Sinopsis Padiwarada Episode 2 - Part 4


Rin akhirnya pergi, walaupun rasanya berat juga meninggalkan rumah yang baru sebentar ditinggalinya itu. Tak lama setelah dia pergi, Saran malah memaksa Nuer untuk menyerahkan kunci mobilnya lalu pergi mengejar Rin dengan alasan mau mengantarkan Rin ke stasiun.


Saat Nuer melaporkan masalah ini pada Ibu Saran, Ibu malah senang mendengarnya. Nuer sungguh tidak mengerti kenapa Saran berkata seperti itu pada Rin tadi? Siapa juga yang tidak menyukai segala hal yang dilakukan Rin. Segala pekerjaan rumah tangga di rumah ini dikerjakan oleh Rin.

"Semua ini memang hal kecil, tapi pengaruhnya besar. Cinta. Siapapun yang tinggal di lingkungan seperti ini akan merasa kalau mereka mendapatkan cinta. Saran pernah terluka sebelumnya. Karena dia pernah dikalahkan oleh cinta, makanya dia takut menerima cinta baru."

 

Rin jalan kaki ke stasiun. Tapi di tengah jalan, dia malah melihat Saran menyusulnya. Rin jelas sebal melihatnya. Kenapa Saran mengikutinya? 

Saran ngotot beralasan kalau dia mengejar Rin cuma karena dia deputy sheriff yang tugasnya adalah mengurus warga lalu berusaha merebut koper-kopernya Rin. Jadilah mereka otot-ototan rebutan koper.


Tepat saat itu juga, Rin melihat sebuah mobil lewat dan langsung mencegat mereka. Dengan sopan dia meminta Paman dan Bibi untuk mengantarkannya ke stasiun.

Paman dan Bibi bersedia dengan senang hati. Tapi bahkan sebelum Rin sempat menyentuh kopernya, Saran mendadak menyela mereka dan menyatakan kalau Rin adalah istrinya dan mereka cuma lagi bertengkar. Pfft!

"Pasangan muda memang sering bertengkar. Persis seperti waktu kita masih muda dulu."

"Kalau kalian terus bertengkar seperti ini, kalian akan punya anak tiap tahun. Aku jamin itu."

"Selesaikanlah kesalahpahaman kalian."


Paman dan Bibi pun langsung pergi meninggalkan mereka. Rin jadi tambah kesal pada Saran, apa dia malu karena membiarkan seorang wanita jalan sendiri? Kalau Saran begitu menginginkannya pergi, lalu kenapa Saran membuatnya datang kemari untuk menikah dengannya?

"Itu keinginan ibuku."

"Aku mengerti sekarang. Kau tidak ingin dan tidak mau menikah. Kau pernah bilang kalau kau pernah ditolak. Dari wanita, kan?"

Saran cuma diam yang jelas membenarkan dugaan Rin. Dia mengerti sekarang, Saran pasti tidak bisa melupakan wanita itu, kan? Saran jujur membenarkannya.

"Kalau kau tidak mau menikah, seharusnya kau terus terang sejak awal."

"Masuklah ke mobil, akan kuantarkan kau ke sana."

Karena kereta menuju ibukota akan berangkat dalam waktu setengah jam lagi, Rin akhirnya mau juga masuk mobil dan membiarkan Saran mengantarkannya.


Mereka diem-dieman sepanjang jalan. Tapi di tengah jalan, Rin mulai merasa aneh saat memperhatikan jalanan di sekitarnya. Ini kan bukan jalan menuju stasiun?

Benar saja, Saran malah membawanya pergi ke sebuah ladang bunga matahari yang sangat indah dan membuat Rin terpesona. Tempat ini sangat indah. Saran setuju, benar-benar indah.

"Bunga matahari diciptakan untuk mengikuti jalan matahari. Dan bagaimana denganmu? Apa tujuanmu?" Tanya Saran.

"Keluargaku. Aku datang kemari demi membalas jasa orang tuaku."

"Saat malam tiba, bunga matahari akan sedih karena cahaya mataharinya tiba-tiba menghilang."

Rin penasaran, ke mana perginya cahaya matahari-nya Saran? Wanita yang tidak bisa dilupakannya itu?

"Saat kerja, aku berencana menangkap White Tiger. Di rumah, aku berlatih menembak dan bela diri. Tapi saat aku tiba di sini, aku memberitahu diriku sendiri bahwa aku tidak akan lagi menjadi bunga matahari bagi wanita manapun."

Rin patah hati mendengarnya. Tapi jangan khawatir. Setelah Saran mengantarnya ke stasiun kereta, dia akan pergi dari hidup Saran selamanya.


Tapi saat dia hendak pergi, Saran mendadak menangkap lalu mengunci Rin di antara dirinya dan mobil lalu mendekatkan wajahnya sangaaaaaat dekat ke wajah Rin sampai Rin ketakutan.

"Kau sangat cantik. Rambutmu, kulitmu, matamu..."

"Kau mau apa?"

"Wanita secantik ini, mungkin sudah membohongi semua pria di seluruh dunia. Dan bagaimana denganku? Bagaimana aku di matamu? Pria dan wanita itu berbeda. kau tidak akan mengetahuinya sebelum kau menikah. Tapi sebentar lagi kau akan menikah."

"Lepaskan aku. Kau membuatku takut. Lepaskan!"

