Sinopsis Kleun Cheewit Episode 2 - 5

Sinopsis Kleun Cheewit Episode 2 - 5


Jee menemui Ayah Piak dengan membawakannya sebuket bunga dan meminta maaf karena sudah menghambat jalannya syuting. Ayah Piak tak mempermasalahkannya, ia mengerti kok. Lalu, apa Jee baik-baik saja sekarang.

Jee mengiyakannya. Lalu kapan Jee bisa mulai syuting lagi? Besok pagi, jawab Jee. Chaiyan masuk tak lama kemudian setelah mendengar Jee datang dengan membawakan skrip untuk Jee.

Tapi ada beberapa adegan yang ingin Chaiyan ubah. Jadi, bagaimana kalau mereka membicarakannya di coffee shop. Jee setuju dan mereka pun pergi bersama.

Pada saat yang bersamaan, Piak baru kembali bersama dengan Thit yang membawa surat kontrak. Mereka naik lift, tepat saat Jee dan Chaiyan baru turun dari tangga sebelah.

Chaiyan berkata kalau besok, Jee harus melakukan adegan action. Apa Jee sudah siap? Tentu saja, lebih dari siap malah.


Piak masuk mengabarkan pada ayahnya bahwa si pengacara tampan datang menemuinya. Saat Piak memanggil Thit masuk, Ayah cepat-cepat memindahkan buket bunganya Jee ke belakang agar Piak tidak terlalu memperhatikannya. Sayangnya, Ayah agak ceroboh karena tidak melihat kartu pesan yang terjatuh ke lantai.

Thit berterima kasih sekali lagi atas semua bantuan Ayah selama pemakaman Tiw. Ayah sama sekali tak mempermasalahkannya, ia sudah menganggap Thit seperti putranya sendiri. Katakan saja kalau Thit butuh bantuan apapun.

"Bagaimana kalau ayah membantu mengeluarkan si pembunuh itu dari lakorn kita lebih dulu?" Usul Piak.

"Lihatlah adikmu. Kita ngobrol dengan baik dan dia merusak suasana."

"Aku mengatakan yang sebenarnya, yah. Aku berpikir sesuai dengan apa yang kulihat. Aku tidak palsu dan suka pura-pura seperti beberapa nang'ek-nya ayah."

"Oooh, ratu drama."

"Ayah! Aku ngomong yang sebenarnya! No drama."


Ayah cepat-cepat beralih topik membahas inti pertemuan mereka, yaitu membahas kontrak salah satu musisi. 

Sementara Ayah dan Thit serius membahas masalah kontrak, Piak melihat buket bunga yang berada di belakang Ayah.

Penasaran dengan bunga itu, Piak pun langsung mendekat ke sana dan melihat kartu pesan yang terjatuh itu. "Jeerawat? Jeerawat datang kemari hari ini, yah?"


Ayah canggung membenarkannya. Piak langsung cemas berusaha menghubungi Chaiyan, tapi tidak diangkat. 

Piak jadi semakin yakin kalau Chaiyan pasti pergi bersama Jee. Berusaha menenangkannya, Thit berpendapat kalau Chaiyan mungkin lagi meeting.

"Meeting apa? Semua tim ada di sini. Hei! Apa ada yang melihat Khun Chaiyan?"

"Err... dia keluar bersama Khun Jeerawat." Jawab salah satu kru

Tuh, kan. Piak sudah menduga. Terus mereka pergi ke mana? Si kru berkata kalau mereka pergi ke coffee shop, tapi dia tidak tahu coffee shop yang mana.


Piak langsung pergi ke mall terdekat untuk mencari keberadaan kedua orang itu dengan ditemani Thit. Kesal karena belum menemukan mereka, Piak menyuruh Thit berpencar.

Di coffee shop, pelayan datang menyajikan pesanan mereka. Tapi alih-alih mendapat teh, Jee malah dikasih susu. Jee langsung protes ke Chaiyan, tapi Chaiyan tegas menyuruh Jee meminum susu itu lalu pulang dan tidur, biar besok Jee punya tenaga untuk melakukan adegan action-nya.

"Aku bukan anak kecil yang harus minum susu," kesal Jee sebelum meminum susunya dan tak sengaja meninggalkan bekas putih di bibirnya.

