Sinopsis Kleun Cheewit Episode 2 - 2

Sinopsis Kleun Cheewit Episode 2 - 2


Saat Thit naik, dia mendapati Bibi Wadee menangis sembari memluk foto Tiw. Tapi ia cepat-cepat menghapus air matanya saat melihat Thit datang. Ia lalu mengemasi barang-barangnya Tiw dan berterima kasih karena Thit mau menjaga anak-anak demi Tiw.

"Aku akan berusaha kuat sesegera mungkin agar tidak menyusahkanmu seperti ini."

"Aku sama sekali tidak mempermasalahkannya, bibi. Bibi dan anak-anak adalah kebahagiaan bagi Tiw. Bahkan sekalipun Tiw sudah tidak ada di sini, aku akan terus menjaga kebahagiaannya."

Berusaha menahan emosinya, Bibi Wadee mengemas barang-barangnya Tiw ke kardus, ia akan mendonasikan semuanya. Thit sontak menghentikannya dan menuntut kenapa. Ini kan barang-barang kenangannya dengan Tiw, Thit ingin menyimpan semua ini.

"Donasikan saja, Thit. Agar dermanya bisa mencapai Tiw dan dia bisa lahir kembali di kehidupan selanjutnya, agar dia memiliki kehidupan yang lebih baik dan tidak bertemu dengan orang-orang yang tidak menghargainya."


Thit heran mendengar ucapan Bibi Wadee, apa terjadi sesuatu? Tapi Bibi Wadee tak menjawabnya dan terus menangis.

Thit jadi semakin heran dan terus berusaha membujuk Bibi Wadee untuk memberitahukan masalahnya.

"Hari ini, seseorang bernama Suki datang menemuiku."

"Untuk apa dia datang?"

"Dia datang untuk menegosiasikan harga untuk mengakhiri kasusnya Tiw."


Sementara Guru Arie sibuk melahap bebeknya, Jee mengaku kalau sebenarnya dia ingin menyerahkan diri. Dia ingin masuk penjara dengan cara terpuji daripada hidup di masyarakat tanpa martabat seperti ini.

Guru Arie mengerti, dia tidak bisa mengatakan kebenarannya sekarang karena hal itu bisa mempengaruhi orang-orang yang berhubungan dengannya.

Jee kesal banget dengan situasinya saat ini. Dia bahkan tidak bisa melakukan atau mengatakan apapun yang dia inginkan. Makanya dia datang kemari untuk belajar musik saja dari Guru Arie.


"Hei, kukasih tahu yah. Aku tuh mahal."

Oh, jangan khawatir. Jee bawa cek kosong untuknya. Guru Arie mau berapa? Tulis saja. Tapi Guru Arie malah canggung sendiri dan ujung-ujungnya menolak.

Kalau dia tidak mau cek, Jee juga bawa uang tunai banyak kok. Guru Arie mau berapa? Sebut saja.

"Tidak tahu. Aku tidak bisa berpikir."

"Berarti kau setuju untuk mengajariku, kan?"

"Baiklah. Lebih baik daripada menyia-nyiakan nafasku setiap hari. Guru tua sepertiku cuma perlu satu murid!"

"Itu karena kau tidak mau mengajari siapapun. Semua orang tahu betapa hot-nya kau belakangan ini."

"Reputasi tidak akan bertahan lama. Aku beruntung bisa membuat uang dari mengajar. Kalau tidak, aku bakalan harus mencuri dari kebunnya Tiw untuk makan."


Oops! Keceplosan. Jee terkejut mendengar Guru Arie menyebut nama Tiw. "Jangan bilang kalau dunia ini sempit."

"Maaf. Tapi dunia ini memang sempit."

"Jadi, kau kenal Khun Tiwadee?"

"Ibunya juga."

"Rumah mereka di sekitar sini?"


Thit mengambil barang-barangnya Tiw. Di dalam salah satu box, ada sebuah paket lengkap buku, pensil dan penghapus yang dihias pita. Ternyata paket itu adalah souvenir pernikahan mereka nantinya.

Flashback.


Tiw bertanya-tanya kenapa Thit memilih buku dan pensil itu sebagai souvenir pernikahan ini? Thit berkata bahwa hidupnya bagaikan sebuah buku.

