Sinopsis Padiwarada Episode 3 - Part 3


Saran mengaku bahwa sebelum dia meminta dipindahtugaskan kemari sebulan yang lalu, setiap hari dia mampir kemari untuk bicara dengan para warga.

"Setiap hari? Wow, kau sangat tekun. Tapi sejujurnya, para warga di sini sudah cukup lama kecewa pada kita. Yang mereka tahu adalah mereka harus melindungi diri mereka sendiri karena tak ada seorang pun yang berusaha membantu mereka."

"Aku meminta dipindahkan kemari karena aku tahu kau sangat tekun. Mari kita saling membantu. Mari kita buat masyarakat percaya pada pelayanan kita lagi."

"Aku adalah warga sini. Jika kau benar-benar tulus bersama kami, maka aku akan membantu dengan segenap kemampuanku."

Tapi Saran penasaran akan satu hal. Apa benar-benar tak ada seorangpun yang mengenal geng White Tiger?

Kalau White Tiger dan Grit Tiger memang mereka tidak punya info apapun. Tapi kalau Bang Tiger ada. Chode mengenal seorang Kepala Desa yanga meripakan mertuanya Bang Tiger.


Tak lama kemudian, mereka pun tiba di sebuah desa terpencil untuk bertemu dengan Kepala Desa yang dimaksud Chode. Tapi Saran ragu apakah Kepala Desa Klai akan mau membantu mereka mengingat beliau bersaudara dengan Bang Tiger.

Chode meyakinkan bahwa biarpun mereka saudara, tapi hubungan mereka tidak baik. Kepala Desa Klai bahkan pernah menggunakan senjata untuk mengusir Bang Tiger.

Dulu putrinya Kepala Desa Klai jatuh cinta dengan Bang sebelum Bang bergabung ke dalam geng bandit itu. Kepala Desa Klai berusaha memisahkan mereka karena dia melihat Bang sangat keras kepala.

Bang jadi marah besar lalu membawa lari kerbau dan putrinya Kepala Desa Klai. Sejak saat itulah Bang mengumumkan dirinya bergabung dengan geng Tiger.

"Kita punya informasi itu. Kepala Desa pasti bisa menuntun kita ke Tiger Bang dengan mudah. Lalu kenapa kita harus menunggu?" Heran Saran.

"Kau akan mengerti begitu kau bertemu dengannya."


Ternyata saat mereka menyatakan niatan mereka pada Kepala Desa Klai, beliau malah ngotot menolak membantu mereka.

Chode menjelaskan pada Saran bahwa Kepala Desa Klai dan putranya pernah beberapa membantu warga saat Tiger Bang datang merampok desa. Tapi kemudian Putra Kepala Desa Klai tertembak dan meninggal dunia.

Saran langsung nyinyir mendengarnya. Sekarang dia mengerti, ternyata Kepala Desa Klai sama saja seperti warga lainnya. Ketakutan dan bersembunyi. Kepala Desa Klai jelas kesal menggebrak meja, tak terima dengan sindiran Saran.

"Cuma karena kau ketua deputy, bukan berarti kau punya hak untuk bicara begitu!"


Tapi Saran malah sengaja semakin mengomporinya dengan mengeluarkan pistol. Kepala Desa Klai pun refleks mengeluarkan senapannya. Tapi Saran tidak mengarahkan senjatanya ke Kepala Desa, malah sengaja menunjukkan keahlian menembaknya dengan menembak gelas di kejauhan tanpa melihat sasaran. Bahkan Chode pun sampai terkagum-kagum dengan kehebatannya.

"Aku sudah terlatih. Birokrat yang berniat membantu warga, mengirim kami kemari. Aku mewakili Unit Utara. Aku datang dengan niat untuk menangkap penjahat."

"Aku tak percaya padamu. Orang tampan sepertimu lebih baik pulang saja dan berdansa di Phranakorn (ibukota)."


"Aku datang, anda malah ngomel. Kalau aku tidak datang, anda akan menuduhku mengabaikan kalian. Apa sebenarnya yang anda inginkan?"

"Hei! Kalau kau mau mati, pergi dan mati saja dia tempat yang sangat jauh dari kota kami! Para bandit itu sudah berhenti menjarah dari penduduk desa. Mereka cuma mengambil uang orang kaya sekarang."

