Kakek Lin segera dilarikan ke rumah sakit dan langsung masuk ruang operasi. Tapi pemandangan Kakek Lin didorong ke ruang operasi itu kontan membuat Cong Rong teringat kenangan buruk masa kecilnya saat dia menyaksikan ayahnya didorong masuk ke ruang operasi dulu.
Operasinya Kakek Lin cukup sulit karena terjadi pendarahan di otaknya. Pembuluh darah dan tumornya saling terlilit, Shao Qing harus sangat hati-hati saat mencari titik pendarahannya sebelum kemudian mengangkat tumornya.
Sementara tim dokter berjuang di ruang operasi, Cong Rong hanya bisa berdiri menatap ruang operasi itu dengan sedih. Dan dia tetap setia menunggu di sana sampai akhirnya operasi Kakek Lin selesai.
Shao Qing meyakinkannya untuk tidak menyalahkan diri sendiri karena itu percuma. Itu hanya akan menguras tenaga dan mentalnya saja. Sebaiknya dia pulang dan istirahat saja sekarang.
"Bagaimana denganmu?"
"Apa kau tidak tahu kalau dokter tidak perlu tidur?" Ujar Shao Qing sambil mengambil kembali sepatunya dari tangan Cong Rong lalu mendorong Cong Rong pergi.
Zhong Zhen yang mendengar kalimat terakhir Shao Qing itu langsung minta izin untuk tidur karena bagaimanapun, dia cuma dokter magang yang lemah. Shao Qing mengizinkannya tidur, tapi ada syaratnya, Zhong Zhen bantu dia melakukan sesuatu dulu.
Setibanya di apartemen, Cong Rong mendapati Cheng Cheng mondar-mandir menunggunya di depan sambil membawa pop mie. Niatnya mau memasak mie pakai telor ceplok, tapi Cheng Cheng bahkan tidak bisa memasak telor ceplok dan jejeritan heboh luar biasa saat minyaknya meletus-letus. (Wkwkwk! Pemilik restoran kok nggak bisa masak)
Cong Rong sampai harus mengambil alih keadaan sebelum tempat itu hangus terbakar. Akhirnya Cheng Cheng cuma makan pop mie, Cong Rong sendiri tidak selera makan.
"Masih merasa bersalah karena masalah Kakek?" Cemas Cheng Cheng.
"Sebenarnya aku tahu yang dikatakan When Shao Qing itu tidak salah. Aku memang sudah melewati batas. Jika bukan karena aku membuat masalah ini jadi besar, Kakek mungkin masih duduk baik-baik saja di rumah sakit."
Cheng Cheng sontak menabok lututnya sambil mengomelinya untuk tidak menyalahkan dirinya sendiri terus. Lagipula, Cong Rong ikut campur atau tidak dalam masalah itu, pada akhirnya Kakek pasti akan masuk ruang operasi juga.
Sama seperti masalahnya sendiri, dia baru saja putus cinta. Cong Rong kaget mendengarnya, bukankah 2 hari yang lalu mereka masih baik-baik saja?
Cheng Cheng malas membahas detilnya. Intinya, masalah Kakek Lin dan masalah putus cintanya punya kesamaan. Jika mantannya terus merahasiakannya, mungkin dia tidak akan pernah tahu dan akan tetap senang. Tapi berapa lama dia bisa tetap senang?
"Maksudmu, cepat atau lambat Kakek pasti akan mengetahui kebenarannya, jadi mempertahankan kedamaian yang palsu, tidak ada gunanya?"
"Betul. Memang itu maksudku. Laki-laki kurang ajar itu seperti tumor. Cepat atau lambat pasti akan ketahuan. Ketahuan lebih cepat, putus lebih cepat."
"Teori sesat macam apa itu?"
"Kenapa jadi teori sesat? Rong'er, jika aku adalah Kakek, aku akan sangat berterima kasih padamu. Aku tahu kau sudah berusaha melakukan segala yang bisa kau lakukan. Aku bangga padamu."
Cheng Cheng bisa tahu tentang masalahnya Cong Rong ternyata dari Zhong Zhen. Dan Zhong Zhen melakukan itu karena perintah Shao Qing. Dan sekarang dia mendapat pesan dari Cheng Cheng yang memberinya update tentang keadaan Cong Rong. Cheng Cheng bahkan mengiriminya foto Cong Rong yang sekarang sudah bisa tidur nyenyak.