Sejak kedua orang tuanya meninggal dunia, hidupya jadi kosong. Dia bahkan tak tahu apa tujuan hidupnya... hingga saat dia bertemu Tiw.

"Kau seperti pensil yang menulis di dalam bukuku dan membuatku menyadari kalau aku hidup untuk mencintaimu."

Duh, gombalnya. Bagaimana bisa Thit memikirkan kata-kata itu? Thit bercanda menyangkalnya dan mengklaim kalau dia mendapatkan kata-kata itu dari lakorn. Tiw langsung kecewa mendengarnya.

"Aku bercanda kok. Tiw, kehidupan nyata itu tidak seperti lakorn. Setidaknya cinta pra'ek pada nang'ek, tidak sebesar cintaku padaku."

Thit lalu menuntun tangan Tiw untuk menulis sesuatu di buku itu (aku nggak tahu mereka nulis apa).

Flashback end.


Thit tak kuasa menahan air matanya saat teringat kenangan itu. Saat dia tengah berusaha menenangkan dirinya, Jee datang ke sana. Tapi saat melihat Thit duduk membelakanginya, dia jadi ragu dan berniat mau pergi secara diam-diam.


Tapi saat berbalik, tak sengaja kakinya menendang batu yang langsung terjatuh ke air dan jelas saja hal itu langsung menarik perhatian Thit.

Kesedihannya seketika berubah menjadi amarah penuh kebencian saat melihat Jee di sana.

Jee berusaha lekas pergi dari sana, tapi Thit dengan cepat mengejarnya dan menghadang langkahnya.

"Kau mau apa kemari? Untuk mengetahui keputusan akhir negosiasinya?"


Jee jelas tidak mengerti apa maksud Thit, dia memang tidak tahu menahu tentang apa yang tadi dilakukan Suki tadi. Tapi Thit tak percaya sedikitpun, tidak ada kamera di sini, tidak usah pura-pura.

"Kau menghadiri pemakaman dan berakting penuh penyesalan, tapi hari ini kau mengirim managermu kemari untuk menawarkan uang sebagai ganti untuk menutup kasus ini."

"Apa?"

"Kau melakukan itu, tapi tanpa tahu malu kau terus ngotot ke wartawan kalau kau tidak melakukannya?!"

"Kau boleh percaya atau tidak, tapi aku tidak tahu apapun."


Kesal, Thit langsung maju menyudutkan Jee ke sungai sambil terus mengkonfrontasinya. Apa Jee pikir mereka sangat miskin sampai dia melempar 3 juta pada mereka sebagai ganti rugi?

Apa Jee pikir kalau mereka akan tamak oleh uang 3 juta hingga melupakan nyawa seorang wanita? Jika itu yang Jee pikirkan, maka dia salah. Bahkan sekalipun mereka miskin, tapi mereka tidak memuja uang.

"Aku sudah bilang kalau uangmu bisa membeli segalanya kecuali aku dan keadilan."


Jee sontak panik menghentikan Thit saat dia semakin tersudut ke tepi air dan dia tampak benar-benar ketakutan. Thit sinis melihat ketakutannya. Jee bisa takut juga? Takut apa? Takut jatuh ke air? Atau takut mati?

Tak peduli, dia terus maju menyudutkan Jee sampai membuat Jee hampir saja terjatuh, tapi Thit sigap menangkap tangan Jee dan langsung sinis menyadari Jee pasti tidak bisa berenang, makanya tangannya jadi dingin seperti ini.

"Kau tidak tahu apapun. Kau tidak mengerti."

"Kenapa aku tidak mengerti? Aku tahu. Aku tahu kalau sekarang ini kau merasakan apa yang dialami oleh Tiw saat lampu mobilmu menyala di depan wajahnya! Saat-saat penuh ketakutan di antara hidup dan mati."

"Khun Sathit... kumohon."

"Kau membanting harga 3 juta demi satu nyawa? Kalau begitu, mari kita lihat saat-saat menjelang ajalmu, apakah uangmu bisa membeli nyawamu dari kematian."