Geli melihat cara Jee minum susu, Chaiyan pun membantunya mengelap bbir Jee... tepat saat Thit menemukan mereka dan melihat pemandangan yang terkesan romantis itu.


Parahnya lagi, dia melihat Piak muncul mencari mereka di sana. Mungkin takut Piak akan bikin keributan di sini, Thit buru-buru mengalihkan perhatian Piak ke tempat lain dan mengklaim kedua orang itu tak ada di sana.


Jee bertanya-tanya apakah Chaiyan tidak akan membelikan dessert buat Piak, katanya Piak suka dessert dari resto ini?

"Bahkan sekalipun aku membelikannya, aku tidak tahu apakah dia akan memakannya."

"Tidak masalah dia memakannya atau tidak. Yang penting dia tahu kau membelikan itu untuknya biar dia tahu kalau kau selalu memikirkannya."

"Lidahmu tajam sekali hari ini."

"Jika tidak, orang-orang tidak akan memanggilku nang'ek bermulut setajam silet."

"Oh, kukira kau mendapatkan sebutan itu karena kau pintar menghujat orang."

"Ha-ha-ha... lucu sekali!"

Kalau Chaiyan tidak mau memesannya, biarkan Jee yang memesakannya untuk Chaiyan. Tapi Chaiyan ngotot menolak. Kalau Piak ingin makan dessert, dia bisa datang kemari sendiri dan membelinya.


"Kalau bukan karena kau sutradara, aku pasti akan menyebutmu bego."

Gara-gara sikapnya yang seperti inilah, makanya Piak berpikir kalau Chaiyan lebih menyukai wanita lain daripada istrinya sendiri. Seharusnya Chaiyan lebih perhatian pada Piak.

"Bahkan sekalipun aku melakukannya, dia tidak akan memperhatikannya. Aku menalikan sepatunya dan dia bahkan tidak melirikku. Jadi buat apa beli dessert."

"Saat pertama kali kau melihat Khun Piak, kau bilang padaku kalau dia adalah bintang kampus dan kau cuma anjing kampung."

"Hei! Sebut saja aku wong ndeso."

"Ya, itulah. Pikirkanlah segala perjuanganmu untuk membuat Khun Piak mencintaimu, bukan hanya menalikan sepatunya. Jadi kenapa kau tidak bisa melakukannya hari ini?"

"Aku ingin sekali Piak mendengarmu mengatakan itu, biar dia tahu bahwa saat dia berpikir kalau kau berusaha merebutku darinya, kau justru ingin menyelamatkan cinta kami."

Jee mengingatkan kalau dia dan Piak tidak sama. Piak tumbuh dengan dikelilingi orang-orang yang menyayanginya dan memanjakannya setiap waktu. Sementara Jee kebalikannya, makanya Jee tahu betul akan pentingnya cinta.

Berusaha menyemangatinya, Chaiyan meyakinkan bahwa suatu hari akan ada seseorang yang akan mengisi dan melengkapi cintanya Jee. Tapi Jee tampak pesimis.


Saat Jee masuk mobilnya, Thit mendadak ikut masuk dan mengejutkan Jee. Sedang apa Thit di sini?

"Aku bukan cuma tunangan dari wanita yang kau bunuh, tapi juga kakak dari wanita yang suaminya mau kau rebut. Jadi apa kau mengerti kenapa aku ada di sini?"

Jee mengerti. Yang tidak dia mengerti adalah, kenapa Thit masuk mobilnya? Tentu saja untuk memberitahu Jee bahwa dia tidak akan membiarkan wanita seperti Jee menghancurkan hidup orang lain.

Malas berdebat dengannya, Jee berniat pergi. Tapi Thit dengan cepat mencegahnya dan memberitahu kalau polisi sudah berhasil mendapatkan petugas parkir itu.

"Jika dia benar-benar melihat siapa yang mengendarai mobil itu pada malam naas itu, dan jika dia bilang kalau kaulah yang menyetir malam itu..." Thit sontak mengeratkan sabuk pengaman ke leher Jee. "...maka bukalah pintumu agar aku bisa menangkapmu, Khun Jeerawat."


Chaiyan kembali tak lama kemudian dengan membawakan dessert dan teh kesukaan Piak. Tapi Piak lagi cemburu berat, dan langsung membuang makanan itu ke tong sampah.