Shao Qing lega dan senang melihat itu. Zhong Zhen heran melihat ekspresi Shao Qing. Kenapa dia merasa kalau Shao Qing sedikit perhatian sama kakak sepupunya itu? Kenapa?
"Coba kau tebak. Kalau salah tebak, tulis ulang tesismu."
"Itu... pasti karena kasih sayang Bos terhadap murid. Bos perhatian padaku sekaligus perhatian pada wali murid."
Jawaban yang lumayan, Shao Qing akhirnya menyilahkannya untuk pulang dan istirahat.
Saat Cong Rong lari pagi keesokan harinya, Shao Qing tiba-tiba menyusul dan lari menemaninya sampai mereka kecapekan.
"Kenapa kau datang kemari?" Tanya Cong Rong.
"Aku datang untukmu. Kutebak kau pasti tidak pernah begitu ingin bertemu denganku seperti sekarang."
"Betul. Bagaimana keadaan Kakek Lin?"
"Sudah keluar dari ICU, tapi masih belum sadar."
Cong Rong mau pergi ke supermarket untuk membeli beberapa barang untuk Kakek Lin. Oke, Shao Qing kebetulan lagi libur, jadi dia mau menemani Cong Rong.
Tapi... Shao Qing tiba-tiba menatapnya dalam dan berkata bahwa ada sesuatu yang ingin dia tanyakan padanya. Cong Rong mendadak gugup, Shao Qing mau tanya apa?
"Kenapa kau tidak memakai baju yang kubelikan? Jelek?"
Pfft! Cong Rong kecewa mendengar pertanyaannya dan langsung memutar bola matanya. Shao Qing tidak terima, Cong Rong sedang memutar bola mata padanya?
"Jangan salah paham, aku cuma senam mata."
Di supermarket, Shao Qing memberi saran tentang barang-barang apa saja yang pasti akan dibutuhkan Kakek Lin selama masa opnamenya. Tapi tiba-tiba dia melihat sebuah kemeja ukuran jumbo dan langsung menyuruh Cong Rong untuk membeli satu.
Tapi itu bukan buat Kakek Lin, melainkan untuk Cong Rong sendiri. Hah? Cong Rong bingung, kenapa pula dia harus membeli baju ukuran jumbo begini?
"Ini kusiapkan untuk diriku sendiri, yang di rumahmu tidak cocok untukku." Bisik Shao Qing dengan nada menggoda.
Cong Rong sebal mendengarnya. "Kau kira kau masih punya kesempatan memakainya?"
"Itu sulit dikatakan. Lagipula yang sebelumnya juga bukan aku yang mau."
Cong Rong sontak memutar matanya lagi dengan sebal, dan Shao Qing lagi-lagi menggodanya dengan ilmu medisnya, mengklaim bahwa jika Cong Rong terlalu sering menggerakkan otot bola matanya terlalu sering, maka dia bakalan mengalami kelumpuhan saraf wajah.
Cheng Cheng menemui kedua orang tuanya dan bersikeras menegaskan pada mereka kalau dia ingin hidup mandiri. Ayahnya mengiyakannya saja, tapi jelas mereka sama sekali tidak menanggapinya dengan serius.
Ayah masih bersikeras untuk memanjakan putri mereka satu-satunya itu, mereka tidak ingin melihatnya bekerja keras dan ingin Cheng Cheng menghabiskan uang mereka saja. Sebaiknya Cheng Cheng jangan keras kepala.
Cheng Cheng tidak mau. Mereka pasti ingin dia tergugah oleh mereka. Apa mereka ingin dia berlutut di tanah dan berterima kasih atas jasa-jasa mereka?
Ayah mulai terpancing emosi karenanya. Kalau Cheng Cheng mau mandiri, maka dia harus mengembalikan semua harta pemberian mereka dulu.
Cheng Cheng sontak melempar kunci mobilnya dengan kesal. Tuh, dia kembalikan. Semua isi dompetnya juga dia kembalikan. Rumah juga... err, tidak. Rumah belum bisa dia kembalikan sekarang, tapi dia akan bayar sewa sesuai harga pasar.
Dia bahkan mempertegas keseriusannya dengan menggunting kartu kreditnya dan menyatakan bahwa dia akan bergantung pada dirinya sendiri.