Thit langsung melepaskan tangannya dan Jee pun terjatuh ke air. Jee benar-benar tidak bisa berenang, tapi Thit malah menikmati pemandangan paniknya Jee.

"Bagaimana? Menjelang ajal itu sangat menakutkan, bukan? Jadi seperti ini rasanya menyaksikan seseorang yang mau mati."

Dia langsung pergi meninggalkan Jee. Tapi sejahat apapun dia pada Jee, Thit mulai cemas saat melihat Jee terus berjuang untuk tetap mengambang di air.  Jee bahkan berusaha bertahan tanpa teriak-teriak minta tolong.


Cemas, Thit hendak kembali untuk menyelamatkannya, tapi tiba-tiba dia melihat sepasang suami istri terjun ke air dan menyelamatkan Jee. Selamat dari kematian, Jee melempar tatapan tajam pada Thit dan Thit hanya membalasnya dengan senyum licik.


Setelah ganti baju, Jee bergegas pergi tanpa mempedulikan omelan Guru Arie. Dalam perjalanan, dia menelepon Suki dan menuntut penjelasan. Apa Ibunya yang menyuruh Suki untuk menawarkan uang pada Ibunya Tiw? Suki tak bisa menjawabnya yang jelas mengkonfirmasi kecurigaan Jee.

"Kalau kau menyayangiku, maka jangan lakukan hal seperti ini lagi. Aku sudah kehilangan respek pada ibuku, jangan buat aku kehilangan respek padamu juga."

Jee langsung menutup teleponnya begitu saja sampai membuat Suki cemas. Suki mencoba menelepon Khun Ying, tapi tidak diangkat.

Pada saat yang bersamaan, Jee juga berusaha menelepon Khun Ying tapi nasibnya juga sama seperti Suki, karena saat itu Khun Ying sedang ada pertemuan dengan teman-teman sosialitanya.


Frustasi, Jee akhirnya memutuskan untuk menelepon rumahnya Sitta. Si pelayan setianya Sitta yang mengangkat teleponnya. 

Tepat saat Jee tanya apakah Khun Ying ada di rumah, si pelayan melihat Sitta lewat. Dia langsung berbohong mengiyakannya dan mengklaim kalau Sitta pergi ke sebuah acara, jadi lebih baik Jee cepat datang.

Hadeh! Tuan sama pelayannya sama-sama sinting. Dia sengaja melempar Jee ke Sitta mumpung Khun Ying sedang tidak ada di rumah.


Khun Ying akhirnya punya kesempatan untuk mengecek ponselnya dan melihat misscall dari Jee. Dia mencoba menelepon balik. Tapi sayangnya tidak terangkat karena saat itu Jee sudah sampai ke rumah dan meninggalkan ponselnya di mobil.

Jee agak aneh saat melihat rumah itu kosong. Tapi kemudian si pelayan keluar menyambutnya sambil pura-pura ngegombal memuji-muji kecantikan Jee. Dia mengklaim kalau Khun Ying masih dandan di kamarnya, jadi Jee disuruh naik sendiri ke sana.

Lalu di mana Sitta? Cemas Jee. Si pelayan berbohong kalau Sitta sedang tidak ada di rumah, dia pergi untuk urusan bisnis ke luar kota dan baru akan kembali besok. (Aduh, jangan percaya). Tapi Jee mempercayainya begitu saja dan langsung naik ke kamar Khun Ying. Argh!


Tidak bisa menghubungi Jee, Khun Ying langsung menelepon Suki. Kenapa mereka meneleponnya dan waktu dia mencoba menelepon Jee, malah tidak diangkat. Ada masalah apa?

"Khun Ying, sekarang Jee sudah tahu bahwa anda menyuruh saya menawarkan uang pada Ibunya Nong Tiw. Makanya saya cepat-cepat menelepon anda. Saya yakin kalau Nong Jee pastia akan menemui anda. Apa sekarang Nong Jee bersama anda?"

Khun Ying langsung cemas mendengarnya, mungkin ia bisa menduga kalau Jee pergi ke rumahnya.

Bersambung ke part 3

Post a Comment

2 Comments

Hai, terima kasih atas komentarnya, dan maaf kalau komentarnya tidak langsung muncul ya, karena semua komentar akan dimoderasi demi menghindari spam