Bibi mengaku putrinya tidak ada bersamanya. Kalau Chalat ingin bertemu, maka dia akan butuh waktu untuk mencarinya. Chalat akhirnya mengaku kalau Ayahnya sakit parah. Ia tidak bisa bicara, tapi ia sangat ingin bertemu Bibi dan putri mereka.
"Aku juga kesusahan. Aku juga sakit. Aku harus mencari rebung dan sayuran lainnya untuk bertahan hidup. Aku tidak bisa membesarkan putriku, jadi aku harus membiarkan orang lain membesarkannya. Tapi jika kau ingin aku mencarinya, aku tidak punya uang..."
Oh, Chalat mengerti apa maunya dan langsung memberinya beberapa lembar uang. "Apa ini cukup?"
Bibi menangis, mengklaim kalau saja dia tidak sakit dan kesusahan, dia tidak akan meminta apapun dari Chalat. Jika saja keadaannya tidak seperti ini, dia pasti sudah lama pergi mencari Ayahnya Chalat. Tapi dia benar-benar kesusahan belakangan ini.
Chalat mengerti kok. Dia akan datang lagi untuk bertemu adiknya. Lalu kapan dia bisa datang lagi?
"Beri aku waktu. Sekitar... sekitar seminggu."
Baiklah. Ngomong-ngomong tentang itu, Chalat jadi antusias. Dia tidak pernah memiliki saudara selama ini, apalagi seorang adik perempuan.
Braranee datang lagi hari itu. Tapi Rin langsung mengembalikan dokumennya dan mengaku kalau dia tidak tega menyuruh Saran menandatanganinya. Dia sungguh tidak bisa melakukannya.
Kalau Saran menandatanganinya, dia bisa ditahan dan beras-berasnya Panit pasti akan disita. Bahkan Panit pun mungkin akan dipenjara. Bukankah semua itu terlalu beresiko. Braranee langsung menangis mendengarnya, Panit pasti akan sangat marah dan tidak mau pulang.
"Kalau dia tidak pulang, maka aku sendiri yang akan membawamu pulang ke Bangkok. Kalian berdua belum menandatangani sertifikat pernikahan. Jangan takut ataupun khawatir, kau bisa memulai hidup baru."
Braranee menolak. "Aku tidak mau pisah dengannya, tidak mau. Apa kau sadar apa yang kau katakan?"
"Aku sudah melihat akhir dari istri seorang penjahat. Mae Nim - istri Tiger Bang, mengikuti suaminya karena dia setia. Tapi pada akhirnya, dia mati bersama suaminya."
Braranee ngotot kalau Panit beda dari Nim. "Panit bukan pencuri!"
"Kau pikir menggelapkan uang negara itu tidak salah? Anggap saja kita dirampok, kita dirampok karena kita kekurangan polisi, kekurangan jumlah polisi karena uang pajak kurang. Apa kau masih akan bilang kalau itu tidak ada hubungan? Alasan sebuah negara memburuk adalah karena adanya para koruptor."
Tapi Braranee tidak peduli dan terus ngotot ingin mendapatkan tanda tangannya Saran. Kalau tidak, Panit pasti akan menceraikannya.
"Dia menikahimu demi keuntungan bisnis, bukan supaya kalian saling menjaga satu sama lain. Sudah tiga minggu dia meninggalkan rumah. Orang kejam seperti itu, tidak seharusnya kau mencintainya."
Pokoknya Braranee tidak mau pisah dengan Panit, tidak akan pernah. "Rin, kumohon. Minta dia untuk menandatangani ini. Kumohon."
Rin menolak, tapi Braranee terus ngotot memaksanya. Kedua wanita itu terus otot-ototan tanpa menyadari Saran yang melihat mereka dari lantai atas.
Duang sekeluarga sudah bersiap menunggu kedatangan tamu. Naris datang tak lama kemudian bersama seorang bule bernama Mr. Jim. Naris memberitahu mereka bahwa Mr. Jim ini adalah seorang ahli dalam bisnis Departemen Store di London.
Dia mengundangnya kemari sebagai penasehat mereka. Mr. Jim membawa floor plan untuk diperlihatkan pada mereka. Ayah langsung antusias. Ia mengaku kalau ia tidak punya pengalaman apapun dalam bidang bisnis ini. Karena itulah, ia sangat berterima kasih atas bantuan Mr. Jim.
Sementara Ayah dan Mr. Jim sibuk ngobrolin bisnis, Duang tampak bosan dan akhirnya memutuskan keluar. Naris langsung pergi menyusulnya. Karena Duang bosan, dia ingin mengajak Duang berpesta nanti malam.
"Memangnya kau ada waktu? Kulihat kau bekerja sampai larut malam kemarin."
"Aku sudah merancanakan hidupku. Aku ingin menghemat uang untuk membeli kembali Istana Kaew, untukmu."
Duang senang mendengarnya. Naris tahu kalau Duang marah padanya karena dia menjual istana keluarganya itu, dan juga marah karena dia tidak punya apapun selain namanya.
"Aku janji pada diriku sendiri, aku akan membuatmu bahagia."
"Terima kasih, Khun Chai."
Tapi Naris memperhatikan, Duang yang sekarang beda dari sebelumnya. Dia tidak tampak bahagia sama sekali. Apa sebenarnya kelebihan mantan kekasihnya Duang itu hingga Duang tidak bisa melupakannya?
"Tidak bisa melupakan mantan kekasihku?"
