih belum termasuk semua bisnis yang akan hancur karenamu." Sinis Khun Ying

Lakorn-nya Jee kan masih belum selesai. Pasti lucu sekali jika nang'ek-nya tidak bisa syuting karena dipenjara. Perusahaan yang mempekerjakan Jee juga pasti akan merugi.


Jee selalu saja bikin perkara tanpa bisa menyelesaikannya. Kalau dia tidak mau memperburuk keadaan, maka sebaiknya dia diam saja dan ikuti permainan ini. Diam saja dan lanjutkan perannya sebagai nang'ek yang cantik.

Jee menolak. Dia tidak mau mengikuti jejak Khun Ying. Pura-pura jadi orang suci untuk menutupi kebusukannya. Mukanya tidak setebal muka Khun Ying.

"Kalau mukamu setipis itu, maka kembalilah ke luar negeri! Jangan berkeliling mencari nafkah dan tidur dengan pria untuk mempermalukanku. Aku akan menyokongmu. Katakan saja berapa banyak uang yang kau mau. Aku mampu menyokong anak tunggalku."

"Ini namanya bukan menyokong, tapi mengusir. Mengusirku dari hidup ibu karena ibu tidak ingin lagi melihat wajahku. Ibu tidak ingin dekat-dekat denganku karena aku duri dalam hati ibu! Aku adalah kebenaran yang ibu pandang hina! Khun Ying yang dianggap masyarakat sebagai malaikat, sebenarnya adalah orang yang haus akan uang dan rela melakukan apapun demi uang!"

PLAK! Khun Ying sontak menampar Jee. Bagus kalau Jee tahu sejarah hidupnya. Kalau begitu, seharusnya Jee tahu kalau Khun Ying tidak akan membiarkan hidupnya hancur karena kecerobohan Jee.

"Apa yang terjadi bukan karena kecerobohan. Apa ibu mau tahu kenapa itu bisa terjadi? Kalau begitu, pergilah tanya pada suami ibu tentang apa yang dia lakukan padaku!"

 

Dao buru-buru mengejar Jee. Dia penasaran dengan maksud Jee tadi. Memangnya apa yang sudah dilakukan bapak tirinya Jee padanya? Jee tidak bisa menceritakannya sekarang, dia harus pergi menemui orang yang ditabraknya.

Tapi langkahnya terhenti saat Chaiyan datang dan mencegahnya pergi. Dia tidak perlu pergi menemui Tiw. Jee heran mendengar nama asing itu. Chaiyan memberitahunya bahwa korban yang dia tabrak itu adalah Tiwadee, pacarnya kerabatnya Piak.

"Maafkan aku, P'Chaiyan. Aku sungguh tidak sengaja. Lalu bagaimana keadaannya? Dia di rumah sakit mana? Tolong bawa aku ke sana. Kumohon."

Chaiyan menegaskan kalau dia tidak perlu pergi ke sana. Jee tidak mengerti kenapa? Kenapa dia tidak boleh melakukan apapun? Dia tidak boleh mengakui kebenarannya, dan sekarang dia bahkan tidak bisa mengunjungi korban. Kenapa?!

"Tiwadee sudah meninggal dunia, Jee!"

Shock, Jee kontan terjatuh lemas dalam pelkan Dao dengan berlinang air mata.


Thit menangis di depan kuil saat Chait datang melayat. Thit tanya apakah pembunuh Tiw sudah tertangkap? Apa Chait sudah menahan wanita itu? Chait menegaskan kalau dia tidak bisa menangkapnya.

Kenapa tidak bisa? Tuntut Thit. Dia kan sudah bilang kalau wanita itu terlibat dalam kematian Tiw! Tapi Chait mengingatkan bahwa kesaksiannya saja tidak cukup untuk menahan Jee. Dia harus punya bukti.

"Kalau begitu, carilah bukti, saksi dan rekaman CCTV."

"Itu dia masalahnya. Semua CCTV di TKP tidak berfungsi." (Hah?!)


