Episode 2: Poin Kemenangan, aku tidak akan kalah dalam permainan.
Bersikeras meyakini pertemuan mereka ini hanya kebetulan dan bukan takdir, Jae In lalu membawa Da Hyun ke cafe untuk membicarakan masalah ini lebih lanjut. Sekali lagi dia menegaskan bahwa kakeknya menginginkan mereka berdua untuk menikah. Di keluarganya, ucapan kakeknya adalah hukum.
Da Hyun masa bodoh, seharusnya Jae In selesaikan sendiri masalah itu dengan kakeknya dan bukannya malah membebani orang lain. Dan lagi, dia benar-benar tidak kenal sama kakeknya Jae In.
Jae In sontak menggebrak meja dengan marah, sama sekali tak mempercayai kklaimnya Da Hyun. Kesal Da Hyun langsung beranjak bangkit Jae In pergi untuk menemui kakeknya Jae In dan membicarakan masalah ini.
Jae In tidak bisa percaya padanya, kan? Sama! Da Hyun juga tidak percaya padanya. Dia sama sekali tidak tertarik pada Jae In maupun uangnya. Jadi ayo pergi dan bicara sama kakeknya Jae In.
Da Hyun langsung jalan duluan, dan lagi-lagi, dia ceroboh dan lupa membawa HP-nya sehingga Jae In harus membawakannya untuknya, dan Da Hyun refleks mengucap terima kasih dengan sopan.
Jae In menyuruhnya naik mobilnya. Tapi Da Hyun menolak, bersikeras mau naik taksi saja. Jae In mengingatkan bahwa mereka akan pergi ke satu tempat yang sama. Tapi Da Hyun bersikeras tak mempercayainya, mana dia tahu apa yang akan Jae In lakukan padanya nanti. Dunia ini penuh bahaya.
Dia bahkan menuntut Jae In untuk menelepon kakeknya itu. Atau mungkin... orang itu sebenarnya komplotannya Jae In (untuk menipunya). Maka untuk membuktikan dirinya dan kakeknya, Jae In pun langsung menelepon kakeknya saat itu juga di hadapan Da Hyun.
Dia memberitahu Kakek bahwa wanita yang kakek jodohkan dengannya ingin bertemu dan bicara sama kakek, dia ingin tahu siapa kakek. Tapi Kakek menolak dan menegaskan bahwa ini misinya Jae In, jadi Jae In sendiri yang harus mengurusnya.
Kakek tersenyum puas begitu mematikan teleponnya, "Lee Jae In, sekarang giliranmu untuk menderita. Tidak semua hal di dunia ini bisa berjalan sesuai keinginanmu."
Da Hyun jadi semakin yakin kalau dia tuh penipu. Makanya yah, kalau mau nipu tuh, dipersiapkan segalanya matang-matang. Aigoo! Jae In tidak mengerti kenapa Da Hyun tidak percaya padanya?
"Kau sendiri tidak percaya padaku, jadi kenapa pula aku harus percaya padamu? Tanya saja orang-orang di jalan apakah situasi ini normal bagi mereka?"
"Maksudmu aku ini gila?"
"Setidaknya mau mengerti sebanyak itu." (Pfft!)
Jae In sontak ngakak gila dengan kesal lalu kemudian mencengkeram tangan Da Hyun dan menyeretnya kembali ke cafe. Da Hyun sontak berusaha melawan, maka Jae In langsung mengancam akan membopongnya dengan paksa kalau dia terus melawan.
Ketakutan, Da Hyun sontak melepaskan tangannya dan lari kembali ke cafe. Kali ini mereka duduk di gazebo dan Da Hyun langsung mengancam akan menelepon polisi. Heran dia, apa sih yang sebenarnya sedang Jae In lakukan?
"Kurasa kita benar-benar harus bicara serius dari hati ke hati."
"Tidak ada yang perlu kubicarakan dengan orang semacam dirimu."
Frustasi, Jae In langsung menggoogling dirinya sendiri lalu memperlihatkannya ke Da Hyun. Apa Da Hyun percaya padanya sekarang? Da Hyun kaget, tapi sedetik kemudian, dia malah berkomentar bahwa Jae In cuma cukup mirip dengan orang itu. Pfft!
"Bukan aku mirip dengannya. Dia memang aku!" bentak Jae In frustasi.
Ketua Tim Kang bertanya-tanya apakah Kakek benar-benar punya hutang pada Bu guru itu? Kakek membenarkan. Ketua Tim Kang heran, apakah hutang itu tidak bisa dibayar dengan cara lain saja? Menurutnya, menjodohkan bu guru itu pada Jae In bukannya membalas hutang budi, malah hanya akan menjadikan Bu guru itu memusuhi Kakek.
"Apa cucuku seburuk itu?"
"Oh tidak! Tidak sama sekali! Dia tidak kurang suatu apa pun itulah masalahnya, terutama kebrengsekannya." (Pfft!)
"Makanya dia butuh Da Hyun!"
