Suki tak yakin dengan permintaan maafnya Piak. Situasi ini seperti 'tenang sebelum badai'. Malah mungkin akan seperti tsunami yang menghancurkan segalanya. Tapi seharusnya tidak akan ada masalah setelah lakorn ini usai, iya kan?
Malas menghadapi cerocosannya, Jee mengiyakan saja lalu masuk mobil. Tapi kenapa banyak sekali makanan di mobilnya Jee? Heran Suki.
"Aku membeli semuanya untuk anak-anak"
"Anak-anak apa? Jangan bilang..."
Jee sontak menutup mulut Suki sebelum dia protes lebih lanjut lalu bergegas pergi meninggalkannya.
Guru Arie sedang menggubah lagu saat Bibi Wadee datang. Guru Arie memperhatikan wajah Bibi Wadee pucat, apa dia sakit? Bibi Wadee berkata kalau dia cuma agak demam, tapi dia baik-baik saja.
Dia datang membawakan sekeranjang mangga sebagai ungkapan terima kasih atas semua pemberian Guru Arie untuk anak-anak selama ini. Guru Arie jadi tak enak, dessert pemberian Bibi Wadee waktu itu saja belum habis.
"Semua ini tidak sebanding dengan semua buku-buku, pensil dan permen yang selalu kau bawakan untuk anak-anak setiap hari."
Guru Arie langsung canggung mendengarnya. Dia cepat-cepat menyilahkan Bibi Wadee duduk, sementara dia sendiri ke belakang untuk mengambil nampan.
Tepat saat itu juga, Jee datang sambil teriak-teriak mengumumkan kedatangannya. "Guru! Apa kau ada di rumah? Hari ini aku bawa seafood untukmu, dan kantong yang besar ini untuk Khun Wadee dan anak-anak seperti biasanya! Untukmu, aku bawa cumi loh. Kalau tidak ada jawaban, berarti tidak ada orang di rumah. Kalau begitu, kukasih ke anjing saja."
Guru Arie sontak melesat keluar sambil mengomeli Jee untuk tidak teriak-teriak. Masih belum menyadari Bibi Wadee di sana, Jee santai saja beralasan kalau zaman sekarang itu orang-orang harus selalu mengumumkan segala sesuatu yang mereka lakukan pada dunia.
"Kalau begitu, selamat. Selain mengumumkan pada dunia, rahasiamu juga sudah terbongkar." Kata Guru Arie sambil memberi kode pada Jee untuk menoleh ke belakang.
Jee menurutinya tanpa curiga dan langsung terkejut melihat Bibi Wadee di sana. Tak lama kemudian, Bibi Wadee membawa Jee ke rumahnya.
Jee meminta maaf karena tidak memberitahukan kebenarannya sejak awal. Bibi Wadee mengerti, dia berterima kasih atas nama anak-anak. Jee sama sekali tidak keberatan, bilang saja padanya kalau Bibi Wadee membutuhkan sesuatu.
"Sebaiknya tidak. Semua ini sudah lebih dari cukup."
"Sama sekali tidak. Semua ini tidak seberapa dibanding... mengurus anak-anak seorang diri."
Suasana di antara mereka jadi canggung seketika. Semua ini memang sudah menjadi tanggung jawab Bibi Wadee. Biarpun sekarang beberapa hal berubah, dia tetap harus mengurus anak-anak itu.
"Aku tahu bibi tidak mau aku terlibat. Tapi aku tidak bisa bersikap seolah tidak tahu apapun. Kumohon... biarkan aku membantu."
Kalau begitu, berhubung Jee sudah di sini, sebaiknya dia memberikan semua hadiahnya untuk anak-anak. Bibi Wadee lalu memanggil anak-anak dan memperkenalkan Jee pada mereka dan menyuruh mereka berterima kasih pada Jee.
Anak-anak itu langsung heboh mengerubungi Jee, soalnya mereka mengenali Jee sebagai nang'ek di lakorn. Bibi Wadee sampai harus memisahkan mereka dari Jee dan tegas menyuruh mereka untuk bilang terima kasih. Anak-anak sontak berterima kasih secara serempak.
"Tidak masalah. Kalau kalian suka, lain kali aku akan bawa lebih banyak."
Jee lalu membagi-bagikan semua hadiahnya pada anak-anak. Salah satu anak tanya apakah mereka boleh memberikan sesuatu pada Jee juga. Jee penasaran, mereka mau ngasih dia apa?
Tak lama kemudian, mereka semua berlarian antusias ke kandang ayam. Ternyata mereka mau memberi Jee telur ayam.
Bibi Wadee memberitahu Jee kalau anak-anak memelihara ayam-ayam di sini untuk diambil telurnya. Sebagian untuk dimakan dan sebagian untuk dijual. Jee tak enak menerimanya, Bibi Wadee simpan saja untuk anak-anak.
"Anak-anak bangga dengan telur-telur mereka. Tolong jangan menolak kebaikan mereka."
"Tapi..."
"Tidak apa-apa."
Tiba-tiba anak-anak heboh gara-gara kandang terbuka dan para ayam langsung melarikan diri. Jadilah mereka semua ribut mengejar ayam-ayam itu dan Jee langsung ikut turun ke lapangan. Dia bahkan langsung melepaskan sepatu high heels-nya tanpa mempedulikan kubangan lumpur yang harus dilewatinya.
Pada saat yang bersamaan, Thit baru tiba dan mendapati rumah sedang kosong. Ke mana semua orang? Heran Thit. Tapi tiba-tiba dia mendengar suara teriakan dari kejauhan. Thit langsung cemas mencari Bibi Wadee.