"Kau tidak pernah perhatian padaku untuk membelikanku dessert, tapi hari ini kau membelinya. Kau dan nang'ek-mu mungkin berusaha untuk meracuniku."

Chaiyan benar-benar kesal dibuatnya. "Kau tidak perlu membuat hidupmu sedramatis lakorn, Piak. Tapi baguslah kau tidak minum teh karena seseorang sepertimu harus minum susu. Memang tidak akan membuatmu tambah tinggi, tapi setidaknya bisa menambahkan kepintaran otakmu."

"Hei, Chaiyan! Kau sebut aku bodoh?!"

"Bodoh? Kau tidak bodoh! Tapi kau terlalu obsesif. Kau memikirkan segalanya sendiri tanpa mau mendengarkan orang lain."

"Sayang sekali kalau begitu, karena kau tidak bertemu P'Thit. Jika iya, kau pasti akan mendengar kabar baik dari mulut P'Thit sendiri."

Chaiyan langsung cemas. "Berita apa?"


Suki sedang shopping saat Chaiyan meneleponnya dan mengabarkan kabar buruk itu padanya. Suki sontak shock sampai harus menghirup minyak angin di kedua lubang hidungnya  biar tidak pingsan. Lalu apa yang harus mereka lakukan?

"Kurasa ada seseorang yang bisa menghentikan Sathit." Ujar Chaiyan


Dia lalu mendatangi ayah mertuanya untuk meminta bantuannya. Tak lama kemudian, Ayah Piak mendatangi Thit dan memohon padanya untuk menghentikan kasusnya Jee.

Ayah mengakui dirinya egois dan ia memahami perasaan Thit. Ayah kehilangan istrinya, karena itulah Ayah tahu betul rasanya kehilangan seseorang yang dicintainya.

"Bagaimanapun, mendiang tidak akan menanggung penderitaan bersama kita. Yang masih hiduplah yang harus berbagi penderitaan. Aku datang kemari bukan untuk memaksamu, Thit. Tapi aku kemari untuk meminta simpatimu. Bisakah kau memberikannya padaku?"

 

Saat Jee tengah syuting adegan action-nya, tiba-tiba mobilnya Piak meluncur kencang tepat ke arah Jee. Tapi untung saja dia berhenti tepat waktu. Chaiyan dan yang lain sontak mencemaskan Jee dan Piak keluar dengan muka tanpa dosa.

"Maaf aku tidak melihat ada yang tiduran di situ. Sayang sekali. Kalau aku tahu Khun Jeerawat yang tiduran di situ tadi, aku pasti tidak akan mengeremnya. Akhirnya kita bertemu. Tapi ini akan menjadi terakhir kalinya aku bertemu denganmu di luar penjara."


Kesal, Jee hampir saja mau membalasnya. Tapi Chaiyan dengan cepat menghentikannya lalu pergi mengejar Piak dan mengomelinya.

"Kegilaaan apa yang sedang kau lakukan ini?"

Piak sinis, seharusnya pertanyaan itu dia ajukan pada diri Chaiyan sendiri. Siapa yang menyuruh Chaiyan untuk ikut campur dan meminta ayahnya untuk bicara pada Thit agar dia menghentikan kasusnya Jee? Dasar bego!

Apa yang dia lakukan tidak sebanding dengan perbuatan Chaiyan yang tidak masuk akal itu. Chaiyan pikir menyuruh ayahnya bicara pada Thit itu akan berguna? Sepertinya Chaiyan masih belum mengenal Thit dengan baik.


Di pengadilan hari itu, Thit mendakwa seorang bapak yang menjadi tersangka kasus pembunuhan istrinya demi mendapatkan uang asuransi si istri.

Pria itu tentu saja mengklaim dirinya tidak bersalah, tapi Thit terus mencecarnya tanpa ampun. Dia membeberkan kesaksian seorang saksi yang melihat si bapak bertemu dan bertengkar dengan istrinya dua hari sebelum kejadian itu terjadi.

Si bapak pasti tahu kalau mendiang punya asuransi jiwa yang cukup besar. Karena jika tidak, tidak akan mungkin dia meminta hak asuk atas anaknya setelah istrinya meninggal dunia. Apalagi anak itu bukan anak kandungnya si bapak.

Si bapak mengklaim kalau dia yang membesarkan anak itu sejak dia kecil, makanya mereka memiliki ikatan. Dan hanya dia satu-satunya yang dimiliki anak itu setelah ibunya meninggal dunia.