Jae In itu selalu mengencani wanita yang sama persis seperti dirinya, dan satu-satunya hal yang dia pedulikan di dunia ini cuma uang. Kakek tidak bisa membiarkan Jae In hidup seperti itu selamanya.
"Aku tidak punya banyak waktu," resah Kakek.
Da Hyun menyimpulkan bahwa kakeknya Jae In akan mewariskan harta padanya dengan syarat dia harus menikahi Jae In. Tapi Da Hyun tidak suka dengan syarat itu.
Jae In memberitahu Da Hyun bahwa nilai saham yang akan dia dapatkan, jumlahnya jauh lebih besar dari gaji gurunya selama 10 tahun. Saking emosinya, dia refleks bicara dengan banmal yang sontak dipermasalahkan sama Da Hyun, dia bahkan menuntut Jae In untuk memanggilnya dengan benar dan sopan.
Jae In masa bodoh. Tidak penting harus memanggil apa, dia nih sedang membicarakan masalah uang yang jumlahnya sangat banyak, tahu! Bisa-bisanya Da Hyun malah cuek.
"Dengar... Err... Siapa namamu tadi?" tanya Da Hyun lupa nama Jae In. Pfft!
Jae In sampai frustasi banget sama dia, "Lee Jae In."
"Oh yah, Tuan Lee Jae In. Begini yah, ini bukannya rumahku akan digusur besok atau aku kelaparan. Aku baik-baik saja biarpun tanpa warisan menyebalkan itu. Jadi kenapa juga aku harus menikah denganmu?"
Jae In menegaskan bahwa jika Da Hyun tidak menikah dengannya, maka hidup Da Hyun akan sangat kerepotan. Jika orang-orang tahu bahwa Da Hyun akan mendapatkan warisan besar dari SH Group jika dia menikah dengan siapapun, maka akan banyak sekali orang yang akan mengerubungi Da Hyun bagai lalat. Memangnya Da Hyun sanggup menghadapi semua orang itu?
"Kedengarannya tidak buruk," santai Da Hyun, "tapi yang pasti bukan kau yang akan kupilih untuk kunikahi."
Da Hyun menyimpulkan bahwa kakeknya Jae In pasti harus menggunakan harta yang sangat banyak untuk menutupi sifat buruk Jae In, makanya kakeknya Jae In melakukan ini dan memasukkan Jae In sebagai 'hadiah gratis' dalam perjanjian.
Usai pertemuan itu, Jae In sontak mendatangi Pengacara Park dengan kepala panas sampai Pengacara Park dengan senyum geli memesankan air es untuk mendinginkan Jae In. Pengacara Park penasaran apakah pertemuan dengan bu guru itu tidak berjalan baik? Apa bu guru itu sulit ditangani?
Jae In dengan kesal memberitahu Pengacara Park kalau bu guru itu benar-benar pintar bikin orang kesal setengah mati. Wanita itu sungguh licik, picik dan sangat tidak tahu malu.
"Dengan kata lain, dia itu pintar, cerdas dan pemberani?" tanya Pengacara Park dengan senyum geli.
Jae In jadi tambah kesal mendengarnya. Asal Pengacara Park tahu saja, wanita itu tadi menyebutnya sebagai 'hadiah gratis', wanita itu juga keukeuh berkata kalau dia tidak tertarik dan tidak menginginkan pernikahan ataupun uang warisan itu. Pengacara Park jadi cemas mendengarnya, terus apa yang akan Jae In lakukan?
"Apa lagi? Aku akan terus menekannya sampai dia hancur. Apa kau pernah melihatku kalah?"
Di toko buku, Da Hyun menemukan buku yang ditulis kakeknya Jae In beserta fotonya. Namun dia hanya mengenalinya sebagai kakeknya Jae In dan lupa sepenuhnya kalau orang itu adalah kakek yang pernah dia kira gelandangan.
"Apakah anda mengenal saya? Kenapa anda melakukan ini pada saya? Kenapa anda tidak memberi saya uangnya saja. Itu akan jauh lebih baik. Kenapa anda harus melemparkan cucu anda dalam perjanjian?"
Idolanya - Ji Soo, mendadak muncul dan memanggil Da Hyun 'Bu Guru'. Da Hyun mengingatkannya untuk tidak memanggilnya seperti ini, dia adalah presiden fanclub-nya Ji Soo lalu membantu Ji Soo memakai topi agar dia tidak dikenali banyak orang. Dia berada di sana ternyata membantu Ji Soo memilih buku-buku buat persiapan ujiannya Ji Soo.
Di kantornya malam itu, Jae In menatap foto kusutnya Da Hyun dan dengan kesal berkata, "Maaf, tapi aku tidak bermain untuk kalah."
Bersambung ke Part 2
1 Comments
Lanjut terus ya mba imma
ReplyDeleteHai, terima kasih atas komentarnya, dan maaf kalau komentarnya tidak langsung muncul ya, karena semua komentar akan dimoderasi demi menghindari spam