Jee punya ide biar mereka bisa lebih cepat. Sebaiknya mereka terbagi ke dalam 2 tim. Tim satu mengepung dari kiri dan tim dua mengepung dari kanan, sementara Jee yang akan menangkap ayamnya.
Mereka semua langsung mengepung si ayam bandel. Tapi si ayam mendadak kabur, Jee sontak mengejarnya... tapi malah mendarat di d**a Thit.
"Apa yang kau lakukan di sini?!" Kesal Thit
Bibi Wadee cepat-cepat menengahi mereka dan memberitahu Thit kalau Jee datang membawakan hadiah untuk anak-anak, makanya anak-anak ingin memberikan telur ayam sebagai ungkapan terima kasih untuk Jee.
Tapi Thit malah ngamuk-ngamuk menolak hadiahnya Jee dan melemparkan semuanya kembali ke Jee. Bibi Wadee yang tampak pucat dan lemah, berusaha menghentikan Thit.
Tapi Thit terus saja marah-marah dan memperingatkan Jee untuk tidak lagi datang kemari, apalagi membawa barang-barang semacam itu lagi.
"Kekanakan." Rutuk Jee.
"Siapa?"
"Kau! Kalau kau tidak menyukaiku itu urusanmu, tapi kenapa kau harus memaksa bibi untuk tidak menyukaiku? Kau berakting kayak anak kecil."
Thit sontak kesal dan hampir saja melakukan sesuatu pada Jee. Untung saja Bibi Wadee cepat-cepat mencegahnya dan meminta Jee untuk pergi dulu. Baiklah, tapi Jee tidak mau membawa semua barang-barang ini kembali.
Thit ngotot memaksa Jee untuk mengambil semua barangnya kembali. Bibi Wadee berusaha menghentikannya, tapi Thit tetap tidak mau dengar. Keributan itu lama-lama menguras seluruh tenaga Bibi Wadee hingga akhirnya ia pingsan.
Jee dan Thit sontak cemas. Thit bergegas memasukkan Bibi Wadee ke mobil untuk dibawa ke rumah sakit. Jee pun langsung ikut masuk dan bersikeras mau ikut. Tapi Thit masih saja bersikeras memaksa Jee keluar dari mobilnya.
"Sekarang bukan saatnya untuk kebencianmu, Khun Sathit. Sekarang ini nyawa bibi jauh lebih penting. Kalau kau benar-benar mencemaskannya, maka bawa dia ke rumah sakit sekarang juga! Wajahnya sangat pucat, tangannya juga dingin."
Thit akhirnya mengalah dan bergegas ke rumah sakit. Tapi begitu Bibi Wadee sudah masuk UGD, Thit langsung mengusir Jee.
"Aku tidak mau pergi. Aku sudah di sini dan aku akan menunggu untuk mendengar bagaimana kondisinya."
Thit kesal mendengarnya. Dia memperhatikan kaki Jee yang kotor tanpa alas kaki. Tapi tetap saja dia keras kepala dan berniat mau mengkompensasi Jee dengan uang. Dia mau berapa?
"Aku membantu bibi dengan hatiku, bukan demi uang."
"Benarkah? Bagaimana aku bisa tahu? Kau kan sudah merendahkan orang-orang dengan uang. Aku tidak suka berhutang pada siapapun. Katakan, berapa banyak yang kau mau? Apa segini cukup?"
"Aku tidak mau uang. Kalau kau ingin membalas jasaku, maka lakukan satu hal."
"Apa?"
"Aku ingin mendengar kata 'Terima Kasih'. Bisa kau mengatakannya?"
Thit jelas kesal bin galau. Tapi setelah menggalau ria sesaat, akhirnya dia mau juga mengucap kata itu dengan setengah hati. "Terima kasih. Aku sudah mengatakannya. Sekarang kau bisa pergi."
Bibi Wadee siuman tak lama kemudian. Dokter memberitahu Thit bahwa Bibi Wadee anemia karena kurang istirahat dan karenanya ia harus diopname semalam.
Tapi Bibi Wadee tidak mau opname. Ia harus menjaga anak-anak. Thit meyakinkan kalau dia sudah menelepon Bibi Chang dan meminta bantuannya untuk mengawasi anak-anak. Thit juga akan pergi untuk mengecek mereka nanti. Bibi Wadee jadi merasa tak enak karena sudah merepotkan Thit.
"Bibi, jangan berkata seperti itu. Bibi tahu kalau aku tidak pernah merasa begitu."
Setelah Bibi Wadee tidur, Thit kembali ke rumah Bibi Wadee, tapi malah mendapati anak-anak sedang berdisko ria bersama Jee sambil motongin sayuran dan ngulek bumbu. Thit jelas kesal melihatnya. Sedang apa dia di sini lagi?
"Karena kau tidak membiarkanku ke rumah sakit, jadi aku datang untuk menjaga anak-anak di sini."
"Pergi!"
"Nggak mau. Kau tidak lihat kalau aku sedang membuat makanan untuk anak-anak?"
Kesal, Thit terus memaksanya pergi dan memperingatkan Jee untuk tidak melibatkan dirinya dengan siapapun di sini. Jee sinis mendengarnya, kenapa? Apa Thit takut kalau mereka tidak akan membencinya seperti Thit membenci dirinya?
"Aku tidak peduli tentang itu. Jika semua tahu bagaimana kau yang sebenarnya, kujamin takkan ada seorangpun yang mencintaimu."
"Baguslah. Kalau kau sungguh berpikir seperti itu, maka biarkan aku tetap di sini bersama mereka, agar mereka tahu bagaimana aku yang sebenarnya. Kenapa kau malah menghalangi? Hah?"
0 Comments
Hai, terima kasih atas komentarnya, dan maaf kalau komentarnya tidak langsung muncul ya, karena semua komentar akan dimoderasi demi menghindari spam