"Ibu bilang kalau kau cantik dari dalam. Semua yang kau lakukan. Makanan, pekerjaan rumah tangga, dan berkebun. Kau sengaja melakukannya untuk memikatku, kan?"


"Dasar gila! Kau terlalu kepedean."

Dia melakukan semua itu karena bunga melati mengingatkannya akan rumahnya di ibukota. Seluruh rumahnya dipenuhi oleh bunga melati. 

Menggunakan bunga kering di dalam kantong adalah keahlian yang diajarkan ibunya. Dan semua masakan yang dibuatnya adalah masakan kesukaan ayahnya.

"Aku rindu rumahku. Aku merindukan rumahku. Kau dengar?!" Tangis Rin.

Air matanya sontak membuat Saran luluh hingga dia akhirnya dia melepaskan cengkeraman tangannya dari Rin. Tapi dia masih agak ragu, apa Rin yakin kalau dia melakukan semua itu bukan demi dirinya?

"Tentu saja tidak, tidak akan pernah! Kenapa juga aku melakukannya untukmu? Jika kau tidak mengizinkanku melakukan semua itu, aku tetap tidak akan bisa menghentikan diriku untuk merindukan rumahku."

Sama seperti Saran yang tidak bisa menghentikan dirinya untuk merindukan wanita itu, Rin juga tidak bisa menghentikan dirinya sendiri untuk merindukan rumahnya.


Tak lama kemudian, mobilnya Saran akhirnya tiba... kembali ke rumah. Pfft! Rin sebel banget sama dia, kenapa Saran tidak mengantarkannya ke stasiun kereta?

"Kau terlalu emosional. Orang tuamu mengirimmu untuk menjadi pengantin seseorang. Kalau kau kembali, di mana mereka harus menaruh muka mereka?"

"Kau yang mengusirku."

"Apa yang ditanyakan Mae Sai?"

"Dia tanya apakah kau menyukai apa yang kulakukan?"

"Betul. Dan aku bilang aku tidak suka. Tapi dia tidak tanya... apakah aku menyukaimu atau tidak? Jika dia tanya, maka aku mungkin akan menjawab... mungkin."


Saran mendadak mendekat sangaaaat dekat seolah hendak menc**m Rin. Panik, Rin sontak memalingkan mukanya. 

Geli melihat reaksi Rin, Saran malah makin getol menggodanya dengan cara membukakan pintu mobil untuk Rin dengan tatapan menggoda. Malu, Rin pun cepat-cepat keluar dari sana.

Ibu benar-benar lega melihat Rin kembali. Ibu sudah cemas, apalagi tadi Rin langsung pergi tanpa pamitan dulu. Rin minta maaf, tadi dia benar-benar lupa.

"Kalau kau pulang sekarang, itu bisa menyebabkan masalah besar untuk orang tuamu. Nama mereka akan rusak. Orang-orang akan bergosip kalau mereka tidak bisa dipercaya kau akan dicap menghilang dari pernikahan. Orang-orang akan menggosipkanmu terus menerus. Kau tidak mau begitu kan, Nak?"

Nuer langsung antusias mengambil semua koper-kopernya Rin. "Hari ini tidak ada hujan, jadi ayo masuk."

Rin akhirnya menurut dan mengikuti Ibu masuk kembali ke rumah dan Saran langsung membuntutinya sambil mesam-mesem gaje.

 

Tapi Rin tidak bisa tidur tenang malam harinya, bingung memikirkan keanehan sikap Saran. Awalnya sikap dan ucapannya kasar, tapi kemudian mendadak dia berubah sikap bak playboy yang melancarkan rayuan maut padanya.

"Orang gila! Gila banget! Aku tidak memahamimu sama sekali."


Di tempat lain, Saran juga tidak bisa tidur dan melampiaskan frustasinya dengan latihan tinju. Frustasi memikirkan kenangan indahnya bersama Duang dulu. Kenangan indah yang kontan membuatnya terjatuh lemas dan menangis.

Flashback.

 

Suatu malam, Saran dan Duang kencan berdua di pantai Hua Hin. Dia lalu menggenggam tangan Duang dengan mesra sambil menyatakan cinta pada Duang.

"Aku sangat mencintaimu."

"Aku juga mencintaimu."

Mendengar itu, Saran langsung mengcup lembut kening Duang. Kcupan lembut itu semakin lama jadi semakin mesra saat Saran membaringkan Duang di pasir, menggenggam erat tangannya lalu menc**mnya mesra. (Err... mereka melakukan itu?)

Flashback end.


Di Bangkok, Duang dan suaminya baru saja tiba di rumah mewah mereka. Dari percakapan mereka, sepertinya mereka baru saja pulang dari Inggris. Tapi mereka harus pulang lebih cepat karena suaminya - Naris, harus mengajar di universitas.

Naris sepertinya sangat mencintai Duang. Dia bahkan berniat mau menyiapkan air hangat untuk Duang biar Duang bisa berendam dengan relax. Tapi Duang heran, kenapa rumah ini sepi sekali. Ke mana pelayan? Tadi juga Naris membuka pintu sendiri.

Anehnya, Naris mendadak gugup dan canggung. Dengan ragu-ragu dia mengaku bahwa ada sesuatu yang harus dia katakan pada Duang.

Bersambung ke part 5

Post a Comment

0 Comments