"Lalu setelah mereka mencuri uang orang kaya sampai tak bersisa, bagaimana anda bisa tahu kalau mereka tidak akan datang kembali untuk mencuri dari warga desa."

Dan bagaimana dengan putranya Kepala Desa Klai, apa ia tidak pernah berpikir untuk membalaskan dendam putranya? Kepala Desa Klai bersikeras kalau ia akan membiarkan karma yang bekerja. Saran tak percaya. Setiap kali melihat Saran, Kepala Desa Klai pasti memikirkan mendiang putranya kan? Pasti karena itu ia marah.

Kepala Desa lah yang punya kekuasaan atas para warga desa. Jika Kepala Desa membantunya, maka para warga pun akan mau membantunya. Jika tidak, Saran mungkin akan mati suatu hari nanti.


Nuer tiba-tiba ikut nimbrung untuk meyakinkan Kepala Desa tentang kemampuan Sarana yang hebat. Dia bahkan berani bersumpah dengan mempertaruhkan kepalanya untuk itu.

Kepala Desa jadi galau mendengarnya. Baiklah, tapi ada syaratnya. Saran harus lulus ujian darinya dulu. Ia lalu berpaling kembali ke Nuer yang barusan bilang berani sumpah atas kepalanya.

"Kalau begitu, apa kau juga berani bersumpah atas tanganmu juga?" (Hah?)


Tak lama kemudian, Nuer dengan sangat terpaksa harus mau jadi targetnya Saran, berdiri di kejauhan dengan membawa dua kelapa di masing-masing tangannya. Inilah ujian yang diinginkan Kepala Desa.

"Buktikan kalau kau bukan cuma bisa omong doang." Tantang Kepala Desa.

Nuer sontak gemetar hebat mendengarnya (Wkwkwk!) "Seharusnya aku tidak mengatakan apapun tadi. Seharusnya aku diam saja tadi."

Tapi kemudian dia ngotot kalau dia siap, padahal kakinya jelas-jelas masih gemetar hebat. Chode jadi cemas dan berusaha membujuk Saran untuk mundur saja. Tapi Saran menolak.

Tak bisa menghilangkan kecemasannya, Chode dengan sengaja menyindir Kepala Desa dengan lantang dan menuduhnya menantang Saran karena sebenarnya Kepala Desa tidak mau membantu mereka. Putranya memang sudah tiada, tapi ia masih punya putri.

"Jika anda tidak mencemaskan anak-anak anda yang lain, maka terserah anda saja. Ayo pergi, Nuer, Pak Sheriff."


Tapi Saran tiba-tiba saja menembak kedua kelapa itu tanpa aba-aba, syukurlah semuanya tepat sasaran... dan sukses membuat Nuer gemetar hebat. Wkwkwk. Para warga benar-benar kagum dibuatnya. Saran hebat, benar-benar tepat sasaran.

"Ma-maaf... aku boleh minta izin untuk pingsan sebentar?" Dan Nuer pun pingsan. Wkwkwk!


Saran meyakinkan Kepala Desa kalau mereka membutuhkan seseorang yang punya kemampuan. Karena jika mereka tidak bisa mengalahkan geng bandit itu, maka geng itu akan semakin marah pada mereka. Lalu para bandit itu akan kembali dan menyakiti semua penduduk desa yang membantu petugas.

"Kepala Desa, kami siap. Kami pasti akan menangkap para bandit itu. Tolong bantu kami."

Melihat kesungguhan dalam tatapan mata mereka, Kepala Desa akhirnya menyerah dan setuju untuk membantu mereka.


Duang masih belum pergi juga. Saat dia menghubungi rumah sepupunya, dia malah diberitahu kalau sepupunya sekeluarga sedang pergi dan baru akan kembali awal bulan depan.


Rin sedang merangkai bunga saat Mae Sai dan Sherm datang dengan membawa koper. Dengan muka juteknya, Mae Sai menyatakan kalau mereka mau mengundurkan diri. Rin jelas bingung, memangnya apa yang terjadi?

"Saya kan sudah membantu upacara pernikahan anda. Jadi sudah tidak ada apapun kan sekarang dan juga karena anda tidak membutuhkan kami."

"Siapa bilang kalau aku tidak ingin kalian tetap di sini?"

"Tuh, kan. Ibu cuma asal berasumsi."

"Diam! Anda kan ahli (dalam pekerjaan rumah tangga). Kenapa juga anda mempekerjakan kami?"

