Teringat kemarahan dan tangisan Thit karena Tiw, Jee mengaku bahwa selama ini dia tak pernah percaya bahwa di dunia ini benar-benar ada yang namanya cinta sejati. Dia tak percaya bahwa akan ada orang yang rela mati demi orang lain.
"Tapi hari ini kau melihat sendiri cinta seperti itu sungguh ada." Ujar Guru Arie.
"Aku tak pernah menyangka benar-benar ada dua orang yang saling mencintai sebesar ini. Pantas saja kalau Khun Sathit sangat membenciku dan ingin membunuhku dengan tangannya sendiri. Khun Tiwadee tidak seharusnya mati karena seseorang yang tidak berharga sepertiku, Guru."
"Hei, Jee... itu kecelakaan. Tak ada seorangpun yang menginginkan hal itu terjadi. Jangan membebani dirimu dengan luka yang biasanya kau tanggung sendiri. Aku kan sudah bilang kalau kau itu bukan Spiderman. Orang yang kayak Spiderman itu aku."
"Kok guru?"
"Karena hanya aku satu-satunya yang punya jari kepedulian dan kekhawatiran untukmu. Shoot! Shoot!"
Jee tersenyum haru mendengarnya. Guru Arie menasehati Jee untuk melihat dunia ini dari sisi positif. Mungkin semua ini adalah kehendak langit agar Jee bisa melihat bahwa di dunia benar-benar ada cinta sejati.
"Cinta sejati mungkin ada, tapi tidak untukku."
Bagaimana Jee bisa tahu? Cinta itu seperti atmosfer yang mengelilingi kita. Jee lah yang membangun dinding penghalang untuk melindungi dirinya sendiri.
Jee menyangkal. Guru Arie kan bilang kalau cinta adalah sesuatu yang indah, kenapa juga dia harus menghalangi sesuatu yang indah?
"Jee, itu karena kau takut akan cinta. Kau takut untuk mencintai lalu tersakiti... seperti bagaimana kau mencintai ibumu."
Sitta lagi sarapan saat Khun Ying datang dan membicarakan jadwal pertemuan Sitta dengan seorang Jao Sua terkait masalah pembangunan kompleks baru. (Oh, dia ada hubungannya dengan kasus Nenek Jan, kah?)
Khun Ying dengan nada lemah lembut memberitahu kalau dia sudah menyiapkan sebuah pistol emas untuk Sitta hadiahkan pada Jao Sua agar pembicaraan bisnis mereka nantinya lancar jaya.
Saat si pelayan setianya Sitta muncul, Khun Ying dengan sengaja bermanja-manja pada Sitta dan minta dikasih hadiah balasan. Tapi yang tidak disangkanya, Sitta langsung mendorongnya menjauh.
"Kenapa juga aku harus memberimu hadiah? Jasa apa yang sudah kau lakukan padaku? Semua barang-barang ini adalah uangku. Baju-baju, perhiasan, bahkan posisi Khun Ying mu itu adalah uangku."
Si pelayan langsung tersenyum sinis mendengarnya, puas banget melihat Khun Ying direndahkan. Khun Ying pun cuma bisa diam menahan malu dan kesal.
Ponselnya Sitta berbunyi tak lama kemudian, sepertinya dari selingkuhannya. Begitu Sitta pergi, si pelayan pede ikut-ikutan merendahkan Khun Ying dengan memerintahkan Khun Ying untuk membersihkan reremahan roti bekas makannya Sitta.
Khun Ying tentu saja menolak direndahkan seorang pelayan. "Kenapa aku harus melakukannya? Itu tugasmu."
"Aku barusan mendengar kau mendapatkan uang dari Thun (Sitta). Aku juga mendapatkan uang dari Thun. Itu artinya status kita sama, kita sama-sama pelayannya Thun."
"Kau dan aku berstatus sama? Tapi kurasa kita berbeda."
Khun Ying lalu mengambil gelas kopi dan menumpahkannya tepat di hadapan si pelayan untuk menegaskan bahwa dia adalah seseorang yang bisa melakukan hal itu tanpa harus membersihkannya. Itulah perbedaan di antara mereka.
Si pelayan jelas kesal setengah mati dibuatnya. "Kau itu sudah mau dicampakkan, anj*ng tua busuk!"
Saat mengantarkan Bibi Wadee pulang malam itu, Thit memohon padanya untuk mengusir Jee jika dia datang lagi kemari. Kalau dia tidak mau pergi, panggil saja polisi.