Hmm, sepertinya semua itu ulahnya Sitta. Khun Ying bahkan berterima kasih karena Sitta sudah membantunya mengamankan bukti-bukti yang melibatkan Jee.

Dengan muka tanpa dosa, Sitta kesal menggerutui berbagai tingkah nakal Jee dan mengklaim kalau semua ini karena Jee kurang didisplinkan orang tua. 

Maka dia langsung memanfaatkan kesempatan itu dengan menyuruh Khun Ying untuk menyuruh Jee tinggal di rumah ini lagi dengan alasan agar dia bisa didisiplinkan.

Khun Ying diam saja walaupun tampak jelas dia cemas. Saat dia berbalik, dia malah melihat pelayan setianya Sitta lagi nguping di luar.


Kedua wanita itu sontak sindir-sindiran. Si pelayan nyinyir, dia yakin Sitta sebentar lagi pasti akan membuang Khun Ying, sama seperti wanita-wanita lainnya.

Khun Ying dengan angkuhnya mengingatkan si pelayan kalau dia berbeda. Dia punya kemampuan menghasilkan uang untuk Sitta, tidak seperti wanita-wanita lainnya. Sitta tidak akan mencampakkannya semudah itu.

"Kalau bukan karena dia suka dengan pelayananmu seperti mencuci kakinya, dan memotong kukunya, aku pasti sudah memecatmu sedari dulu! Kalau kau tidak mau diusir dari rumah ini, tundukkan kepalamu di kakiku dan jangan berani-berani menatapku!"


Chaiyan berusaha menenangkan Jee dan mengingatkannya bahwa segalanya sudah terlanjur terjadi, jadi tidak ada guna terlalu memikirkannya.

Tapi tentu saja ucapannya itu sama sekali tidak bisa menenangkan Jee. Dia yang bersalah, tapi malah lari dari tanggung jawab. Chaiyan meyakinkannya untuk tenang dan jangan terus menyalahkan dirinya sendiri.

Chaiyan lalu pamit. Jee bisa menduga kalau Chaiyan pasti mau pergi ke pemakamannya Tiw dan langsung ngotot meminta Chaiyan untuk membawanya ke sana juga. Bahkan saat Chaiyan menolak, Jee mengancamnya untuk membawanya ke sana atau dia akan pergi sendiri.

 

Thit pergi sebentar untuk membicarakan prosesi kremasinya Tiw dengan pihak kuil. Tepat saat itu juga, Chaiyan baru datang bersama Jee dan mereka mendengar beberapa pelayat membicarakan Ibunya Tiw.

Ibunya Tiw harus menjual rumah dan sawahnya demi membiayai sekolahnya Tiw. Tapi sekarang saat Tiw baru dapat kerja, Tiw malah meninggal dunia. Para pelayat lain mengenali Jee sebagai artis yang menabrak Tiw.


Berusaha menahan air matanya, Jee mengacuhkan mereka untuk memberikan penghormatan terakhir untuk Tiw dan meminta maaf setulus hati pada mendiang.

"Tolong maafkan aku. Beristirahatlah dengan tenang. Jangan mengkhawatirkan ibumu, aku akan menjaganya sebisaku."


Jee lalu menghampiri Ibu Tiw tanpa mempedulikan larangan Chaiyan. Jee setulus hati memohon maaf atas apa yang menimpa Tiw. Tapi Ibu Tiw percaya kalau Jee bukan pelakunya, jadi Jee tidak perlu meminta maaf.

Jee terdiam canggung mendengarnya. "Saya... meminta maaf atas supir saya."

"Tidak apa-apa. Aku tidak ingin memendam amarah pada siapapun. Biarkan saja ini menjadi dosa dan karma. Aku akan menganggap amalan putriku hanya sampai di sini."

 

Biksu datang tak lama kemudian untuk mendoakan mendiang. Jee dan Chaiyan pun duduk bersama pelayat lainnya. Di tengah acara, Thit baru kembali dan langsung emosi saat melihat Jee di sana.

Bersambung ke part 5

Post a Comment

0 Comments