Setelah Chaiyan pergi, Jee ditelepon ibunya yang cemas menanyakan keberadaan Jee dan apakah dia dekat dengan Thit. Jee jelas heran mendengarnya, kenapa Ibu mendadak menanyakan Thit?
"Apa ini perbuatannya Sitta?"
Saat Khun Ying berusaha berkilah, Jee langsung mengancam akan pergi ke rumah mereka untuk mencari jawabannya.
"Berhentilah sekarang juga, Jee. Bukankah aku sudah memperingatkanmu untuk tidak macam-macam dengan Thun? Dan menjauhlah dari Sathit sekarang juga. Mengerti?"
Peringatannya itu jelas membuat Jee curiga. Dia langsung meminta Chait untuk mencari Thit karena target yang sebenarnya adalah Thit. Chait heran, dari mana Jee tahu?
"Akan kujelaskan nanti, tapi sekarang temukan Khun Sathit secepatnya."
Chait pun langsung mengajak salah satu anak buahnya pergi mencari Thit. Dao juga penasaran, apa yang sebenarnya terjadi. Tapi Jee tidak ada waktu untuk menjelaskan apapun saking cemasnya dan bergegas pergi mencari Thit sendiri.
Dia berlarian keliling gedung rumah sakit itu sambil berusaha menghubungi Thit, tapi ponselnya tidak bisa dihubungi sama sekali.
Di parkiran, dia menemukan mobilnya Thit, tapi orangnya tidak tampak di mana-mana. Parahnya lagi, di dekat mobil itu, dia malah menemukan jejak-jejak ceceran darah.
Jee cepat-cepat mengikuti arah ceceran darah itu, tapi ceceran darah itu terhenti di suatu tempat. Jee benar-benar ketakutan sekarang. Di tengah kepanikannya, tiba-tiba saja terdengar suara DOR dari kejauhan.
Jee langsung panik berlari mencari asal suara, tapi ternyata suara barusan cuma suara letusan balon milik seorang anak kecil. Tapi Thit tetap tidak kelihatan di mana-mana dan Jee langsung berlinang air mata saking cemasnya.
"Jeerawat." Tiba-tiba terdengar suara Thit dari belakangnya.
Err... sepertinya dia tidak kenapa-kenapa, malah bingung sendiri melihat air mata Jee. Kenapa dia menangis? Apa yang terjadi?
"Kau dari mana saja?"
"Aku menemui klien barusan."
Saking leganya, Jee sontak mengomeli Thit sambil memukuli d**anya. "Sekarang bukan saatnya menemui klien! Apa kau tahu betapa berbahayanya saat ini?! Apa kau tahu kalau orang lain mencemaskanmu? Hah?!"
"Kau menangis... karena kau mengkhawatirkanku?"
Tiba-tiba mereka mendengar suara sepeda motor dan Jee langsung mengenali dua orang pengendaranya, mereka orang-orang yang menembak Jade tadi.
Jee langsung panik menyeret Thit melarikan diri sebelum kedua orang itu melihat mereka. Jee membawa Thit bersembunyi di belakang mobil, tapi para preman itu juga mencari ke sekitar sana.
Saat Thit mengenali orang-orang, dia langsung mau keluar untuk mengkonfrontasi mereka. Tapi untunglah Jee cepat mencegahnya. Apa Thit mau mereka menembaknya?
"Tunggu. Jadi mereka tidak berniat menembak Jade, tapi menembakku? Mereka anak buahnya Sitta, kan?"
"Iya, tapi..."
"Bagus. Akan kutangkap mereka sebagai saksi untuk melawan Sitta."
Jee sontak menghentikannya dan mengingatkan Thit bahwa dia bisa mati duluan sebelum dia sempat menangkap mereka. Thit tidak takut, lagian mereka akan tetap membunuhnya.
"Aku lebih suka melawan daripada bersembunyi seperti ini."
"Aku tidak mau kau mati!"
Thit tercengang mendengar pengakuannya. Jee beralasan kalau dia tidak ingin Thit mati karena dia tidak mau Bibi Wadee menderita lagi. Sekarang ini hanya Thit satu-satunya orang yang dimiliki Bibi Wadee. Apa yang akan beliau lakukan jika sampai terjadi sesuatu pada Thit juga?