Thit tak percaya, si bapak pasti tahu betul kalau putranya itu adalah pewaris dari asuransi jiwa milik istrinya. 

Saat si bapak terus ngotot menyangkalnya, Thit menunjukkan sebuah surat yang ditulis oleh putranya korban dan disembunyikan dibawah bantal. Dalam suratnya itu, putranya korban menulis bahwa dia melihat sendiri ayahnya membunuh ibunya.

Tak bisa mengelak lagi, bapak itu berbalik mengkonfrontasi Thit. Ternyata mereka saling mengenal karena si bapak dulunya pernah bekerja pada Ayahnya Thit dan dia pula yang merawat Thit setelah kedua orang tua Thit meninggal. Karena itulah, si bapak tidak terima diperlakukan seperti ini oleh Thit.

"Aku selalu ingat uang dan kebaikanmu. Tapi hukum itu bukan tentang uang dan kebaikan, paman."


Thit lalu pergi menemui Bibi Wadee dan memberitahukan permintaan Ayah Piak ini padanya. Tapi Thit bertekad tidak akan menyerah.

Alih-alih setuju dengannya, Bibi Wadee malah mendukung permintaan Ayahnya Piak. Menurutnya apa yang dikatakan Ayahnya Piak masuk akal. Thit tak percaya mendengarnya, Bibi Wadee setuju dengan Ayahnya Piak?

"Thit, dia adalah putriku. Aku yang melahirkannya. Setelah ayahnya meninggal, aku membesarkannya seorang diri. Segalanya sangat sulit dan penuh perjuangan. Tapi sekarang jauh lebih mudah setelah dia pergi. Thit, kau pikir aku tidak terluka?"

"Karena itulah, aku ingin memberikan keadilan untuk bibi. Aku tidak terima melihat wanita yang bersalah itu menjalani hidup bahagia di atas air mata bibi."


Chait meneleponnya tak lama kemudian dan memberitahu bahwa mereka sudah menginterogasi salah satu juru parkir, tapi dia mengaku kalau malam itu dia tidak berada di area parkir mobilnya Jee malam itu. Makanya sekarang mereka membebaskan si juru parkir itu.

Tak percaya omongan si juru parkir, Thit lagsung pergi menemui si juru parkir itu sendiri. Si juru parkir sedang terburu-buru mengemasi barang-barangnya saat Thit datang dan ngotot mengklaim kalau dia mengatakan yang sebenarnya pada polisi.

Thit berusaha mencegahnya pergi, tapi pria itu tak mau bicara lagi dan bergegas masuk mobil. Thit sontak menghadang mobilnya dan berusaha meminta simpati si juru parkir.


"Apa kau mencintai istrimu? Jika istrimu terbunuh dalam kecelakaan mobil, bagaimana perasaanmu?"

Tapi si juru parkir tak mau peduli. Mendiang sudah meninggal, tak ada apapun yang bisa dia lakukan untuk menghidupkannya kembali. Thit harus bisa menerima kenyataan itu. Menolak menyerah, Thit sontak berlutut di depan mobilnya.

"Selama mendiang belum mendapatkan keadilan, aku tidak akan bisa menerimanya. Aku tidak minta banyak. Tolong beritahu saja siapa yang mengendarai mobil yang keluar dari hotel malam itu. Bisakah kau memberikan keadilan demi satu nyawa?" Pinta Thit setulus hati hingga membuat si juru parkir jadi galau.


Tapi di tempat lain, Sekretarisnya Sitta mendapat kabar kalau Thit sekarang sedang berada di rumahnya si juru parkir. Kesal, Sitta memerintahkan sekretaris untuk menangani si pengganggu itu.


Thit dalam perjalanan kembali saat dua orang pesepeda motor mengejarnya lalu memecah kaca mobilnya. 

Thit berusaha melawan para preman itu. Tapi saat dia terlalu sibuk menghajar salah satunya, preman satunya sontak memukul kepalanya dengan tongkat kayu dan menghajarnya tanpa ampun.


"Kalau kau tidak menghentikan investigasimu, maka lain kali kau akan mati!" Ancam si preman sebelum kemudian menendang Thit dan kabur meninggalkan Thit yang tergeletak pingsan berlumuran darah.

Bersambung ke episode 3

Post a Comment

0 Comments