Sinopsis Kleun Cheewit Episode 9 - 3

Sinopsis Kleun Cheewit Episode 9 - 3


Tak lama kemudian, Thit dan Jee sudah berada di penginapan. Thit memberitahu Jee bahwa besok mereka harus menyewa mobil sendiri karena supir truk harus mengangkut bunga ke Bangkok.

Dan sekarang Pak Supir sedang membantu mencarikan mobil sewaan untuk mereka jadi mereka bisa menunggu di sini. Jee setuju-setuju saja. Kalau begitu, dia mau mandi dulu.

Dia bangkit sembari berusaha menyembunyikan lukanya. Tapi tenaganya terlalu lemah sampai dia oleng ke Thit yang jelas cemas melihatnya, ada apa dengannya? 

Jee berbohong kalau dia cuma pusing gara-gara kelamaan di kendaraan tadi lalu cepat-cepat masuk kamar mandi.


Sekretaris melapor ke Sitta bahwa Thit berhasil melarikan diri berkat bantuan Jee. Sitta jelas kesal mendengar Jee bersekongkol dengan Thit untuk melawannya.

Bahkan saat Khun Ying pulang tak lama kemudian, dia langsung menyambutnya dengan tamparan keras. Dia sudah membantu Jee tapi Jee malah mengkhianatinya.

Jika dia sampai masuk penjara, maka Jee juga akan berakhir di tempat yang sama dan Khun Ying akan kembali melarat seperti dulu. Khun Ying kontan panik mendengarnya dan berusaha meminta maaf atas Jee.

"Sudah terlambat. Persiapkan dirimu!"


Jee gemetar hebat saat dia berusaha membasuh lukanya. Bahkan sentuhan pelan pun terasa begitu nyeri, tapi Jee berusaha menahannya sekuat tenaga.


Tepat saat itu juga, ponselnya berbunyi dari Khun Ying. Tapi Jee tidak bisa segera mengangkatnya karena dia terlalu lemah untuk melangkah. Dan saat dia hendak mengangkat teleponnya, Khun Ying sudah terlanjur mematikannya.

Tapi kemudian Khun Ying mengiriminya voicemail. Saat Jee memutarnya, dia mendengar Khun Ying marah-marah melabraknya.

"Kau di mana? Apa kau bikin ulah lagi? Berapa kali harus kubilang bahwa Thun adalah penolong kita."

Tanpa Sitta, mereka tidak akan mungkin memiliki reputasi yang mereka miliki hari ini. Jika Jee masih menganggapnya sebagai ibu, maka Jee harus berhenti memihak Thit. Kenapa juga Jee melindunginya? Apa Thit bahkan pernah melindungi Jee seperti Sitta?

"Kapan kau pernah berhutang apapun padanya? Mengkhianati Thun sama saja dengan mengkhianatiku. Pengacara itu tidak punya niat baik padamu. Orang seperti dia, tidak akan pernah menghargai apapun yang kau lakukan. Dia cuma memanfaatkanmu! Jangan khianati Thun atau hidupmu akan hancur! Ingat itu!"


Jee kontan menangis mendengarnya. Tanpa dia sadari, Thit sebenarnya ada di belakangnya dan mendengar segalanya yang jelas membuatnya tercengang. Berusaha tetap tabah dan menahan rasa sakitnya, Jee kembali ke kamar mandi.

Apa yang didengarnya tadi sepertinya membuat mulai Thit sadar kalau Jee sebenarnya melindunginya dan memihaknya.


Tapi tiba-tiba terdengar suara gedebuk keras dari dalam kamar mandi. Thit langsung memanggil-manggil Jee, tapi tak ada jawaban dari dalam. 

Cemas, Thit akhirnya nekat masuk, tapi malah mendapati Jee tergeletak pingsan di lantai. Saat dia berusaha membangunkan Jee, saat itulah dia menyadari kalau Jee terluka.

"Kau tertembak. Kenapa kau tidak mengatakan padaku kalau kau terluka?"


Dia cepat-cepat membopong Jee ke kasur dan Jee langsung menggigil kedinginan dan berkeringat dingin. Saat Thit tengah mengelap keringatnya, Jee tiba-tiba menggenggamnya erat dan menangis.

"Aku kedinginan. Ibu, tolong aku. Aku kedinginan."

Thit pun langsung memluk Jee, membiarkan Jee menangis dalam plukannya. "Bu, jangan marah padaku."

"Kenapa kau melakukan ini? Kenapa kau ingin mati karena aku? Aku tidak akan membiarkanmu mati. Tidak akan terjadi apapun padamu. Aku tidak akan membiarkan apapun terjadi padamu. Bertahanlah. Aku akan membawamu pulang."

 

Saat Jee sudah tidur, Thit kembali ke kamar mandi untuk mengambil handuk untuk mengompres Jee. Tapi perhatiannya teralih saat dia melihat bajunya Jee dan mendapatinya robek bersimbah darah.

Teringat kembali ucapan Jee yang menyuruhnya untuk tetap bertahan hidup, Thit mencuci baju itu dengan kesal sekaligus merasa bersalah menyadari Jee benar-benar melindunginya.


Saat dia sedang mengelap wajah Jee, ponselnya Jee tiba-tiba berbunyi dari Pan. Terpaksalah dia yang mengangkatnya. Mengira dia Jee, Pan langsung ngomel-ngomel menanyakan keberadaan Jee.

"Kondisi Nenek memburuk!"