"Ini namanya bukan melarikan diri, tapi bersiap untuk melawan balik. Jika Sitta memberi perintah untuk membunuhmu, itu artinya kau hampir menemukan sesuatu. Jadi apa kau mau bertindak bodoh dan mati daripada memenjarakan Sitta?"
"Tapi..."
"Tidak ada tapi! Diam saja dan biarkan mereka lewat lalu beritahu Khun Chait kalau mereka ada di sini."
Kedua preman itu terus berkeliling di sekitar sana. Tapi mobil tempat mereka bersembunyi tiba-tiba mulai bergerak. Panik, Jee cepat-cepat menarik Thit ke balik semak.
Dan saat kedua preman itu semakin dekat, Jee langsung mendorong Thit ke rumput sambil membungkam mulutnya. Tapi bahkan setelah kedua preman itu sudah lewat, mereka berdua tidak ada yang saling menjauh.
Tepat saat itu juga, Jane baru datang dan melihat mereka. Awalnya dia cuma mengernyit tak nyaman, mungkin dia kira mereka sepasang kekasih yang bermesran di tempat umum.
Tapi setelah dia perhatikan baik-baik, barulah dia sadar siapa mereka dan langsung kaget memanggil mereka. Seketika itu pula Jee dan Thit saling menjauh dengan canggung dan membuat Jane sedih melihat kedekatan mereka.
Chait baru tiba di kantor polisi saat Thit menelponnya. Dia memerintahkan Thit untuk tetap di sana saja. Dia akan segera mengirim orang untuk membawa Thit ke tempat aman.
Tapi Thit malah ngotot menolak dilindungi polisi, dia tidak mau pergi ke mana-mana. Dia justru mau membantu polisi menangkap orang-orang itu. Kesal, Jee langsung merebut ponselnya dan memberitahu Chait kalau dia sendiri yang akan membawa Thit ke suatu tempat yang aman.
Dan bahkan sebelum Thit sempat mengatakan sesuatu, Jee berpaling ke Jane dan meminta Jane untuk meminjamkan mobilnya karena akan lebih aman jika dia membawa Thit dengan mobil lain. Jane tentu saja tidak keberatan. Tapi dia penasaran, ada apa sebenarnya?
Piak menelepon mata-matanya dan memberitahunya untuk tidak lagi membuntuti Chaiyan. Saat itu juga, Chaiyan pulang dan langsung curiga dengan orang yang diteleponnya barusan.
Piak beralasan kalau dia cuma membicarakan pekerjaan. Tapi tentu saja Chaiyan tidak percaya dan terus menuntut dengan siapa dia bicara barusan. Dia bahkan langsung berusaha merebut ponselnya. Piak kontan panik dan buru-buru menghapus nomornya.
"Kalau tentang pekerjaan, lalu kenapa kau harus menghapus nomornya?"
Piak tidak terima dibentak-bentak. Tapi sikap defensifnya malah membuat Chaiyan jadi semakin curiga. Bukankah dia sudah bilang kalau dia tidak akan tinggal diam kalau Piak menyakiti Jee.
"Jee begini, Jee begitu. Kenapa dia tidak mati saja?!"
"Aku tahu kau membenci Jee biarpun aku sudah berusaha meyakinkanmu kalau aku dan Jee tidak punya hubungan apapun. Kami cuma kakak dan adik. Tapi tidak pernah kusangka kalau kau sangat membenci Jee sampai menyewa pembunuh bayaran untuk menembaknya."
Piak jelas bingung mendengarnya. Tapi Chaiyan terus menerus curiga dan menuntut jawaban. Piak terlalu sakit hati untuk membela diri, malah menyuruh Chaiyan untuk melaporkannya pada polisi saja kalau Chaiyan sungguh berpikir dia sejahat itu.
Atau Chaiyan takut orang-orang akan menggosipkannya sebagai suami yang menyeret istrinya sendiri ke penjara? Lakukan saja kalau Chaiyan berpikir seperti itu. Kalau Chaiyan tidak mau melakukannya, maka dia sendiri yang akan menelepon polisi.