Wen Rang sedang mengikuti kompetisi panjat tebing saat tiba-tiba dia mendapat telepon dari pihak penerbit yang sayangnya, lagi-lagi menolak puisinya dengan alasan jaman sekarang puisi sudah tidak bisa lagi menghasilkan uang. Wen Rang begitu kecewa hingga dia lupa dengan kompetisinya dan kalah.
Sudah tak punya mobil dan uang lagi, Cheng Cheng terpaksa harus jalan kaki dan sekarang dia kecapekan. Haus juga, tapi dia sudah tidak punya uang untuk beli air.
Di tengah keputusasaannya, tiba-tiba dia melihat Wen Rang lewat dengan mengendarai sepeda, tampak begitu tampan bagai pangeran berkuda putih yang datang menjemputnya.
Cheng Cheng sampai terpana... sebelum kemudian cepat-cepat menguasai dirinya dan langsung menarik sepedanya Wen Rang saat Wen Rang hendak melewatinya begitu saja.
Dia langsung minta nebeng, lagian kan mereka searah. Tapi Wen Rang menolak. Dia mau jalan sendirian soalnya dan menyuruh Cheng Cheng naik mobil saja. Kursi belakang sepedanya hanya untuk membonceng anjing.
Tidak masalah, Cheng Cheng bersedia dianggap anjing, pokoknya dia mau nebeng. Wen Rang mulai sebal sama dia, baru juga kemarin dia berubah pikiran tentang Cheng Cheng, tapi ternyata Cheng Cheng tetap pandai membuat orang kesal.
"Tidak masalah. Kau kesal saja padaku. Orang bijak bilang, menjadi orang harus memiliki keberanian untuk dibenci orang."
"Orang bijak yang mana?"
"Aku sendiri."
Wen Rang tak peduli, pokoknya dia tidak mau memboncengnya. Terutama karena hukum jelas melarang orang berusia di atas 12 tahun dibonceng sepeda.
Cheng Cheng pantang menyerah dan meyakinkan Wen Rang untuk tidak khawatir. Kalaupun mereka ditangkap, dia sendiri yang akan bertanggung jawab.
Dan mereka akhirnya benar-benar ditilang sama polisi. Wkwkwk! Dan Cheng Cheng mendadak melanggar janjinya sendiri saat polisi mendenda mereka, malah meminta Wen Rang untuk membayarnya.
Wen Rang menolak dan jadilah kedua orang itu ribut di depan pak polisi... hingga terpaksa Cheng Cheng jujur mengaku kalau dia tidak punya uang, malah menawarkan tas mewahnya pada Wen Rang sebagai jaminan.
Akhirnya terpaksa Wen Rang yang harus bertanggung jawab membayar dendanya. Dan bahkan setelah masalah itu selesai, Cheng Cheng masih belum kapok dna masih ingin dibonceng. Gregetan, Wen Rang akhirnya meninggalkan sepedanya dan Cheng Cheng lalu pergi naik taksi.
Di rumah sakit, Cong Rong baru diberitahu oleh perawat bahwa Kakek Lin ternyata tidak punya keluarga, makanya tidak ada orang yang menjaganya. Prihatin, Cong Rong meminta perawat untuk menghubunginya saja jika terjadi sesuatu pada Kakek Lin.
Walaupun Kakek Lin masih belum sadar, Cong Rong tetap mengajaknya ngobrol dan memberitahu bahwa dia sudah mendapatkan uangnya Kakek kembali.
"Aku tahu Kakek tidak punya anak. Kalau begitu, anggap aku saja sebagai penggantinya. Kelak nomor ponselku adalah kontak khusus kerabat Kakek. Cepatlah sadar." Ujar Cong Rong dengan manisnya.
Dia tidak sadar kalau Shao Qing mendengarkan segalanya di belakang. Tapi akhirnya Shao Qing memutuskan pergi tanpa mengganggu mereka.
Dan bahkan saat Cong Rong berjalan pulang tak lama kemudian, dia tetap tidak sadar kalau Shao Qing tengah membuntutinya, menjaganya sepanjang perjalanan sampai akhirnya Cong Rong tiba di apartemennya dengan aman.
Bersambung ke part 2
0 Comments
Hai, terima kasih atas komentarnya, dan maaf kalau komentarnya tidak langsung muncul ya, karena semua komentar akan dimoderasi demi menghindari spam