"Sebentar, Pan. Tenang dulu."

"Pak Pengacara? Apa Jee di sana? Kalau Jee ada di sana, bisakah kau beritahu dia... bahwa Nenek tidak akan bisa bertahan."

 

Nenek Jan ternyata sekarat di rumah sakit. Pan meminta Thit untuk menyuruh Jee datang ke rumah sakit secepatnya jika dia ingin mengucap selamat tinggal. Nenek tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi.

Thit kontan cemas mendengarnya. Dia mencoba membangunkan Jee, tapi Jee masih belum sadar juga. Thit jadi galau tak tahu harus bagaimana. Kenapa segalanya harus jadi seperti ini?

Di rumah sakit, Pan menangis dan memohon agar Nenek Jan bertahan lebih lama. "Nenek harus menunggu untuk mengucap selamat tinggal pada Jee. Aku tahu Nenek ingin mengucap selamat tinggal pada Jee. Bangunlah. Nek!"

Tapi Nenek Jan sama sekali tidak bereaksi.


Setelah meminta seorang bibi untuk mengganti bajunya Jee, Thit membopong Jee yang masih belum sadarkan diri dan membawanya ke mobil sewaan mereka.


Di tempat camping, Dao melihat Jade duduk merenung sambil menatap langit berbintang. Diam-diam dia mendekat dan menggodanya. "Apa Dao (bintang) cantik?"

"Cantik."

"Terima kasih sudah memujiku."

"Hei, apa kau menggodaku?"

"Sebenarnya, aku ini orang yang humoris dan suka menggoda orang lain juga."

"Sungguh? Sulit dipercaya."

"Percayalah."

"Apa kau pernah menggodaku?"

"Bukan pernah, tapi sekarang ini aku lagi mengodamu."

Jade jadi curiga. Jangan-jangan waktu Dao bilang Jee sudah punya kekasih itu, Dao cuma menggodanya? Dao meyakinkan kalau Jee memang punya kekasih dan orang itu sangat protektif terhadap Jee. Jade langsung sedih mendengarnya, apa orang itu Chaiyan?


Tidak. Kekasihnya Jee lebih kecil dan mungil daripada Chaiyan dan lebih manis daripada Chaiyan. Dan yang paling penting, orang itu hidup bersama Jee.

Jade bingung mendengarnya. Siapa kira-kira orang yang lebih kecil, lebih mungil, lebih manis daripada Chaiyan dan hidup bersama Jee... Oh! Jade tahu.

"Orang itu kau, kan?"

"Bingo!"

"Aku tahu. Karena itulah kau tidak punya pacar."


Dao tiba-tiba tanya apakah Jade takut sama ulat? Dia bertanya begini karena Jee pernah bilang bahwa hidupnya bagaikan kupu-kupu. Sebelum dia menjadi kupu-kupu yang indah seperti sekarang, dulunya dia adalah ulat yang dibenci semua orang.

Dao sangat menyayangi Jee, menyayanginya sebanyak teman menyanyangi temannya. Karena itulah jika ada seseorang yang masuk ke dalam hidup Jee, Dao ingin orang itu menerima segala sesuatu tentang Jee dan bukannya cuma mencintai kecantikan luarnya saja.


Jade tersenyum mendengarnya, menyadari Dao merestuinya. Dao pun mengatakan semua itu dengan senyum di hadapan Jade. Padahal saat dia berpaling, dia benar-benar sedih.

Hari sudah pagi saat Thit dan Jee tiba di rumah sakit dan Jee baru siuman saat itu. Tapi kenapa mereka ke rumah sakit? Kalau sampai ada orang yang melihat mereka, ini bisa jadi masalah besar. Tidak bisakah mereka kembali ke Bangkok saja?

"Ada hal penting yang harus kita lakukan."

"Aku baik-baik saja."

"Aku jamin kalau aku tidak membawamu untuk menemui dokter"

"Lalu kenapa kita di sini?"

"Nanti kau akan tahu." Ujar Thit. Dengan lembut dia menyentuh tangan Jee seolah memberinya kekuatan yang jelas saja membuat Jee bingung.


Thit lalu membawa Jee masuk. Mereka menemukan Pan menangis sendirian di lobi. Jee bingung melihatnya begitu. Apa yang terjadi? Kenapa Pan ada di sini?

"Kenapa kau tidak datang lebih cepat? Nenek... Nenek sudah tiada. Nenek sudah meninggal dunia. Nenek sudah meninggal dunia! Apa kau dengar?"

 

Shock, air mata Jee seketika mengalir mendengarnya. Pan lalu membawanya melihat jenazah Nenek dan seketika itu pula tangis Jee pecah.

"Kenapa Nenek tidak menungguku? Kenapa Nenek meninggalkanku? Bisakah Nenek kembali padaku? Kembalilah padaku. Nenek, kenapa kau meninggalkanku? Kembalilah padaku, Nek..."


Thit membuntuti Jee. Dia memang sudah tidak menangis lagi, tapi dia masih tampak linglung yang membuat Thit mencemaskannya. 

Saat melihat bayangan dirinya di cermin, Jee sontak memukuli dinding sambil menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab kematian Nenek Jan.

Cemas, Thit cepat-cepat menggenggam tangan Jee dan membiarkan Jee menangis dalam plukannya. Tapi Jee tiba-tiba pingsan lagi.

Bersambung ke part 4

Post a Comment

0 Comments