"Aku tidak takut dipenjara. Hidupku sekarang terlalu menyiksa daripada masuk penjara!"
Tapi Chaiyan menyatakan kalau dia tidak akan menelepon polisi. Bahkan kalau polisi nantinya datang untuk menangkap Piak, Chaiyan yang akan menanggung kesalahannya. Semua ini kesalahannya.
Dialah yang membuat Piak jadi begini walaupun dia sudah berusaha meyakinkan Piak kalau dia tidak pernah berselingkuh. Dia tidak pernah bisa membuat Piak mempercayainya. Dia tidak bisa membuat Piak bahagia. Dia hanya bisa menyakiti Piak sampai Piak nekat untuk membunuh orang yang tidak bersalah.
"Berhentilah menyemburkan kata-kata manis! Aku tidak bodoh! Kalau kau ingin meninggalkanku, lakukan saja! katakan saja, Chaiyan!"
"Saat ini aku tidak yakin apakah kita harus bercerai, Piak?! Tapi kita harus berpisah. Setidaknya kita akan punya waktu untuk berpikir dan mempertimbangkan apakah kita bahagia hidup bersama. Jika tidak... maka kita harus cerai."
Sakit hati, Piak malah jadi tambah emosi dan langsung menyuruh Chaiyan pergi saja. Jika Chaiyan ingin bercerai dengannya demi Jee, maka pergi saja. Kesal, Chaiyan pun pergi.
Dan tempat yang Jee tuju untuk menyembunyikan Thit ternyata rumahnya Guru Arie. Sementara Thit menunggu di dalam, Jee bicara berdua dengan Guru Arie di luar.
Jee memberitahu Guru Arie alasannya membawa Thit kemari adalah karena nyawa Thit berada dalam bahaya. Makanya dia berpikir untuk menyembunyikan Thit di rumah seseorang yang sangat baik, dermawan, kuat, dan tampan rupawan... yang tak lain tak bukan adalah Guru Arie. Tolong jaga Thit, yah.
Duh rayuannya, Guru Arie sampai mesam-mesem mendengarnya. Yah, semua yang Jee katakan tentang dirinya memang benar semuanya. Makanya Guru Arie juga ingin mengatakan sesuatu padanya.
"Say yes, kan?"
"Hahaha! Nggak! Dadah!"
"Eh, Guru! Tunggu! Tunggu!"
"Aduh, Jee. Kau anggap rumahku ini apaan? Ini bukan camp militer untuk melindungi nyawa orang. Kau lihat ikan-ikan di kolam itu? Aku bahkan tidak mampu menjaga mereka, bagaimana bisa aku melindungi nyawa Khun Sathit?"
"Tapi, guru. Aku..."
"Jee! Bawa saja Khun Sathit ke kantor polisi. Di sana jauh lebih aman daripada di sini. Percayalah padaku."
"Tapi Guru tahu sendiri seberapa besar kekuasaan dan pengaruh Sitta. Khun Sathit jauh lebih aman di sini."
Dan yang lebih penting lagi. Kalau Thit bersama polisi, maka dia tidak akan bisa mengunjungi Bibi Wadee. Lalu Bibi Wadee akan cemas dan bertanya-tanya ke mana menghilangnya Thit. Ia bisa jatuh sakit.
Dan jika Bibi Wadee jatuh sakit, maka Jee akan berkata kalau ini semua salahnya Guru Arie yang berhati dingin, kejam, jahat, dan tidak mau membantu Thit, tapi malah meminta pisang ke Bibi Wadee.
"Sebenarnya... Guru diam-diam menyukai Bibi Wadee, kan?"
Guru Arie sontak panik membekap mulut Jee. "Membuat masalah dan membuatku dalam bahaya tidak cukup bagimu dan sekarang kau ingin Khun Sathit menuduhku punya pikiran buruk terhadap bibinya? Si*lan lo!"
3 Comments
Di lnjut truz mb....jg lma2 updatenya
ReplyDeleteLanjut...semangat!!!
ReplyDeleteYeesss lanjuutt semangaatt min...
ReplyDeleteHai, terima kasih atas komentarnya, dan maaf kalau komentarnya tidak langsung muncul ya, karena semua komentar akan dimoderasi demi menghindari spam