Dia tidak mau melihat wanita itu menginjakkan kaki di rumah yang pernah Tiw tinggali. Dia tidak mau melihat wanita itu menyentuh anak-anak yang Tiw cintai. Cemas melihat Thit hampir menangis, Bibi Wadee langsung mem*luknya dan menenangkannya.
"Thit, apa kau pikir wanita itu bisa membuatmu melupakan Tiw?"
"Tidak akan pernah."
"Dan apa kau pikir dia akan bisa membuatku dan anak-anak melupakan Tiw? Kurasa Jeerawat datang kemari bukan supaya kami melupakan Tiw, tapi dia kemari karena dia juga tidak pernah melupakan apa yang terjadi pada Tiw."
Bibi Wadee lah yang paling terluka karena kehilangan putrinya. Tapi dia membiarkan Jee datang kemari karena Jee tidak bersalah. Thit ngotot kalau Jee adalah pelakunya, dialah yang menabrak Tiw.
Tapi bagaimana kalau dia tidak bersalah? Bahkan sekalipun Jee pelakunya, tapi dia tetap tidak bersalah karena apa yang terjadi adalah kecelakaan. Tak ada seorangpun yang menginginkan siapapun mati.
Baik Thit berpikiran sama sepertinya atau tidak, tapi Bibi Wadee yakin bahwa seseorang yang tidak sengaja menyebabkan kematian orang lain yang tidak mereka kenal, pasti akan merasa sangat bersalah dan menyesal juga.
Bibi Wadee mengerti kalau Thit ingin memberikan keadilan untuk Tiw. Tapi jika Tiw masih ada di sini, dia pasti akan meminta Thit untuk memberikan keadilan bagi kedua belah pihak.
Jee tidak tenang dalam tidurnya, memimpikan Thit saat melabraknya tadi. Dia terbangun gara-gara itu dan memutuskan untuk pergi tanpa mengetahui ada pesan masuk dari Jate.
Dao lagi berbunga-bunga memandangi foto Jate saat Jee masuk dan langsung mengajaknya main monopoli. Dia tampak sangat ceria, tapi Dao mengenalnya dengan sangat baik dan langsung tahu kalau Jee pasti lagi ada masalah.
Jee stres karena apa? Heran Dao. Jee berbohong menyangkal, tapi Dao tak percaya sedikitpun. Jangan coba-coba menyembunyikan apapun darinya. Pasti ada masalah, kan?
Jee ngotot menyangkal. Kalau Dao tidak mau main, yah sudah. Dia mau tidur saja, lalu masuk ke selimutnya Dao.
"Jee, kalau kau tidak mau bilang maka kau tidak boleh tidur."
"Dao! Kau tahu kalau aku datang untuk tidur bersamamu seperti ini itu bukan karena aku mau bicara, tapi karena aku menginginkan seseorang untuk dip*luk agar aku tidak kesepian."
Oh, jadi Jee ingin dip*luk. Oke. Dao langsung gemas mem*luknya erat-erat. Sementara kedua sahabat asyik bercanda tawa, Jate gelisah menunggu balasan Jee yang tak kunjung datang.
Keesokan harinya, Jee akhirnya diberitahu Pan bahwa Nenek Jan diusir dari rumah. Setibanya dia di sana, dia mendapati Nenek Jan sedang berusaha melawan tiga pria sangar yang ingin mengusirnya.
Para warga ingin menolong, tapi 3 preman itu langsung mengancam mereka yang kontan membuat warga mundur ketakutan. Kesal, Jee langsung maju dengan menggotong panci sup dan menyiramkannya ke para preman.
Nenek langsung cemas berusaha menyuruh Jee keluar dari sana, tapi Jee menolak. Bagaimana bisa dia tidak terlibat saat Nenek Jan mendapat masalah sebesar ini.
Jee dengan penuh keberanian mengkonfrontasi para preman itu dan mengancam akan melaporkan mereka ke polisi. Dia bahkan langsung mengangkat ponselnya di hadapan mereka.
Preman satu langsung kesal mengayunkan tongkatnya ke Jee... tepat saat Thit mendadak muncul dan melindungi Jee dengan menarik Jee ke dalam p*lukannya.
Dia menyuruh mereka untuk menyampaikan pesannya ke bos mereka bahwa dia akan mengirim bos mereka ke kantor polisi gara-gara dia mengirim orang untuk menyakiti penduduk desa.
"Ini tidak ada hubungannya denganmu!"
"Ada. Aku pengacaranya Nenek Jan."
Jee terkejut mendengarnya. Thit lebih terkejut lagi saat mengetahui wanita yang diselamatkannya barusan ternyata Jee, dan sontak keduanya saling mundur menjauh.