"Mae Sai, Ibu baru saja pergi ke luar provinsi. Kalau beliau kembali dan tidak melihatmu, aku harus bilang apa ke Ibu? Tetaplah di sini, yah? Kumohon?"


"Jadi, anda tidak mau memecat kami? Terus kenapa anda mencuri pekerjaan kami?"

"Aku tidak mencuri. Aku cuma bosan harus duduk dan diam di rumah terus."

Lagipula, Saran kan tidak suka dengan apapun yang dia lakukan. Dia sendiri yang bilang di hadapan mereka semua waktu itu. Karena itulah, dia menyerahkan urusan mengurus Saran pada Mae Sai. Dia tidak akan melakukan apapun dengan Saran lagi.

Sherm jelas bingung. "Tapi anda kan istrinya?"

"Bagaimanapun, aku minta maaf atas sebelumnya, Mae Sai." Ucap Rin sepenuh hati.


Dia bahkan melakukan Wai (salam sembah) pada Mae Sai, sampai membuat Mae Sai dan Sherm bingung. Kenapa Rin melakukan Wai padanya? Majikan macam apa yang melakukan Wai pada pembantu?

"Aku bukan seorang bangsawan. Aku dari garis keturunan yang sama dengan kalian. Itulah bagusnya terlahir bukan dari keluarga terpandang. Kau bisa melakukan Wai pada siapapun yang kau mau. Yah, Mae Sai? Tetaplah di sini dan bantu-bantu pekerjaan rumah. Apapun kesalahanku, mari kita mulai kembali dari awal."

Tapi Mae Sai masih saja sok jaim. Untung saja Sherm cepat-cepat bertindak mngambil koper-koper mereka sambil membujuk ibunya untuk tetap tinggal. Mereka punya majikan sebaik ini, bodoh sekali kalau mereka malah pergi. Dia langsung pergi mengembalikan koper-koper mereka ke kamar tanpa mempedulikan protes ibunya lagi.


Tapi berhubung Rin sudah minta maaf padanya, Mae Sai akhirnya memutuskan untuk minta maaf juga.

"Lain kali tolong jangan angkat tangan anda dan melakukan Wai pada pembantu lagi. Itu tidak baik. Kutu bisa memakan kepalaku. Aku ini pembantu dan punya banyak kesulitan. Masih banyak hal yang perlu kuajarkan pada anda." Mae Sai akhirnya pergi sambil memaksakan sedikit senyum.


Tapi saat Rin membuka pagar tak lama kemudian, dia malah mendapati Duang datang lagi lalu tiba-tiba saja pingsan. Terpaksalah Rin harus merawatnya sampai dia sadar tak lama kemudian.

Duang terlebih dulu memperkenalkan dirinya pada Rin lalu meminta maaf dengan wajah melas. Dia pingsan karena semalam dia tidak bisa tidur dan tidak makan apapun juga.

"Oh, udaranya panas sekali. Pasti karena matahari yang terik." Nyinyir Mae Sai.

Duang menjelaskan kalau dia mau pergi ke rumah kerabatnya di Kota Korn, tapi ternyata tidak ada siapa-siapa di sana dan tidak ada kereta lagi yang menuju ke ibukota.

Chalat juga sudah balik duluan ke ibukota dan dia tidak mau tinggal sendirian di hotel, makanya dia datang kemari. Alih-alih marah atau mengusirnya, Rin berbaik hati memberinya obat dan menyuruhnya untuk makan sup ayam nanti.


Mae Sai sudah cemas kalau kedua wanita itu bakalan tampar-tamparan, tapi malah melihat Duang memegang tangan Rin dengan lembut sambil meminta maaf atas kejadian kemarin. Dia sungguh tidak tahu kalau mereka menikah kemarin.

"Aku ingin menahan diriku untuk tidak emnangis, tapi tidak bisa."

Prihatin, Rin berusaha menghiburnya dengan membalas genggaman tangan Duang dan meyakinkannya kalau Saran akan segera kembali.

"Pernikahanmu kecil, tapi penuh dengan kehangatan. Sedangakan pernikahanku, penuh dengan tipuan. Aku sungguh tidak beruntung, tidak sepertimu." Tangis Duang. Tapi saat Rin tidak sedang memperhatikannya, Duang sontak menatapnya tajam.

Bersambung ke part 4

Post a Comment

0 Comments