Membahas masalah itu malah membuat Duang teringat pada musuh bebuyutannya aka Rin dan pertengkaran terakhir mereka.
Dia sama sekali tidak memikirkan mantan kekasihnya, melainkan wanita itu. Di pikirannya cuma ada wanita itu. Dia tidak terima kalau sampai kalah dari wanita itu!
Saat Saran terbangun pagi itu, dia malah menemukan sebuah dokumen di nakas yang jelas saja langsung membuatnya kesal. Bahkan saat Rin masuk tak lama kemudian untuk membantunya latihan jalan, Saran sontak menampik tangannya dengan kesal.
Rin bingung. "Ada apa?"
"Kalau kau ingin aku masuk penjara, akan kulakukan sesuai janjiku. Akan kutandatangani dokumen itu sekarang juga!" Saran langsung mengeluarkan dokumen itu dengan penuh emosi...
Tapi malah tercengang mendapati itu bukan dokumennya Panit, melainkan surat izin cuti. Nuer masuk saat itu juga sambil memberitahu Saran bahwa setelah dia menandatangani surat izin cuti itu, dia akan menyerahkan surat itu ke atasannya besok.
Saran jelas bingung. "Ini bukan dokumennya Khun Panit."
"Tentang dokumen itu, aku tidak akan merepotkanmu. Aku benar-benar tidak bisa membiarkanmu menandatanganinya."
"Walaupun Braranee sangat menderita seperti itu? Biasanya kau selalu memilih keluargamu di atas segala-galanya. Kali ini, kenapa kau..."
"Kau seperti ayahku. Rumah kami tidak punya benda-benda mewah. Kami bahkan tidak punya telepon. Aset orang jujur bukanlah uang, melainkan hidup yang penuh kebahagiaan dan rasa aman. Jika aku menyuruhmu menandatanganinya, itu melanggar moralmu."
Saran tersentuh mendengarnya. "Mengerti - mengambil hati mereka dan meletakkannya di hati kita. Aku mengerti." Ujar Saran sembari menggenggam tangan Rin.
Na Wan sedang bermain di kebun, mereka duduk di sana siang harinya. Sementara Rin sibuk memperhatikan Na Wan, Saran sibuk sendiri memandangi Rin dengan penuh cinta.
Dalam suratnya pada Chalat, Saran mengaku bahwa hari ini hatinya dipenuhi dengan kebahagiaan. "Ternyata dunia tidak jahat pada orang yang kurang beruntung seperti aku. Aku benar-benar memiliki kesempatan keduaku untuk mendapatkan cinta."
Saran tiba-tiba bangkit dari kursi rodanya lalu cup~~~ mengec~p pipi Rin. Heee. Malu, Rin langsung protes sambil memukulnya.
"Aku cuma sedang memandang bunga matahari kok. Kukira Na Wan akan bicara pada bunga matahari. Ternyata malah pipimu yang menghalangiku."
"Dasar gila."
Saran tiba-tiba mengambil tangan Rin. Tapi alih-alih cuma sekedar menggenggam, kali ini Saran benar-benar menautkan jari-jemari mereka yang jelas saja membuat Rin bahagia. Dia lalu menghitung kesepuluh jari mereka yang saling bertautan.
Ah, jadi itu maksudnya dia menghitung jari. Kali ini jari-jemari mereka lengkap sepuluh jari saling bertautan jadi satu dan bukan cuma 5 jari seperti sebelumnya. Saran semakin terpesona padanya dan langsung mengec~p lembut tangan Rin.
Bibi Chalat mendapat surat dari Chalat lalu memperlihatkan foto wanita yang mengaku bernama Reung itu agar Ayah Chalat bisa mengonfirmasi kebenaran tentang orang ini. Apa wanita ini istrinya?
Tapi saat Chalat kembali ke rumah Bibi itu satu minggu kemudian, rumahnya malah kosong. Lebih anehnya lagi, barang-barangnya juga tidak ada.
Saat dia kembali ke hotel, dia ditelepon bibinya. Bibi mengaku awalnya sulit memahami apa yang ingin diungkapkan Ayah Chalat, apalagi Ayah cuma menangis dan menangis. Tapi Bibi terus memberinya semangat hingga akhirnya Ayah bisa bicara dan berkata. "Bukan... bukan..."
Chalat jelas kesal mendengarnya. Jadi wanita itu membohonginya demi mendapatkan uangnya. Tapi anehnya, wanita itu tahu kalau Ayahnya punya anak. Wanita itu sendiri yang ngomong, padahal Chalat sendiri tidak pernah bilang-bilang pada siapapun.
Dan sepertinya wanita itu sangat yakin akan ucapannya, makanya Chalat mempercayainya. Jadi, siapa sebenarnya wanita itu?
"Kau tidak sabaran seperti sebelumnya. Makanya dia mengambil keuntungan darimu. Lain kali kau harus lebih bersabar. Jangan biarkan siapapun menipumu lagi."
"Entahlah. Pokoknya kalau aku tidak bisa menemukan adikku, maka aku tidak akan pulang. Aku harus menemukan adikku."
Duang baru pulang dan langsung diomeli ibunya yang penasaran dia dari mana barusan? Dengan senyum liciknya Duang berkata kalau dia mengirim telegram ke Paktai. Tapi dia tidak mengirimnya ke Saran, melainkan ke Istrinya Saran.
0 Comments
Hai, terima kasih atas komentarnya, dan maaf kalau komentarnya tidak langsung muncul ya, karena semua komentar akan dimoderasi demi menghindari spam