Setelah para preman itu pergi, penduduk desa memberitahu Thit bahwa para preman itu tiba-tiba datang mengusir mereka padahal kontak sewa mereka di tanah ini masih ada 2 tahun lagi.
Mereka tak tahu harus pindah ke mana. Sudah 20 tahun lebih mereka tinggal di sini dan tak pernah ada masalah dengan pemilik tanah yang sebelumnya. Tapi begitu anaknya mewarisi tanah ini, dia malah mengusir mereka untuk membangun kompleks baru di sini.
"Pak Pengacara, tolonglah kami." Pinta warga.
"Tenanglah dulu. Aku sudah setuju dengan Nenek Jan untuk membantu semua orang. Jangan khawatir. Apa ada yang terluka? Aku akan melaporkannya ke polisi dan menggunakannya sebagai bukti."
"Yang lain baik-baik saja. Cuma Pan dan Nenek Jan yang terluka... dan cucu perempuannya Nenek Jan juga."
Warga yang lain malah bingung, memangnya Nenek Jan punya cucu perempuan? Yang satu bilang punya, tapi yang lain juga yakin kalau mereka tak pernah melihat cucu perempuannya Nenek Jan. Thit jadi heran mendengar mereka.
Pan lagi bersih-bersih saat Nenek Jan menimpuk kepalanya dengan nampan. Dia kan sudah bilang jangan kasih tahu Jee! Nenek Jan hampir saja menghajarnya lagi, tapi untunglah Jee cepat-cepat menengahi mereka.
"Jangan menyalahkan Pan. Dia memberitahuku karena dia mengkhawatirkan Nenek. Nenek punya masalah sebesar ini, kenapa tidak bilang-bilang padaku?"
"Ini kan masalahku sendiri. Aku bisa menanganinya. Apa kau tidak lihat kalau aku punya pengacara sekarang?"
"Aku akan mencarikanmu pengacara baru."
Nenek Jan tidak mau. Dia suka pengacaranya yang ini. Tapi Pan heran, apa Jee mengenal pengacara itu? Jee cuma diam yang jelas saja mengkonfirmasi dugaan Pan.
Jee membenarkan. Dia bukan cuma mengenal pengacara itu, mereka juga saling membenci satu sama lain.
Pan langsung heboh mendengarya. Bisa kacau jika pengacara itu tahu kalau Jee pernah tinggal di sini dan mengeksposnya. Lebih baik mereka mencari pengacara baru saja.
"Kau tidak perlu melakukan itu." Sela Thit yang ternyata mendengarkan percakapan mereka.
Dia menegaskan kalau dia datang kemari untuk menyelidiki kasusnya. Rahasia orang lain, sama sekali bukan urusannya. Dia tidak peduli.
Tapi saat dia pergi, Jee langsung mengejarnya dan bersikeras mau mencari pengacara lain untuk membantu Nenek Jan. Katakan saja berapa banyak uang yang Thit inginkan sebagai ganti rugi karena telah menyia-nyiakan waktunya hari ini? Tapi Thit menolak uangnya.
"Tapi aku tidak ingin bantuan siapapun secara gratis." Ujar Jee sambil menyodorkan uangnya.
"Aku tidak akan menuntut kompensasi karena aku akan tetap menangani kasus ini untuk Nenek Jan. Mengerti?"
"Tapi aku tidak mau kau menangani kasus ini."
"Dan kenapa aku harus mendengarkanmu?"
"Aku bicara padamu baik-baik, Khun Sathit."
"Aku juga tidak menggunakan kata-kata kasar padamu."
"Bukankah kau bilang kau tidak ingin terlibat denganku? Lalu kenapa kau ingin menangani kasus nenekku?"
"Karena aku orang yang bertanggung jawab dan melakukan apa yang telah kusetujui dengan orang lain. Dan orang yang tidak bertanggung jawab, tidak akan memahami hal ini."
Dan jangan khawatir jika Jee takut dia bakalan mengekspos fakta kalau Jee mencampakkan neneknya di perkampungan kumuh. Dia tidak akan buang-buang waktu untuk membicarakan kebusukan orang lain.
Thit langsung pergi sebelum Jee bisa memprotesnya lagi. Jee bingung, dia harus minta bantuan siapa. Dia mencoba menelepon seseorang, tapi tidak diangkat.
1 Comments
Lanjjuuutt min...okey...semangaat
ReplyDeleteHai, terima kasih atas komentarnya, dan maaf kalau komentarnya tidak langsung muncul ya, karena semua komentar akan dimoderasi demi menghindari spam